"Kenapa?" tanya Lee ketika menemukan paras Charlene yang tampak terkejut. "A-apa Anda akan selalu menghukumku dengan cara seperti ini?" Charlene tidak mungkin menanyakan pada Lee mengenai kejadian tadi malam. Jadi, dia terpaksa mengajukan pertanyaan lain agar Lee tidak menaruh kecurigaan atas keterkejutannya. "Menghukummu?" Lee menatap netra Charlene sebelum tatapannya jatuh ke atas bibir basah dan bengkak gadis itu. Damn! Libidonya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Ia kembali mengusap bibir Charlene dengan ibu jarinya, sementara tatapannya kembali bersirobok dengan netra Charlene. "Ini terlalu nikmat untuk disebut sebagai hukuman, bukan?" lontar Lee mengenai ciuman mereka tadi."Sama sekali tidak." Charlene mengerling ke tangan Lee yang sedang membelai bibirnya. "Tolong lepaskan." Bukannya mengabulkan permintaan Charlene, pria itu justru tersenyum samar. "Bukankah kau menyukai ciumanku?" tuding Lee. Charlene ingin mengumpat, karena Lee benar. Untungnya dia masih mampu menaha
"Ti-tidak, bukan seperti itu," kilah Charlene. "Lalu seperti apa?" Lee mengungkung Charlene dengan meletakkan kedua tangannya pada meja. Posisinya sama seperti tadi malam, kala mereka berada di pantry penthouse. Selanjutnya, pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Charlene, sehingga membuat Charlene harus memiringkan tubuhnya ke belakang. Wajah pria itu begitu dekat. Sekian milimeter lagi, maka hidungnya akan menyentuh puncak hidung Charlene. Aghh ... sial. Charlene tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. "Bi-bisakah Anda jangan terlalu dekat?" "Kenapa, ehm? Tidakkah kau penasaran bagaimana rasanya jika kita benar-benar bercumbu?" Glek! "Tu-Tuan Montana, saya bu-bukan wanita yang menarik. Sangat ti-tidak cocok menjadi teman tidur Anda," hasut Charlene sembari tersenyum dengan paksa. Ia berharap Lee melupakan ide gilanya itu. