Share

Rencana Selanjutnya

Segelas susu selesai diseduh, Aldo memilih mengantarkannya sendiri menuju kamar Anjani. 

Tok  tok tok

Suara ketukan pintu kamar membuat Anjani dan putranya saling berpandangan. Rio yang berfikir bahwa sang Ayah menyusulnya karena ingin memarahinya lagi langsung berlari ke kolong ranjang, bersembunyi. 

Anjani yang sudah tahu kalau kedatangan suaminya pasti ingin memberikan segelas susu lengkap dengan mantra mantra palsunya, langsung beranjak dan membukakan pintu. 

"Ada apa, Mas?" tanya Anjani dengan wajah datar. 

Aldo menatap Sang istri sejenak, kemudian menyuguhkan nampan berisi susu hangat. Anjani dengan ragu meraih nampan itu. 

"Dihabiskan," ujar Aldo pendek. 

Anjani tetap memasang wajah datar sampai sang suami berbalik arah meninggalkannya. 

Wanita dalam balutan dress hitam itu hanya bisa memandangi punggung Sang Suami tanpa bisa menyentuhnya seperti dulu. 

Setelah kembali menutup pintu kamar, Anjani menatap segelas susu yang ada dihdapannya, meneliti sejenak kemudian meneguknya dengan santai. 

"Mau sampai kamu buatkan susu sampai segalon pun, aku tetap tidak akan memaafkan mu, Mas," gumam Anjani lirih. 

Rio yang tadi curi curi pandang ke arah sang Ibu, akhirnya merayap keluar dari kolong ranjang. Menghampiri sang Ibu dan ikut menikmati susu hangat buatan Ayahnya. 

"Enak?" Tanya Anjani setelahnya. 

Rio menggeleng pelan dan menyuguhkan sisa susu pada Sang Ibu," terlalu manis, bu," ujar Rio pendek. 

Anjani yang telah menghabiskan segelas susu pemberian Aldo sudah menyiapkan rencana untuk keesokan harinya. Ia sudah siap berakting menjadi peri baik hati yang juga merangkap sebagai keset kaki Sang Suami dalam kurun waktu 24 jam. Setelah itu tentu rencana selanjutnya akan kembali dijalankan. 

Di kamarnya, Aldo menghabiskan malam panjang dengan terjaga. Sebelah sisi hatinya teringat akan bentuk tubuh Sania yang montok, sebelah hatinya lagi dipenuhi rasa cemas, kalau-kalau keris yang diberikan mbah dukun ternyata tidak mujarap. 

Ingin ia melangkah mengetuk pintu kamar Rio, tapi ia merasa harga dirinya akan ternoda jika melakukan hal demikian. 

Aldo pernah berfikir ingin menceraikan Istrinya tapi ia tetap tak bisa melakukannya karena terikat akan janji dengan sang Ibu di kampung yang memintanya untuk selalu setia pada Anjani. 

Ya, Anjani walaupun kucel dan bau ompol, ia adalah mantu kesayangan sang Ibu. 

Setelah beberapa kali berganti posisi tidur, Aldo memilih duduk dan meraih ponsel hitam di atas nakas, memainkan benda pipih itu sejenak kemudian membuka beberapa pesan whatshapp dari Sania. Tak tanggung- tanggung, ada tujuh pesan whatshapp dan 15  panggilan video call di handphonenya. 

"Haruskah kubalas?" gumam Aldo penuh tanya. 

Aldo teringat kembali masa masa indah dengan Sania beberapa waktu belakangan, ia  mulai menghitung hitung berapa banyak modal yang telah ia keluarkan guna menyenangkan wanita idamannya itu. Aldo menyesal? tentu tidak. Ia malah berencana akan menagih semua yang diberikannya kepada Sania bila terbukti gadis itu mempunyai lelaki simpanan dibelakangnya. 

Ya,begitulah Aldo dengan segala sifat pelit dan perhitungannya. Ia tetap saja tak berubah, tak menyadari bahwa apa yang baru saja menimpanya adalah buah dari perbuatannya yang telah zhalim kepada anak dan istrinya selama ini. 

***

Pagi itu, mendung menggelayut manja di atas langit, sang surya enggan menampakkan diri meski jam dinding telah menunjukkan pukul 06:30. 

