Akting Dimulai
Sore itu, Aldo selalu terlambat seperti biasanya. Pria itu pulang ke rumah dengan wajah murung, ciri khas wajah pria yang sedang patah hati akibat ulah sang kekasih, Sania.Pria berkemeja navy itu melangkah menyusuri ruang tamu yang sepi dan gelap. Ia berfikir kemana anak dan istrinya, kenapa ruangan justru dibiarkan gelap bahkan lampu di bagian teras malah belum dinyalakan sama sekali.
Aldo melirik arloji mahal yang selalu bertengger dengan setia di lengannya. Ia mengusap lembut wajahnya, menyadari bahwa hari ini ia terlalu banyak menghabiskan waktu di kafe sehingga membuatnya selalu lupa waktu.Aldo melangkah gontai memasuki rumah. Suara ketukan sepatunya yang mengkilat menggema memecah kesunyian rumah.
"Anjani!"
Gema teriakan Aldo seketika memenuhi ruangan. Pria yang masih mengenakan kemeja navy itu menghempaskan bokong sejenak dan kembali mengulang panggilannya.
Sampai pada panggilan kedua pun kembali menggema Anjani tak jua muncul, hanya saja lampu kristal di ruang tamu itu tiba-tiba berkedip dengan sendirinya. Aroma melati tiba-tiba menyeruak memenuhi setiap ruangan. Aldo bergidik seraya mengusap tengkuk dengan perasaan yang tidak bisa di jelaskan."Ada apa ini?"
Aldo beranjak dari duduknya dan melangkah dengan kepala dipenuhi puluhan pertanyaan. "Apakah Anjani membeli parfum melati?"Lagi lagi pertanyaan Aldo tak berbalas, malah justru suara denting piring dan gelas mulai terdengar saling beradu, mengisi seluruh sudut ruangan yang semakin terasa sepi dan mencekam.
"Anjani!"
Aldo berteriak untuk kali ketiganya, menyebut nama wanita yang sudah sepuluh tahun menemaninya dalam mengarungi bahtera rumah tangga atau lebih tepatnya bahtera kapal reot yang sebentar lagi akan karam karena mengangkut penumpang cabe cabean seperti Sania.Sampai teriakan itu kembali bergema, Anjani tak juga muncul, malah suara pintu kamar terdengar berderit, sedikit gaduh dengan suara tawa yang tiba tiba membahana.
"Ayah!"
Aldo menatap asal suara panggilan putranya. Anak itu berdiri dengan wajah pucat dalam remang remang cahaya lampu dapur.
"Mana Ibumu?"
Aldo bertanya sembari melangkah mendekati sang bocah yang terlihat bingung. Anak itu hanya diam, sepasang bibirnya tampak gugup untuk mengutarakan sesuatu. Jemarinya hanya menunjuk kearah dapur, dengan wajah datar dan tatapan kosong.Aldo bergegas mengikuti arah telunjuk sang putra kemudian memasuki dapur dengan sedikit berhati hati.
Aldo meneliti setiap sudut ruangan, setiap sisi dapur yang temaram. Tak ada Anjani di sana. Hanya saja sebuah gelas kaca tiba tiba jatuh menghantam lantai, menimbulkan suara bising yang memekakkan telinga."Hei, bodoh! Mana ibumu?" Aldo berteriak sembari memutar badan ke arah putranya. Deru nafasnya terlihat naik turun, pria berbadan besar itu tengah berupaya menguasai hatinya yang mulai dipenuhi perasaan takut.
Rio masih berdiri mematung, menatap ayahnya dengan wajah datar.
"Mana ibumu!"
Kali ini teriakan Aldo melengking, memenuhi seluruh ruangan. Pria yang katanya selalu pulang terlambat akibat kerja lembur itu menghardik putranya yang masih saja mematung seperti pahatan batu. Kedua bola matanya terlihat memerah, menahan amarah dan kekesalan pada putranya yang masih saja diam mematung.
"Mana Ibumu!!" teriak Aldo lagi.
