Share

Chapter 3

Brakk...

Alexa mendorong kasar pintu ruang kerja suaminya.

"Kau kira aku tak serius dengan ucapanku kemarin, Alex?"

"Apa-apaan kau datang dengan wajah marah seperti itu?!"

Alex menyandarkan punggungnya di kursi putar. Kedua telapak tangannya saling mengait. Pria itu biasanya akan langsung mengamuk jika Alexa berbuat onar, namun setelah pertengkaran mereka kemarin, Alex justeru merasa tertantang dengan sikap frontal dan membangkang isterinya. Selama ini Alexa tak pernah banyak membantah. Perempuan itu lebih sering mengatakan kata 'ya' atau 'tidak' saat berbicara dengan suaminya. Sebisa mungkin Alexa menghindari interaksi antara mereka berdua.

"Kau tetap ingin mengenalkan Laura pada putera keluarga Tompson? Kau dan ibumu ingin menjodohkan mereka berdua?"

"Baguslah kalau kau sudah tahu. Aku tak perlu menjelaskannya lagi." Alex berucap santai.

"Kau memang brengsek, Alex! Sudah kukatakan jangan menyentuh puteriku--

"Laura juga puteriku, Alexa. Setidaknya di dalam akte kelahirannya tertulis namaku sebagai ayahnya."

Entah bagaimana cara pria itu mendekat, Alexa tak menyadari kalau sang suami sudah berada tepat di depannya. Wajah Alex yang hanya berjarak beberapa centimeter dengan wajah Alexa membuat perempuan itu tak bisa menghentikan degup jantung yang berdetak tak beraturan. Bagaimana pun Alexa adalah wanita normal yang membutuhkan sentuhan seorang pria, apalagi di hadapannya kini tubuh tegap dengan bulu menghiasi rahang tegas itu seakan mempertontonkan pesonanya. Alexa membuang wajahnya, di samping untuk menghirup oksigen yang terasa semakin sedikit, perempuan itu juga tak ingin wajah gugupnya terlihat oleh sang suami.

"Kenapa? Kau gugup berada sedekat ini denganku, Alexa? Kau mau kusentuh?"

Alex membelai wajah isterinya dengan lembut. Memberi sensasi memabukkan yang hampir saja membuat Alexa terlena.

Untung saja dalam sepersekian detik Alexa mampu sadar dari godaan suaminya dan langsung mundur beberapa langkah.

"Jangan mengalihkan pembicaraan kita, Alex. Aku tak akan membiarkanmu melakukan perjodohan laknat ini! Aku pastikan kau tak akan berhasil, Alex!"

Baru saja Alexa ingin berbalik namun tangannya ditarik oleh pria itu dan seketika tubuhnya mendekat. Alex langsung menyesap bibir lembut berwarna kemerahan meski tanpa lipstik. Alexa yang berusaha memberontak tak memiliki kekuatan sebanding dengan suaminya. Alex berhenti menyesap bibir isterinya setelah Alexa menggigit bibir pria itu.

"Brengsek!"

Plakk..

Satu buah tamparan melesat di pipi Alex. Dengan wajah penuh emosi dan mata mulai memerah Alexa berlari keluar dari ruang kerja suaminya.

Sementara di dalam, Alex masih mengelus bekas tamparan sang isteri di pipinya. Biasanya pria itu akan langsung murka jika wajahnya disentuh, apalagi dengan sebuah pukulan. Namun kali ini berbeda, alih-alih marah, Alex justeru mengulas senyum smirk yang mencurigakan.

"Kenapa wanita ini semakin berani sekarang? Tapi-- aku senang melihat kau menjadi seorang pemberontak Alexa. Permainan ini akan semakin seru," gumamnya kembali menunjukkan sebuah senyum licik.

