"Kafe Victoria, jam 7 malam. Aku menunggumu di sana. Jangan membuatku kecewa dengan tidak datang, Sayang."
Elleana menghela napas berat, meletakkan kembali benda pipih itu ke meja. Jujur, dia merasa kecewa. Tidak ada satu pun orang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini. Mau tidak mau, dengan berat hati Elleana memang harus menerima tawaran Rachel hanya demi uang dua juta dollar itu.
Dan, di sinilah Elleana sekarang. Bersama Rachel, ia tengah menunggu pria superkaya yang rela mengucurkan uang untuk menidurinya hanya semalam.
"Nah, itu dia!" seru Rachel tiba-tiba. Matanya memandang lurus ke depan.
Elleana menoleh, mengikuti arah pandangan Rachel. Seorang Pria dengan kemeja biru gelap yang lengannya digulung hingga siku. Pria tinggi, tegap, bertubuh atletis. Wajah yang tegas dengan rahang yang kokoh, mata hazel yang tajam bak pisau, hidung mancung, bibir tipis. Dagu yang ditumbuhi bulu halus, juga kumis tipis yang beraturan seakan baru dicukur, sehingga lebih mempertegas kepribadiannya.
Pria itu berjalan mendekat ke arah mereka dengan wajah datarnya. Mata hazel-nya menatap tajam. Mendadak bulu di tangan Elleana berdiri, hatinya ingin menjerit, badannya menjadi kaku seketika. Tatapan tajam pria itu dalam sekejap mampu menguncinya. Bahkan, jantung Elleana sampai meletup-letup hanya karena tatapan tajamnya.
“Dia David Matheo Miller! Pria penyelamatmu malam ini.”
‘Seperti inikah rupa dari Dewa Yunani?’ batin Elleana menjerit kagum akan pesona pria itu.
Sebelum menyerahkan Elleana pada David, Rachel mendekatkan bibirnya ke telinga Elleana. “Ini kesempatanmu, El. Layani dia sebaik-baiknya.”
Sepuluh menit sejak Rachel meninggalkan mereka, David membawa Elleana menuju sebuah kamar hotel yang telah pria itu pesan.
“Apalagi yang kau tunggu?”
David duduk di tepi tempat tidur sambil mengangkat sebelah kakinya. Dia menyeringai, matanya menatap tajam Elleana seolah-olah tengah menelanjanginya.
Rasanya Elleana ingin mati saja karena ditatap seintens itu oleh David. “Maaf, Tuan, aku–”
“Cepat ganti pakaianmu.” Matanya memberi isyarat ke meja kaca yang menghiasi kamar itu. Ada sebuah paper bag hijau di sana.
Dengan ragu, Elleana mengambil paper bag itu dan pergi ke kamar mandi.
Selang sepuluh menit, Elleana keluar dengan kepala tertunduk. Berbanding terbalik dengan David yang justru menatap Elleana seperti seekor singa lapar. Bagaimana tidak? Dress merah super mini, ketat, dan bertali tipis.
Dress ini berhasil membuatnya menjadi jalang sungguhan. Bagian leher rendah yang bebas menunjukkan belahan dadanya. Lekuk tubuh yang tercetak sempurna, rambut yang digerai, belum lagi penerangan kamar yang setengah redup. Oh, astaga!
David berdiri mendekati Elleana yang setia menunduk sambil menutupi dadanya. Dengan jari telunjuk, dia angkat wajah Elleana yang mulai merona.
"Kau malu?" David tersenyum miring, mengejek. "Baru kali ini aku melihat jalang yang pemalu."
Elleana meneguk salivanya kasar. Entah mengapa perkataan pria di hadapannya itu sangat menusuk hatinya.
David memutar musik dari benda pipih miliknya, lalu memeluk pinggang Elleana erat dan membawanya lebih dekat. Jarak mereka sangat dekat, sampai-sampai Elleana bisa merasakan embusan napas teratur milik David menyapu wajahnya. Mereka menarik mengikuti irama.