Rio terlonjak mendengar teriakan ayahnya, anak itu kembali menatap, menelusuri setiap sudut dapur dan menunjuk ke arah sesuatu, sesuatu yang berada tepat di belakang ayahnya.
Aldo memutar badan, mengikuti arah telunjuk sang putra, sontak kedua netra pria itu membulat, menatap istrinya yang berdiri dengan membawa pisau pemotong daging berbentuk persegi. Wanita itu menyeringai, berteriak dengan menggunakan bahasa sunda yang sulit ia dimengerti, padahal Aldo jelas-jelas tahu kalau istrinya tidak bisa menggunakan bahasa sunda.
Aldo menarik undur langkahnya, berhati hati dengan pisau pemotong yang tengah dipegang istrinya. Sedangkan Anjani tampak semakin mendekati sosok suaminya yang terlihat memucat dengan tetes keringat dingin yang memenuhi setiap inci wajahnya.
"Kamu kenapa Anjani? Ini aku, Aldo. Suami kamu," ujar Aldo lembut sembari tetap menjaga jarak dari istrinya.
Semakin Anjani maju, Aldo semakin melangkah menjauh dan menghindari setiap tatapan tajam sang Istri.
"Dasar pria pelit! Aku akan mengambil istrimu dan kubuat ibu mu yang tua renta itu kejang kejang!" ujar Anjani sembari menyeringai menakutkan. Kedua sorot matanya tajam dan sesekali mendelik, mengerikan.Tak lama berselang, Anjani tiba tiba bertingkah semakin aneh, jari jemarinya bergerak lembut serta tubuhnya mulai meliuk liuk mengikuti lagu yang tengah ia senandungkan, senyumnya terlihat manis dengan tatapan yang semakin mengerikan. Pisau pemotong daging di tangan Anjani juga ikut bergerak gesit mengikuti gerakan tangannya yang semakin lincah menari.
Aldo yang menyaksikan itu seketika merinding hebat, kedua kaki tegapnya justru tak bisa berdiri dengan kokoh, bergetar dan mulai lemas akibat sulit mengendalikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya.
Aldo meraba tembok di belakangnya dengan tertatih, persendiannya seakan ingin lepas dan membuat pria itu jatuh tersungkur, ketakutan. Ia berusaha meraba raba tembok guna kembali menyeimbangkan tubuhnya yang lemas dan tak berdaya.
Rio yang masih berdiri tak jauh dari Ayahnya segera membantu pria berkemeja navy itu untuk berdiri dan melangkah meninggalkan dapur. Anak itu menuntun langkah Ayahnya yang terseok seok menahan gemetar di lututnya.
"Kenapa Ibu mu jadi seperti itu?" tanya Aldo kemudian.
Rio menggeleng lemah, anak itu bertingkah dengan polosnya sembari menuntun Ayahnya untuk duduk.
"Sudah berapa lama Ibumu seperti itu?" tanya Aldo dengan nafas sedikit tersengal.
"Sudah dari tadi sore,"sahut Rio pendek.
"Sebaiknya bawa ibu pergi berobat, Ayah. Rio takut kalau Ibu di guna-guna orang," tambah Rio kemudian.
Anjani yang masih sibuk manari di dapur segera menghentikan aktingnya dan meneguk segelas minuman dingin dari kulkas. Ia juga menyantap sepotong martabak spesial yang baru saja di belinya via online. Sesekali ia mengusap sisa coklat yang menempel dengan acak acakan di sekitar bibirnya.
"Ternyata jadi artis gak mudah ya," gumam wanita itu sembari terkekeh.
Lanjut mengunyah potongan yang kedua, tiba tiba terdengar langkah Aldo dan Rio yang akan mendekati dapur, Anjani yang kaget dan bingung hendak berbuat apa akhirnya berpura pura pingsan dengan serta sepotong martabak di tangan kanannya.
Aldo dan putranya saling pandang, kemudian segera membopong tubuh Anjani menuju teras rumah dan membaringkannya ke dalam mobil. Aldo berencana membawa Anjani menemui Mbah dukun yang katanya amat sakti itu.
Dalam perjalanan menuju rumah Mbah dukun, Aldo masih menyetir dengan lengan bergetar, sesekali ia menoleh ke arah Anjani, takut kalau-kalau istrinya itu bangun dan mencekiknya dari belakang.
Perjalanan yang ditempuh memang tidaklah jauh,hanya saja, ada sedikit kemacetan yang biasa terjadi selepas isya, kerumunan anak muda biasanya memadati jalanan sampai menjelang tengah malam.
Rio yang setengah mengantuk, menatap sang Ibu yang tengah terbaring. Anak itu meneguk saliva sejenak saat menatap sisa coklat dari martabak yang masih menempel pada pipi sang Ibu.
Terima kasih telah membaca, jangan lupa tinggalkan review yang membangun ya." Sudah Ibu bilang kamu cuma salah lihat!" Anjani menarik lengan putranya dengan cepat memasuki pintu. Sekitar 5 menit yang lalu mereka baru saja tiba di rumah besar itu. " Enggak, Bu. Rio yakin itu ayah!" anak itu menolak apa yang coba sang Ibu yakinkan. Anjani lantas melotot. " Masuk kamar dan tidur!" perintah Anjani kemudian. Jono menarik nafas dalam-dalam kemudian melangkah pergi menuju kamar tidurnya mengikuti perintah Sang Ibu. " Haduh, nyaris saja ketahuan!" lirih Anjani sembari melirik Arloji sejenak. Azan isya' telah berkumandang sekitar 10 menit yang lalu sadang belum ada tanda tanda bahwa sang suami akan pulang ke rumah. Sebuah Klakson motor terdengar cukup nyaring hingga membuat Anjani harus kembali membuka pintu depan untuk memeriksa. Seorang Pria dalam balutan baju hitam tampak bermain kode dengannya. Namun Anjani masih mengisyaratkan untuk menunggu hingga pukul 10 malam. Selain karena suasana akan semakin sepi juga untuk memastikan apakah Aldo akan pulang atau tidak
" Suara apa itu, Mbah?" Rianti yang baru hendak menyuap nasi seketika menghentikan aktivitasnya kemudian menoleh ke arah sumber suara. Mbah Rejo menatap arah sumber suara dengan jantung berdebar debar. " Mungkin kucing," sahut Mbah Rejo kemudian.'Apa yang tengah dikerjakan dua orang itu?' batin Mbah Rejo sembari mengunyah sesendok nasi yang terasa amat serat di tenggorokannya. Keseringan berbohong ternyata bisa membuat Pria tua itu kesulitan menelan nasi." Mbah memelihara kucing? Anggora atau Persia, Mbah?" tanya Rianti di sela sela makan malam mereka." Ciliwung, orang nemunya dari kali belakang," sahut Mbah Rejo acuh.Rianti lantas terkekeh, ia menatap Aldo yang sejak tadi hanya diam saja sembari menyantap makan malamnya yang terasa begitu nikmat." Pindangnya enak, sepertinya dulu pernah makan masakan yang seperti ini?" puji Aldo. " Dimana?" tanya Rianti." Hm ... Kalau tidak salah mirip seperti masakan Anjani," balas Aldo. Rianti lantas membuang muka dan enggan membahas lebi
Anjani dan Rio yang masih bersembunyi di dapur mulai cemas lantaran Mbah Rejo tak kunjung muncul dan memberi informasi. Suara percakapan ketiganya terdengar samar-samar dari balik dinding dapur, Anjani bahkan harus menempelkan telinga agar bisa mendengar pembicaraan ketiganya." Apa sih yang tengah mereka bicarakan? Kenapa lama sekali?" Anjani menggerutu sembari mondar mandir tidak jelas. Putranya yang tengah memunguti pecahan gelas hanya sesekali menatap dan kembali meneruskan pekerjaannya.Di depan meja praktek Sang Dukun, Aldo dan Rianti masih bercerita panjang lebar mengenai susuk yang akan digunakan Mbah Rejo untuk mempercantik Rianti." Mbah biasanya apa saja pantangan yang tidak boleh dilanggar jika saya nantinya memasang susuk?" Rianti masih mengajukan berbagai macam pertanyaan seputar susuk yang nantinya akan ia pasang." Hm, mengenai pantangan saat memakai susuk biasanya lain jenis susuk maka beda pula jenis pantangannya," sahut Mbah Rejo sembari mencuri curi pandang ke bel