*

Alex tengah bersiap-siap datang ke pesta keluarga Tompson. Satu stell tuxedo berwarna hitam telah menghiasi tubuh tegap dan kekar miliknya. Ia harus lebih banyak menghadiri pesta-pesta seperti itu sebelum masa kampanye dimulai. Meski banyak memiliki relasi, namun mendekati para konglomerat seperti keluarga Tompson dirasa pria itu akan lebih menguatkan pencalonannya sebagai seorang Gubernur.

"Pa, bagaimana penampilanku?"

Laura berlenggak lenggok di depan ayahnya, memamerkan gaun malam yang tentu saja model dan warnanya sesuai dengan usia gadis itu.

"Hem." Alex hanya merespon pendek, membuat Laura tampak kecewa.

"Puteriku akan selalu terlihat cantik saat memakai apapun."

Dengan senyum merekah Alexa mengomentari pakaian sang puteri dari atas tangga. Wanita itu melihat kekecewaan di wajah Laura saat respons Alex tak sesuai harapannya.

"Mom? Waaaaw.. kau cantik sekali," puji Laura tak main-main.

Alexa memang terlihat cantik dan elegant saat turun dari anak tangga. Perempuan itu memakai gaun one shoulder dress berwarna turkish, sangat menyerap di kulitnya yang berwarna putih pucat. Gaun itu berbentuk asimetris dengan lengan panjang. Meski tak lagi bisa dikatakan wanita muda, namun Alexa tak nampak seperti wanita seusianya. Tubuh tinggi semampai dengan kaki jenjang yang tertutupi gaun terbelah hingga batas lutut membuat Alexa terlihat lebih muda. Ia juga tak terbiasa memoles wajahnya dengan make up tebal. Alexa lebih senang dengan make up flawless atau malah menampakkan wajah naturalnya. Untuk sedikit menghibur hati atau sekedar menghilangkan kepenatan wanita itu lebih memilih untuk merawat tubuh dan wajahnya. Jadi tak aneh jika di usianya yang hampir berkepala empat, wajah serta tubuh perempuan itu masih tampak segar.

"Kau yang paling cantik, Sayang."

Alexa sangat senang membelai pipi puterinya. Senyum yang terlukis pun hanya ia tujukan untuk gadis itu, selainnya tak ada lagi yang bisa membuatnya tersenyum, setidaknya selama 20 tahun terakhir.

"Kau jadi ikut?" tanya Alex yang merasa diabaikan.

Pria itu juga sengaja mencairkan suasana karena sejak Alexa turun tadi, dirinya tak lepas menatap penampilan sang isteri yang membuat matanya sulit berkedip. Alex seperti orang yang baru menyadari jika isterinya adalah wanita yang mempesona. Selama 20 tahun mereka hanya intens berinteraksi saat di luar rumah, tepatnya jika dalam sebuah undangan pesta atau undangan wawancara yang kini kerap mereka dapatkan setelah Alex mencalonkan dirinya sebagai Gubernur di kota itu.

"He em. Aku mau menemani Laura. Aku khawatir nanti kau sibuk berbicara dengan teman-temanmu dan Laura merasa kesepian."

Alexa hanya beralasan. Perempuan itu tak mau melihat puterinya dijadikan alat oleh sang suami guna mencapai ambisi keluarga untuk duduk di kursi kepemimpinan.

*

Mobil BMW X7 berwarna hitam sudah bertengger di depan halaman luas mansion keluarga Morgans. Seorang sopir pribadi keluarga konglomerat itu membukakan pintu samping mobil untuk tuan dan nyonyanya.

"Kau di rumah saja, aku akan menyetir sendiri," tegas Alex pada sopirnya.

"Baik, Tuan Morgans."

Sang sopir menundukkan kepalanya dan meninggalkan keluarga itu.

Alexa dan Laura sudah berada di dalam mobil, tepatnya di kursi belakang. Namun suasana menjadi canggung saat Alex tak kunjung menyalakan mobilnya.

"Apa yang kau tunggu? Apa ada yang tertinggal?" tanya Alexa pada suaminya.

