"Anda harus bertanggung jawab!" tuntut Charlene setelah menghadang langkah pria yang berdiri di hadapannya saat ini.
Pria dengan kaus polo putih itu, menautkan alisnya sembari memindai sekelilingnya dengan tenang. Ia mendapati bahwa suara Charlene yang terdengar lantang, telah berhasil menarik atensi beberapa orang yang berada di lobi Universe Hotel and Apartments tersebut. Tatapan mata Charlene yang nyalang, menunjukkan tidak ada ketakutan dalam diri gadis itu.Namun, napas Charlene seolah berhenti ketika pria itu menatap balik padanya dengan dalam. Ada gelenyar aneh bercampur rasa familiar kala melihat manik pria itu. Di saat yang bersamaan, ia merinding ketika menyadari betapa dingin dan tajam tatapan yang dihunuskan oleh netra pria itu kepadanya."Ikutlah denganku, Nona," titah pria itu dengan suara beratnya yang dingin, kemudian melewati Charlene.Charlene segera berbalik untuk mengekori langkah panjang pria itu. Begitu mereka tiba di area sebuah ruangan mewah berisi empat buah lift yang tampak sepi, pria itu mendadak berbalik. Charlene sontak berhenti karena terkejut.Jarak mereka yang terlalu dekat, berhasil membuat jantung Charlene berdebar tak keruan. Ia berharap debaran jantungnya itu disebabkan oleh rasa kaget, bukan karena akan terkena serangan jantung atau semacamnya. Namun, embusan hangat napas beraroma mint yang bercampur dengan aroma cedarwood dari parfum yang pria itu gunakan, sungguh mengusik seluruh saraf Charlene. Begitu maskulin."Aku tidak mengenalmu, jadi apa tujuanmu membuatku menjadi bahan tontonan?" tanya pria itu masih konsisten dengan tatapan dinginnya.Dan rasanya Charlene hampir gila setiap mendengar suara pria itu. Seluruh sel-sel di tubuhnya langsung bereaksi dengan liar.Demi apapun .... Ini pasti karena ia terlalu sering berhalu! Rasanya sangat tidak masuk akal jika pria seperti itu ada di kehidupan nyata.Gambaran tentang pria dingin, kaya raya, tampan, mempesona, dan perkasa hanya ada di dalam novel-novel romantis yang ia—dan beberapa teman seprofesinya—tulis. Parahnya, kini ia berada di posisi tokoh wanita yang terpesona dengan sang pria. Yang benar saja, ia terpesona dengan pria itu?Namun, melihat dari jarak sedekat ini, harus Charlene akui bahwa pria di hadapannya itu memang luar biasa menawan. Netra birunya yang sedikit keabu-abuan semakin menyempurnakan kesan dingin itu. Belum lagi, alis tebal, garis rahang yang tegas dihiasi sedikit bulu-bulu samar, serta hidung mancung yang sepertinya bisa dijadikan arena seluncur ski.
"Aku tidak punya waktu untuk bermain-main, jadi menyingkirlah dari hadapanku," lanjut pria itu ketika Charlene tak kunjung memberi respon.Charlene yang tersentak dari kehaluannya, spontan berkedip cepat beberapa kali untuk menetralkan detak jantungnya yang berdentum cepat."Jangan pura-pura tidak tahu!"Charlene memberanikan diri untuk membalas tatapan pria itu lagi. Dia bertekad akan mendapatkan kembali haknya hari ini."Aku harus pergi," putus pria itu karena merasa telah membuang waktunya meladeni Charlene."Tidak! Sebelum Anda mengembalikan hak kami!" seru Charlene.Kali ini, giliran pria itu yang memicingkan matanya."Hak?""Iya! Uang kami yang telah Anda bawa kabur!"Pria itu tersenyum sinis. "Jangan mencoba untuk menipuku, Nona. Aku bisa saja menjebloskanmu ke penjara sekarang juga atas pencemaran nama baik."Charlene memandang pria di hadapannya dengan pandangan tidak percaya. "Dasar tukang playing victim! Anda yang menipu, Anda pula yang merasa dirugikan.""Menipu?" Pria itu semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Charlene.Seakan tak gentar dengan ancaman dari pria itu, Charlene mengangkat dagunya dengan percaya diri. Meskipun pria itu jelas begitu mengusik setiap sel yang ada di dalam dirinya. Bukan hanya penampilannya yang terlihat jantan, tetapi aroma tubuhnya juga. Membuat Charlene tidak bisa fokus dengan tujuan awalnya."Sial, Charlene! Konsentrasi!" marah Charlene pada dirinya sendiri dalam hati."Bukannya kau yang sedang mencoba menipuku di sini?" tuding pria itu.Kesabaran Charlene tampaknya sebentar