Sesekali David memutar tubuh Elleana, melangkah ke kiri juga kanan, memeluk tubuh Elleana dari belakang. Wanita itu merasa ada sesuatu yang mengeras di bawah sana. Dia tahu apa itu. Spontan, otaknya siaga satu.
David menempelkan wajahnya di ceruk leher wanita itu, menjilatnya bahkan sesekali menghisapnya kuat membuat Elleana mendesah. Dengan sekali hentakan, David memutar tubuh Elleana menghadapnya.
Elleana dapat melihat mata hazel tajam milik pria itu sudah diselimuti kabut gairah. Elleana juga bisa merasakan napas pria itu mulai berat. David menggeram rendah. Ia mencium Elleana.
“Buka mulutmu.” Awalnya hanya sebuah ciuman singkat, tapi lama-kelamaan pria itu melumatnya, lumatan yang menuntut.
“Eugh.” Elleana mendesah. Entah apa yang terjadi padanya, tapi sungguh tubuhnya itu menuntut hal yang lebih. Ini kali pertama baginya, tapi jujur Elleana sangat menikmatinya.
Bibir David turun ke leher wanita itu. Refleks, Elleana mendongakkan kepalanya seolah memberi pria itu akses mudah. David menjulurkan lidahnya di sana perlahan, hingga turun tepat ke dada Elleana dan membuat banyak tanda keunguan di sana.
Elleana tersadar, kini ia sudah tenggelam terlalu dalam oleh permainan luar biasa yang diberikan oleh pria itu. “Tu-tunggu dulu, Tuan.”
Elleana pun langsung mendorong kepala David agar menjauh, membuat pria itu menggeram kesal.
"Kenapa?" tanya David dengan suara serak.
"Ba-bagaimana de-dengan–" David menatap tajam Elleana yang tengah menahan rasa gugupnya setengah mati. Elleana memejamkan matanya lalu menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana dengan bayaranku?"
David tersenyum miring, lagi dan lagi melempar senyum mengejek. "Berapa harga yang harus kubayar untuk tubuh indahmu ini? Hmm?"
Elleana mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ucapan dan senyuman David sangat menohok hatinya.
"D-dua juta."
"Hanya dua juta? Huh?" Seringaian iblis terbit di wajah tampannya. Alisnya sebelah terangkat tinggi. David merogoh saku celananya, mengeluarkan uang yang sudah diikat menjadi satu, totalnya ada dua ikatan. Pria itu melambaikan uang tersebut tepat di depan wajah Elleana lalu memberikannya setengah melempar. "Dua juta, seperti yang kau minta!"
Elleana berjongkok untuk mengambil uang itu dan menghitungnya di tempat.
Melihat hal itu, David berkacak pinggang. "Oh ayolah, aku bukan seorang penipu!"
"Kau benar. Dua juta." Elleana memekik kegirangan.
Tidak ingin lebih lama lagi menahan hasrat, David menarik lengan mungil Elleana. Dengan sekali sentakkan saja tubuh wanita itu sudah berada dalam dekapannya. Uang yang digenggam Elleana pun sudah berhamburan di lantai. David memeluknya erat, menghirup aroma rambut Elleana yang begitu memabukkan. “Berapa usiamu?"
Napas Elleana tercekat, bulu halus di tangan dan lehernya mendadak berdiri. Suara serak David yang sudah diselimuti gairah membara terdengar begitu sensual di telinganya. Elleana berdeham menyembunyikan kegugupannya.
"Du-dua pu-puluh dua."
Lagi-lagi, David mendengus. "Pelacur tidak perlu gugup!" Kemudian kembali mengendus leher jenjang milik Elleana.
‘Itu adalah sebuah penghinaan!’ batin Elleana menjerit. Tapi, sial, tubuh Elleana malah berkata lain.
David mendorong perlahan tubuh Elleana ke atas ranjang. Dia melepas kemejanya dan melemparnya asal, lalu merangkak naik ke atas tubuh indah Elleana yang masih tertutup dengan dress mini berwarna merah menggoda itu.
David mengecup kening Elleana lembut, lalu turun ke pipi, hidung, dan berhenti tepat di bibir ranum Elleana. Awalnya, hanya menempel saja, tapi lama-kelamaan berubah menjadi lebih menuntut.
Elleana tidak munafik, ia membalas ciuman pria itu dengan sama menggebunya. Refleks, Elleana menahan tengkuk David. Entah untuk memperdalam ciuman mereka atau memang Elleana yang tidak ingin David sampai mengakhiri ciuman panas itu.
Entah sejak kapan tali dress Elleana yang super duper tipis itu sudah merosot dan memamerkan dadanya yang mulus. David berlama-lama di sana, menggoda Elleana hingga membuat wanita itu susah payah menahan jeritannya.
"Akh-"
“Kau milikku malam ini, gadis kecil.”
Dengan napas yang memburu, Elleana menyambar baju hangatnya yang tergantung rapi di lemari lalu memakainya dengan cepat. Ia mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi bak ekor kuda. Setelah berkutat dengan hati dan pikirannya, akhirnya Elleana memutuskan untuk pergi menjemput Audrey. Bagaimana pun juga Mom Samantha telah mempercayakannya untuk menjaga rumah ini selama ia pergi, berarti termasuk juga untuk menjaga ketiga anak-anaknya.Elleana mendaratkan pandangannya pada David yang tengah tertidur nyenyak. Menatap sendu wajah suaminya yang nampak begitu damai. Elleana mengulum bibir bawahnya sambil menghela napasnya pendek. Mendadak batinnya kembali mengalami peperangan lagi. Haruskah Elleana membangunkan David dan mengatakan tentang Audrey yang belum juga pulang karena sedang berada di club?Elleana berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya, ia mengusir jauh-jauh pikiran itu. Membangunkan David bukanlah ide yang bagus. Kasihan suaminya itu sedang sakit saat ini dan baru saja tertid
Elleana menaiki anak tangga satu per satu, tangannya membawa nampan berisi semangkuk bubur yang masih mengepul asapnya dan teh hangat. Ia belajar semuanya itu dari Nyonya Regina. Setiap kali Elleana sakit pasti Nyonya Regina selalu memberikan semangkuk bubur dan teh hangat, lalu besoknya Elleana sudah merasa lebih baik. Jadi, Elleana buatkan hal yang sama untuk David dengan harapan pria itu merasa baik ketika bangun besok pagi.Tangan Elleana terulur membuka pintu kamar, pemandangan yang pertama kali di lihatnya adalah David yang baru keluar dari kamar mandi sambil meringis dan memegangi perutnya. Wajah suaminya itu masih pucat, kedua pipinya juga memerah bak kepiting rebus mungkin karena mati-matian menahan gejolak di perutnya. Elleana menghampiri David yang berjalan tertatih-tatih ke kasur seraya berulang kali menghela napas kasar.“Sudah berapa kali bolak-balik kamar mandi selama aku pergi membuatkanmu bubur?” Tanya Elleana lembut sambil meletakkan nampan berisi bubur itu di atas n
Trap...Trap...Trap!Terdengar bunyi langkah kaki yang mengalun tegas memenuhi seluruh mansion Miller. Suara yang tak asing di gendang telinga, membuat Elleana yang baru saja selesai merapikan seprai kamarnya langsung setengah berlarian keluar kamar menghampiri sumber suara. Dari atas, Elleana dapat melihat David yang sudah pulang, padahal baru pukul empat sore. Tumben sekali suaminya itu pulang lebih awal, ujar Elleana dalam hatinya.Elleana mengulum senyum manisnya sambil mengedikkan bahu tak peduli. Ia memperhatikan David yang masih setia berdiri di bawah, tak ada tanda-tanda kalau pria itu hendak menaiki anak tangga. Mata Elleana memicing, mendapati pria mata hazel itu sedang meringis seraya tangannya memegangi perut berototnya yang seperti roti sobek itu. Kening Elleana mengernyit, dalam hati bertanya-tanya apa yang terjadi dengan suaminya itu."Dave?” Gumam Elleana setengah kencang, membuat David refleks menoleh padanya. “Kau kenapa? Hmm
