Share

IDPK - Part 3. Seksi Konsumsi

Hari minggu pagi, suara musik dangdut koplo terdengar memekakkan telinga di tempat tinggal Hendro Satrio Haryo Sasongko.

Lilian begitu asyik menikmati irama lagu sambil menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, ke depan ke belakang dengan begitu lincah. Seakan daging dan lemak yang ada di tubuhnya ikut menari-nari seiring dengan irama musik dangdut koplo Kartonyono Medhot Janji yang dinyanyikan oleh Mas Deny Cak Nan.

Tak peduli jika Satrio akan mengomel karena suara berisik yang sengaja diputar begitu keras. Lilian sengaja ingin membuat Satrio tidak nyaman dengan keberadaannya.

"Aku akan berbuat semauku, Mas. Begitu, kan?" Bibir gadis gendut itu menyeringai.

Dia akan membuktikan perkataan Satrio, bahwa pria itu benar-benar membiarkan Lilian berbuat semaunya. Termasuk membuat rumah ini berisik seperti pagi ini.

Sepertinya Satrio memenuhi janjinya.

Jam antik yang ada di sudut ruang keluarga telah berdentang delapan kali. Itu artinya Lilian sudah dua jam menyalakan irama musik dangdut koplo ini. Namun, pria itu tidak merasa terganggu. Buktinya, Satrio belum keluar dari kamarnya. Mungkin saja dia masih asyik bergelung di bawah selimut.

"Fix, aku bebas berbuat apapun, Gaes! Baiklah, nyanyinya lanjut terus, Mas Deny!" Lilian menyimpulkan bahwa dia boleh melakukan apapun yang dia mau.

"Hok a, hok e!" Saking khusyuknya menyimak irama dangdut koplo itu, Lilian ikut bernyanyi seakan dia sedang duet dengan Mas Deny di atas panggung.

Gadis itu terus bergerak tanpa merasa lelah. Padahal sudah dua jam dia melakukannya.

"Hok a, hok e! Aseeek!" pekiknya seiring dengan irama musik.

"Okay lah kalau begitu! Mari kita lihat seberapa besar kesabaran kamu, Mas," gumamnya sambil menyeringai.

Sudah seminggu ini dia menjadi istri Satrio. Pria itu selalu pulang larut malam. Dia pergi ke kantor setelah menyantap sarapan yang dibuatkan oleh Lilian tanpa suara. Duduk bersama di meja makan seperti orang asing tanpa apapun. Tentu saja, Lilian tidak tahan diperlakukan seperti itu.

Hari ini dia sedang melayangkan protes keras dengan suasana sepi itu dengan menyalakan musik keras-keras.

"Opo bedone aku hidup sendirian. Tinggal berdua di rumah sebesar ini, ndak pernah diajak ngomong. Beuh, tak doain kamu sariawan selama-lamanya, Mas," ocehnya sambil senam.

Pembahasan surat kontrak tempo hari adalah perbincangan terakhir antara mereka berdua. Satrio tidak bertanya apapun pada Lilian, begitu juga sebaliknya. Kecuali satu hal, Satrio mengajaknya berdebat tentang kue red velvetnya yang setiap hari hanya tersisa tiga potong.

Satrio sudah mentransfer uang tiga puluh juta yang diminta oleh Lilian untuk nafkah bulan ini. Suaminya yang sombong itu juga telah membelikannya mobil yang dipakainya untuk ke sekolah taman kanak-kanak tempatnya mengajar.

Sebagai wanita normal, tentu saja Lilian merasa bosan hanya berdiam diri seperti ini. Apa bedanya dengan dia tinggal sendiri di rumahnya?

Bahkan, Satrio belum pernah satu kalipun mengimami dirinya shalat. Aah, jangan-jangan dia tidak pernah shalat.

"Nggak bisa dibiarkan kalau begini! Boleh saja kamu tidak menganggap aku ada, Mas. Tapi mbok ya jangan meninggalkan shalat."

Baru saja Lilian akan melangkah menuju kamar Satrio, pria itu sudah melangkah menuju ruang tengah dengan muka penuh amarah.

"Bisa dikecilin nggak sih, Li?" semburnya marah.