" Mbah baik banget deh," puji Rianti pada sosok pria tua yang kini tengah duduk di hadapannya. Pria itu tersenyum malu malu persis seperti remaja pria yang tengah mengalami cinta monyet dengan teman sebayanya. Aldo yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu menarik nafas berat. Walau katanya sudah tua tapi tetap saja Mbah Rejo juga laki laki normal dan jelas ia menangkap sinyal sinyal ketertarikan dari pria yang sudah berumur tidak muda lagi itu terhadap Rianti. " Oya, Apa sebenarnya tujuan kalian datang ke rumahku sore hari begini?" tanya Mbah Rejo setelah cukup lama menatap belahan dada Rianti yang begitu menggoda. " Ah, syukur akhirnya sadar juga," Gumam Aldo setelah terdiam cukup lama dan hanya menjadi penonton di antara Rianti dan Mbah Rejo. " Begini Mbah, kedatangan kami kemarin sebenarnya ingin membahas mengenai syarat-syarat yang pernah Mbah ajukan dulu serta saya juga ingin mengatakan bahwa suamiku Himawan sudah kembali kepadaku dan memenuhi kewajibannya seperti sedia kala
Kedatangan Aldo yang secara tiba tiba sore itu sontak membuat Mbah Rejo, Anjani dan putranya kalang kabut. Terlebih saat pecahan gelas tampak berserakan di lantai. Di luar sana, Aldo dan Rianti terlihat mulai meninggalkan mobil dan memasuki pekarangan rumah Mbah Rejo. " Kenapa Si Mbah malah pergi ya, Mas?" tanya Rianti heran. Aldo menggeleng tak mengerti. Rasanya tak ada yang salah dengan kedatangan mereka tapi mengapa Mbah Rejo langsung pergi begitu saja tanpa memperdulikan kedatangan mereka. " Rasanya tidak ada yang aneh pada kita, tapi kenapa si mbah malah gak sama sekali peduli pada kita," Aldo menimpali. Lantaran Mbah Rejo tak kunjung muncul, Aldo dan Rianti memutuskan untuk menunggu di teras. Sesekali keduanya memanggil Mbah Rejo namun sang empunya rumah belum juga muncul. " Ada apa sama si Mbah, ya? gak biasanya begitu."ujar Aldo curiga. "Aku juga gak ngerti, Mas. Apa jangan jangan dia menyembunyikan sesuatu dari kita?" Rianti memijat pelipis perlahan, ada rasa cenat cenut
" Aku sudah letakkan sertifikatnya di atas meja di dalam kamar Mas Aldo, berhati hatilah, buatlah ini seolah olah seperti perampokan sungguhan," ujar Anjani pada sosok dalam balutan jaket kulit hitam serta memakai masker bergambar tengkorak yang hanya menutupi sebagian wajahnya. Pria itu mengangkat jempol seraya tersenyum penuh arti." Serahkan semuanya padaku, akan ku pastikan semua berjalan sesuai rencana," ujar Pria itu kemudian.Mbah Rejo melipat tangan di dada, ada lega di hatinya saat melihat keponakannya itu mendengarkan semua ide ide nya dan melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana. Ia tak ingin menunggu lebih lama lagi, lebih cepat maka semua tentu akan lebih baik. Sangat menjijikan jika harus berdiam diri serta menyaksikan kebejatan perbuatan Aldo yang kian hari kian memalukan. Baginya, Anjani sudah lebih banyak bersabar dalam diamnya dan Rio entah mungkin anak itu sudah lupa bagaimana sosok seorang Ayah yang pernah dikenalnya dulu."Jangan sampai ketahuan, ya?" ujar M