"Apa aku harus menjadi sopir pribadi kalian?"

Alexa dan Laura saling menatap, "maksudmu?" tanya Alexa polos.

"Ah.. Mom, pindahlah ke samping papa. Aku mau sendirian disini."

Ternyata Laura lebih peka dari pada ibunya. Ia langsung membuka pintu dan mendorong sang ibu agar keluar dan pindah ke samping Alex.

"Tapi--

"Sudahlah! Nanti kita terlambat. Lagi pula kasian papa jika sendirian di depan. Mana ada calon Gubernur kota ini yang beralih pekerjaan menjadi sopir pribadi," goda Laura.

Alexa membuka pintu di samping kemudi dengan sedikit canggung. Selama ini ia tak pernah berdampingan seperti ini saat di mobil bersama Alex. Selain selalu diantar oleh sopir pribadi, pasangan suami isteri itu tak pernah melakukan perjalanan hanya berdua saja.

"Kenapa bukan kau saja yang duduk di depan Laura," cetus Alex dengan nada angkuh.

"Oh, maaf. Harusnya kau katakan dari tadi. Laura kita tukar tempat, Nak."

"Tidak perlu. Kita sudah terlambat," sela Alex yang langsung menyalakan mobilnya.

"Alexa tak peduli dengan ucapan suaminya. Perempuan itu tetap membuka pintu untuk bertukar tempat dengan sang puteri. Ia tak mau berada dekat dengan orang yang tak menginginkannya.

"Ku bilang tak perlu. Tutup pintunya, kita akan segera berangkat."

Alex meraih satu tangan isterinya serta berucap dingin. Sorot tajam manik biru laut pria itu tampak mendominasi, membuat Alexa menuruti permintaan sang suami tanpa membantah sedikit pun.

"Pa, apa keluarga Tompson salah satu konglomerat di kota ini? Tapi aku belum pernah mendengar nama keluarga itu."

"He em."

15 menit perjalanan tanpa ada yang bicara membuat Laura jenuh. Gadis itu mencoba membuka obrolan dengan ayahnya namun lagi-lagi reaksi Alex membuat obrolan mereka kembali mati.

Alexa yang mendengar reaksi pendek suaminya kemudian menatap Alex dengan sinis. Ia paling benci jika Alex tak menghiraukan ocehan puterinya.

"Mereka baru pindah ke kota ini beberapa bulan yang lalu, Sayang. Jadi belum banyak yang mengenalnya. Ayahmu datang ke pesta mereka hanya karena butuh dukungan para konglomerat untuk pencalonannya nanti," sindir Alexa seraya melirik ke arah suaminya.

Alex yang merasa tersindir balik melirik sang isteri dengan sorot tajam matanya. Pasangan itu malah saling menatap dengan sorot mata yang menyiratkan sebuah tantangan.

"Hhh... kalian seperti anak remaja yang sedang bermusuhan."

Laura tampak frustasi dan menyerah. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok mobil dan pura-pura memejamkan mata. Perjalanan 40 menit yang dilalui terasa seperti satu abad karena kebisuan dan aura dingin diantara ayah dan ibunya.

Akhirnya kepenatan yang dirasakan Laura Morgans berakhir saat mobil mereka sampai di area parkir luas milik keluarga Tompson. Mansion mewah itu memiliki area parkir 6 lantai dan setiap lantai terhubung dengan sebuah lift khusus yang bisa membawa para tamu langsung ke tempat pesta berlangsung.

"Mom, mansion ini sangat mewah. Mansion milik kakek saja tak sebesar ini," ungkap polos Laura.

Gadis itu mengabaikan lirikan tajam ayahnya. Laura dan ibunya berjalan lebih dulu setelah keluar dari lift. Alex yang merasa diabaikan hanya bisa mendengus kesal melihat dua wanita di depannya tampak sangat akrab dan tak peduli dengannya. Pria itu berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya.

"Selamat malam, Nyonya Morgans."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status