"Dasar norak! Emang nggak ada apa musik yang lebih enak didengerin? Kampungan banget nyalain musik koplo udah kayak konser di alun-alun." Kata demi kata pedas meluncur dari mulut Satrio.

Aah, padahal baru saja Lilian merasa kesepian tanpa omelan Satrio, pria itu sudah mulai mengomel.

"Loh, suka suka aku dong, Mas. Kamu bilang sendiri aku boleh berbuat semauku, kan?" sahut Lilian cuek.

Gadis itu membatalkan rencananya untuk membangunkan Satrio karena dia ternyata sudah bangun.

Tanpa sungkan, Lilian kembali melanjutkan jogednya.

Satrio mendengus sambil memutar bola mata malas. Tubuh bulat wanita yang sudah dinikahinya itu terlihat menggelikan saat berjoged. Namun, Lilian sangat percaya diri.

Ada tawa tertahan di bibir Satrio. Sepertinya, pria itu sedang berusaha mati-matian supaya tidak tertawa.

Apa jadinya jika kali ini dia ketahuan tertawa? Pasti dia akan terlihat lemah dan Lilian akan semakin seenaknya sendiri. Harga dirinya sebagai kepala keluarga di rumah ini bisa hancur berkeping-keping.

Gadis yang memiliki bentuk tubuh berisi ... eum, lebih tepat jika disebut menggelembung itu seakan sudah begitu terlatih melakukan gerakan-gerakan senam.

Sedangkan Satrio, pria tampan pemilik bibir merah itu bersedekap menyaksikan Lilian yang bersenam dengan begitu percaya diri di depannya.

"Jangan terlalu bersemangat, Sebloh! Nanti gempa bumi!" Pada akhirnya Satrio tidak bisa menahan tawa.

Serta merta, pria itu bergaya seakan sedang terjadi guncangan gempa 7,9 skala Richter. Itu adalah ejekan untuk Lilian yang sedang sibuk melanjutkan gerakan senamnya.

"Daripada nyindir begitu, mending ikutan senam!" sahut Lilian cuek.

"Buat apa? Kamu senam aja nggak ngaruh, masih gendut kek gitu," ejeknya.

"Loh, yang penting, kan sehat to Mas. Gendut-gendut begini aku juga seksi kok."

"Ha-ha-ha, seksi apaan, hah? Body bulat kayak bola gitu kok seksi."

Sekali saja Satrio membiarkan dia berbincang dengan Lilian, mereka seperti sudah lama saling kenal. Namun sayangnya, Satrio adalah orang yang membingungkan.

Hanya dalam hitungan detik, dia bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Lilian sudah mulai mengerti suaminya yang angin-anginan seperti kipas angin itu.

"Iya, Mas. Aku memang sekseh. Makhluk Tuhan paling sekseh."

"Beuh! Seksi konsumsi, alias tukang makan. Iya to? Ha-ha-ha." Satrio kembali tertawa puas. Rasanya puas sekali mengejek Lilian sebegitu rupa.

"Ckck! Biar aja, nanti kue red velvet kamu akan kuhabisin lagi!" ancam Lilian. Tidak peduli Satrio menatapnya dengan tatapan mengejek.

"Dasar Sendal Lily. Hobinya makan kue orang!"

Bibir pria tampan itu mengerucut kesal. Sepasang matanya nanar menatap Lilian penuh amarah. Bukan apa-apa, Satrio itu sangat suka dengan kue red velvet. Biasanya dia akan memakannya jika lembut di ruang kerjanya.

Namun semenjak keberadaan Lilian, dia hanya kebagian tiga potong tiap hari. Itu tentu saja sangat menyebalkan bagi Satrio. Kalau Lilian suka, kenapa tidak membelinya sendiri? Kenapa harus selalu memakan red velvet miliknya?

"Bukan kue orang, Mas. Lha wong itu kue punya kamu kok. Ingat, Mas. Kamu itu suamiku!" Lilian berkata kesal.

"Iya, suami bohongan!" Satrio memutar bola mata malas.

Nasib sial macam apa, dia yang setampan ini harus menikahi Lilian, sudah gendut tapi tidak sadar diri.

Satrio dan Lilian sedang tatap-tatapan saling melemparkan rasa kesal dari hati mereka.

"Waaah, kita mengganggu mereka, Pih. Mereka lagi tatap-tatapan romantis sambil joged dinyanyikan Mas Deny Cak Nan, Pih." Fatimah tiba-tiba sudah ada di ruangan tengah bersama Haryo.

Satrio rasanya ingin jungkir balik salto saking malunya.

Kenapa juga mami dan papinya datang dalam situasi yang memalukan seperti itu? Mereka pasti akan salah paham pada mereka.

"Waah, kalian romantis banget sih, menghabiskan minggu pagi dengan senam bareng." Haryo juga ikut berkomentar.

Sontak, Lilian garuk-garuk kepala karena ketahuan ibu mertuanya sedang senam tidak jelas seperti ini. Suara musik dangdut koplo masih meraung-raung memenuhi penjuru rumah. Tidak disangka aksinya protes pada Satrio malah membuat mertuanya salah paham.

"Lili senam biar sehat, Mih," sahutnya sambil tersipu malu.

"I-iya, Mi. Ayo, ikutan senam, Mi." Terpaksa Satrio ikut bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama musik.

Se-absurd apapun itu, dia tidak peduli. Asalkan mami dan papinya melihat dia dan Lilian kompak sebagai suami istri, itu sudah cukup. Lagipula tidak ada yang melihatnya bertingkah konyol seperti ini selain mereka. Beda soal kalau nanti mereka dilihat orang lain, Satrio tidak akan pernah mau melakukan hal memalukan seperti ini.

"Wah, kamu mantu yang baik, Li. Ayo, Pi kita senam. Biar sehat. Siapa tahu sakit jantung papi jadi sembuh lagi, iya to?" sahut Fatimah.

Satrio yang melihat bagaimana Lilian bersikap manis di depan ibunya hanya bisa memutar bola mata malas.

Akhirnya, mereka berjoged bersama di ruang tengah.

"Mi, Pi, aku pamit mau ke dapur dulu, ya. Mau siapin minuman." Lilian berpamitan, sedangkan Satrio dan orang tuanya masih sibuk berjoged di ruang tengah.

Gadis gendut itu bergegas meninggalkan tempat itu menuju dapur. Bibirnya menahan senyum. Padahal tadinya dia hanya melayangkan protes pada Satrio karena didiamkan selama seminggu ini.

Siapa sangka tindakannya ini malah membuat mertuanya salah paham.

"Duh, Gusti ... Slamet, Slamet!" Lilian mengurut dadanya begitu kakinya masuk di dapur.

Dia mulai sibuk membuatkan minuman untuk mertuanya yang datang berkunjung. Musik dangdut koplo masih nyaring terdengar dari ruang tengah.

"Kamu tuh! Bikin keki aja, Bloh. Untung aja aku cerdas!" Tiba-tiba suara bariton Satrio sudah berada di belakangnya.

"Mas! Jangan panggil aku Sebloh!" Lilian menatap penuh kebencian.

Dia sangat kesal kalau mendengar Satrio memanggilnya Sebloh.

"Iya, iya. Aku akan panggil kamu sendal Lily." Satrio menyahut sembari mengambil kotak kue kesukaannya dari kulkas.

"Lah, kok tinggal tiga potong lagi sih, Li." Satrio berteriak kesal.

"Iya kan udah pindah di perutku, Mas. Mau kamu ambil?" balas Lilian cuek.

"Ckck, kamu kenapa nggak beli sendiri sih! Sudah dikasih tiga puluh juta, masak nggak mau beli sendiri," omelnya.

Sudah seminggu ini dia terus saja berdebat perkara kue red velvet. Menyebalkan sekali.

"Ya Allah, Mas. Tiap hari berantem hanya karena perkara kue! Malu lah, kalau didengerin mami dan papi," keluh Lilian.

Satrio memanyunkan bibirnya kesal. Terpaksa dia makan tiga potong kue itu dalam kesal. Hatinya geram, tapi apa boleh buat, hari ini mami dan papinya datang.

"Nanti kalau mereka udah pulang, kita lanjutkan WAR!" sembur Satrio marah. Perang dunia ketiga akan segera terjadi dengan diiringi musik dangdut koplo Mas Deny Cak Nan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status