"Siang ini Mom dan Dad akan berangkat ke Jepang," Elleana yang baru saja memasuki mansion Miller setelah mengantar David pergi kerja itu langsung menoleh ke ruang tamu kala mendengar suara Mom Samantha.Elleana mengernyitkan keningnya. Ia tidak salah dengar, kan? Ibu mertuanya itu ingin pergi ke Jepang? Ada masalah apa? Dan kenapa tiba-tiba sekali? Mendadak rasa tak enak hati dan pikiran negatif mulai menyerang Elleana. Jangan-jangan penyebab kepergian ibu mertuanya itu karena Elleana? Cepat-cepat Elleana menepis pikiran itu dari benaknya dan bergabung ke ruang tamu. Mertuanya itu sedang duduk santai sambil minum secangkir kopi bersama Juliant."Tumben sekali," Cicit Juliant tiba-tiba. Elleana mengulum senyum tipis kala Juliant melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum, menyapa. Perlahan Elleana menghempaskan bokongnya di sofa panjang, duduk di samping Juliant kala mendapatkan isyarat dari ayah mertuanya untuk bergabung."Oh, jangan bilang kalau Mom dan Dad ingin pergi bulan madu
Elleana membuka kelopak matanya cepat, tak sabaran. Dadanya kembang kempis tak karuan. Ia mengambil benda pipih miliknya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang tempat tidurnya. Sepuluh menit lagi pukul enam pagi. Ia mengamati kedua tangannya dengan seksama, satu per satu jemarinya di absen tak terlewatkan. Cincin dengan mata berlian biru melingkar sempurna di jari manisnya. Matanya menatap cincin berlian itu penuh haru, tak menyangka sekali.Lalu Elleana mengintip dari balik selimut tebal yang menutupi hingga ke dadanya, tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Elleana menyeringai lebar, sebelah tangannya menutupi wajahnya malu-malu. Ternyata, malam panjang penuh kejutan dan kebahagiaan yang diciptakan oleh David itu sungguhan terjadi. Tadinya, Elleana kira itu hanya sekedar mimpi saja.Elleana melirik sekilas ke arah David yang masih terlelap dengab damai di sampingnya. Elleana membaringkan tubuh mungilnya lagi, pelan-pelan, agar tak menimbulkan gerakan yang bisa mengganggu ti
Elleana dan David berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Padahal hari sudah semakin malam, tapi jalanan Manhattan tak juga kunjung sunyi, malah semakin ramai kendaraan berlalu lalang. Angin berhembus sepoi-sepoi. Elleana mengusap-usap lengannya yang tidak tertutup sehelai benang pun sambil sesekali memeluk badannya sendiri. Udaranya lumayan dingin, ditambah lagi dress pemberian David tidak berlengan dan bahannya tidak terlalu tebal juga. David melirik istrinya itu melalui ekor matanya, ia tersenyum tipis sambil menggeleng samar. Padahal Elleana sedang merasa kedinginan, tapi wanita itu malah diam saja. Semua wanita memang sama saja ya. Apa susahnya sih tinggal bilang ‘aku kedinginan’? Makanya, tidak heran lagi deh kalau banyak wanita yang suka tiba-tiba merajuk tanpa alasan yang jelas. Sebagai seorang pria sejati, David melepaskan jas yang melekat di tubuh tegaknya itu. Lalu ia memakaikannya dengan melilit jas itu menutupi punggung dan pundak Elleana. Tak hanya sampai di situ, Dav