lagi lenyap. "Dengar, Tuan Lee Finnegan Montana, berhenti bertingkah seakan Anda adalah korban. Karena di sini, kamilah korbannya."Lee membalasnya dengan tersenyum sinis."Bagus sekali aktingmu, Nona. Kau bisa mendapatkan penghargaan sebagai artis terbaik."Sang CEO lalu berbalik hendak menuju lift. Tak ingin usahanya sia-sia, Charlene bergegas menahan lengan pria itu. Sayangnya hal itu membuat Lee terkejut dan refleks mendorong tubuh Charlene hingga membentur dinding.Untuk sesaat, Charlene sama sekali tidak dapat berpikir karena terlalu syok. Detik berikutnya, barulah ia mulai merasakan sakit, karena telapak tangan Lee yang besar mencengkeram kedua lengan atas Charlene dengan begitu kuat. Charlene menatap mata pria itu.Dingin, menusuk. Lee terlihat begitu murka.Rahang pria itu mengeras. Charlene mulai berpikir, besar kemungkinan tulangnya bisa remuk di tangan pria itu."Tuan!" seru seorang pria yang mendadak muncul entah dari mana.Suara itu membuat Lee perlahan mengendurkan cengkeramannya, lalu terlepas. Ia masih memandangi Charlene dengan tatapan berbahayanya. Sementara Charlene yang masih syok, mengusap kedua lengannya yang terasa sakit.Gadis itu berusaha mengumpulkan udara di sekitar, merasa lega, tetapi juga memasang sikap waspada terhadap sang CEO. Sebab, Lee tadi tampak begitu menakutkan dan berbahaya!"Maaf saya terlambat. Anda tidak apa-apa?" lanjut pria yang baru saja datang itu.Sungguh, Charlene amat sangat bersyukur karena pria yang baru saja tiba itu telah menyelamatkannya, terlepas dari siapa pria itu."Urus gadis ini, Marvin. Jebloskan dia ke penjara!” titah Lee.Mata Charlene sontak membola. Apa-apaan ini? Dia datang ke sini hendak menuntut hak dirinya dan juga teman-temannya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan pria itu. Lantas kenapa sekarang pria itu hendak menjebloskannya ke penjara? Tidak, bukan seperti ini jalan ceritanya. Charlene memicingkan matanya kala pria itu melangkah menuju lift.Jika Lee merasa Charlene bisa diperlakukan semena-mena, maka pria itu salah besar. Lee jelas tidak mengenalnya, jadi pria itu tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh orang yang tertindas seperti Charlene."Anda tidak bisa pergi begitu saja, Tuan!" seru Charlene yang langsung menerjang ke arah Lee yang hendak masuk ke dalam lift.Charlene kini menempel di punggung Lee seperti anak koala yang sedang digendong induknya."Apa yang kau lakukan?!"***Halo semuanya. Ini buku perdana Author di GN. Salam kenal untuk pembaca yang baru pertama kali membaca karya Author. Dan untuk pembaca yang sudah pernah membaca karya Author sebelumnya, terima kasih karena sudah mengikuti sampai ke sini. Semoga kisah yang Author tulis ini, bisa menghibur dan bermanfaat untuk para pembaca. Happy reading :)
"Kembalikan uangku!" tegas Charlene sekali lagi. Charlene bertahan dengan menjepit erat pinggang Lee menggunakan kaki. Sementara tangannya melingkari leher pria itu. Lee merasa tercekik. Ia tidak menyangka jika Charlene memiliki kekuatan yang cukup besar untuk melawannya. Marvin ingin menolong, tetapi ia takut melukai salah satu di antara mereka. Walau bagaimanapun juga, ia tidak tega berbuat kasar terhadap seorang wanita. Sebelum Marvin sempat bertindak, Lee berhasil melepaskan tangan Charlene. Brukkk! "Aw!" Tubuh Charlene terempas ke atas lantai marmer yang dingin. Ia mengusap bokongnya yang terasa sakit. Sebelum Charlene sempat berdiri, Lee kembali bersuara. "Jangan sampai wanita ini muncul di hadapanku lagi!" ujar Lee yang ditujukan pada Marvin, tetapi tatapan matanya tidak lepas dari Charlene. "Dan aku akan memastikan Anda di penjara, Tuan!" seru Charlene sembari berdiri. Netra Lee menyipit dan sedikit berkedut. Charlene membalas tatapan pria itu dengan bergeming. Ia tidak