Aldo yang baru saja beranjak dari ranjangnya, buru-buru bersiap hendak berangkat ke kantor. Ia mandi seadanya dan segera mengambil kemeja yang telah disiapkan sang Istri. 

Aldo mengerjab beberapa kali, mencium kemejanya yang wangi dan sangat rapi. Ia merasa Sang Istri mulai melayaninya dengan baik sama seperti sebelumnya. Ada rasa lega di hatinya. 

Setelah rapi dengan kemeja bewarna navy yang wangi dan lembut. Aldo melangkah meninggalkan kamar, sesampai di luar, ia di sambut sang Istri dengan senyum manis lengkap dengan gincu merah merona. Tak seperti biasanya. 

"Ayo, Mas, sarapan dulu," ajak Anjani pada suaminya yang terlihat sedikit bingung. 

Anjani langsung menyiapkan roti bakar yang diolesi dengan selai coklat kesukaan sang Suami, tak lupa ia juga telah menyiapkan segelas cappucino hangat di atas meja. 

"Mau sekalian saya suapi?" tanya Anjani dengan manis meski dalam hati ia ingin sekali menyiramkan segelas susu itu pada  wajah Sang Suami. 

"Tak perlu, minggir sana, siapkan kaos kaki dan sepatu ku!" sahut Aldo kasar. 

"Baiklah, Sayang," ujar Anjani seraya bergegas melaksanakan perintah sang Suami. 

"Ah, kerisnya benar benar ampuh!" Aldo melahap habis roti bakar di depannya dengan wajah berseri seri. 

Setelah menyantap sarapan paginya, Aldo duduk di sofa sembari di bantu Anjani memakaikan kaos kaki serta sepatu kantornya. Benar-benar seperti raja, begitulah yang diharapkannya selama ini. 

Sifat egoisnya semakin menjadi jadi tatkala semakin bertambah umurnya di setiap tahun. 

Ia sama sekali tak memikirkan kebutuhan anak dan istrinya, ia hanya ingin dilayani dengan sebaik mungkin tanpa peduli dengan perasaan orang yang melayaninya. 

Pria berkemeja navy lengkap dengan sepatu mengkilat itu akhirnya meninggalkan rumah, meninggalkan sang Istri yang menatap dengan penuh kebencian. Anjani tak sabar menunggu nanti sore, saat yang tepat untuk menjalankan rencana selanjutnya. 

Selepas kepergian sang suami, Anjani mengusap habis lipstik merah merona yang ia kenakan kemudian segera menuju kamar guna mengabari sang paman prihal rencana mereka selanjutnya. 

( Paman, mintalah lebih banyak dari yang sebelumnya ) 

Demikian satu pesan singkat yang segera Anjani kirimkan untuk sang paman. 

sang paman yang menerima pesan itu terlihat manggut-manggut sembari mengelus janggut panjangnya yang sedikit rontok. 

( Aman, asal bagi paman sedikit ya untuk membeli jenggot palsu di pasar malam ) Balas sang paman kemudian. 

Anjani terkekeh geli. Uang 20 juta kemarin masih tersisa sebagian, sebagiannya lagi telah habis digunakannya untuk membayar hutang demi hutang yang menumpuk di warung serta biaya tunggakan sekolah putranya yang tidak sedikit. Sebagai Istri yang tidak diperlakukan layaknya Istri, Anjani harus mulai belajar menghitung, setiap kebaikan yang ia lakukan pada sang Suami harus dibayar mahal oleh pria pelit itu. 

Ia tak ingin lagi dibodohi dengan istilah kewajiban, baginya kini sama saja, Suami dan  Istri sama-sama memiliki kewajiban dalam berumah tangga. Apabila salah satunya lalai, maka sebelah pihaknya akan menderita dan tersiksa dalam ikatan pernikahan dan anak akan selalu menjadi pihak yang paling menderita.

Anjani berdiri tepat menghadap cermin, ia menyentuh pipi kurusnya. Wajah kusamnya terlihat amat mengerikan di kaca, sepasang matanya yang cekung dan gelap memperlihatkan dengan jelas bahwa selama ini ia lebih banyak menghabiskan malam malamnya dengan terjaga. 

"Mas, lihatlah aku, kau sudah begitu lama membuatku menderita," ujar Anjani lirih dengan dua bulir bening mengalir deras membasahi pipinya. 

"Kau harus membayar mahal setiap bulir air mataku!" ujar Anjani kemudian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status