Tidak mungkin jika kedua temannya itu hendak mencelakai dirinya. Charlene cukup mengenal mereka. Ia yakin bahwa pasti ada penjelasan di balik semua hal ini. "Apa mereka berniat menjebakmu?" Axel seakan bisa membaca pikiran Charlene. Ia mengenal Lucy dan Christine karena pernah beberapa kali bertemu dengan mereka. Charlene menggeleng. "Seperti katamu tadi, sepertinya ini hanya masalah salah paham." "Apa kau sudah menghubungi mereka?" "Tidak. Aku belum menghubungi mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas, apalagi ini sudah malam." Well, Charlene percaya pada teman-temannya. Ia tidak ingin membuat mereka merasa bersalah karena telah mengakibatkan dirinya kini terkena masalah hukum. Axel mengangguk samar, masih belum melepaskan tangannya dari pipi Charlene. Wajahnya tampak menyimpan beban. "Katakan saja yang sebenarnya," tandas Charlene yang sudah pasrah. Axel menatapnya dengan lembut. "Aku sungguh minta maaf, karena malam ini, kemungkinan besar kau harus berada di sini." Axel
Charlene melangkah memasuki ruang kunjungan. Ia harus menyembunyikan wajahnya yang kesal di hadapan orang yang mengunjunginya. "Kau harus menginap satu malam di penjara," kata Lee tadi malam, sebelum mengakhiri pembicaraan mereka secara sepihak.Jika bukan karena Lee berjanji akan mencabut tuntutannya, tentu Charlene tidak akan mau bersusah payah menyembunyikan rasa jengkelnya pada pria itu. Charlene berjalan ke sisi seberang. Lee mengangkat kepalanya untuk melihat gadis yang sejak tadi malam terus mengusik pikirannya. Lingkaran hitam samar di bawah mata Charlene, cukup untuk menunjukkan bahwa gadis itu tidak tidur dengan nyenyak semalam. Atau bahkan mungkin gadis itu sama sekali tidak bisa tidur? Agh! Kenapa Lee harus peduli dengan hal itu? Bukankah mereka impas karena Charlene juga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak—meskipun Charlene tidak tahu apa-apa?"Duduklah," titah Lee sembari menggerakkan dagunya ke arah kursi di seberang tempat duduknya. Dengan malas, Charlene men
Axel memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh dari pintu utama Universe Hotel and Apartments. Ia tidak bisa berhenti di depan pintu utama karena ada sebuah mobil yang lebih dulu bertengger di sana. "Kau yakin tidak perlu aku temani ke atas?" tanya Axel pada Charlene setelah keduanya turun dari mobil. Charlene menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Keduanya saling melempar senyuman hangat. Pemandangan itu terpindai oleh pemilik mobil di depan, melalui pantulan kaca spion di luar mobil. Ekspresinya yang terlihat tenang, tampak kontras dengan sorot matanya yang dingin. Pria itu bergegas turun tanpa menyuruh asistennya untuk membukakan pintu mobil. Sebenarnya, sewaktu tiba tadi, seperti biasa sang asisten hendak turun untuk membukakan pintu mobil baginya. Namun, pria itu mencegah sang asisten melakukan hal itu setelah tanpa sengaja melihat Charlene di belakang. "Suruh Nona Flynn ke atas sekarang juga," titah pria yang tak lain adalah Lee, pada Marvin. Dari nada bicara Lee,
Charlene sedang membuka situs mesin pencari online, mencari beberapa informasi sebagai bahan tulisan untuk novelnya. Ia memutuskan untuk mengetik di dapur bersih—setelah menyusun semua barang-barangnya yang ia kirim lewat ekspedisi ke penthouse—demi menghindari Lee. Tadinya Charlene berharap Lee membawa teman kencan pulang ke penthouse, sehingga Lee tidak akan membutuhkannya. Namun, Berta mengatakan bahwa Lee tidak pernah terlihat membawa teman wanita pulang. Charlene menghela napas pelan di atas salah satu stool bar yang ada di depan kitchen island. Ia duduk menghadap ke arah kitchen set di dinding hanya dengan penerangan satu lampu. Selebihnya, ruangan yang menyatu dengan ruang santai yang luas itu, tampak gelap. Hanya bercahayakan sinar bulan dan lampu-lampu yang menyala dari bangunan-bangunan luar. Hampir dua jam Charlene mengetik, ketika mendadak ia merasakan hawa dingin menerpanya. Seluruh bulu kuduknya meremang. Gadis itu lantas mengusap tengkuknya. Ia pikir mungkin otot-otot
Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran. Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah. Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka. Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya. "Hmmhh ...," lenguh
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa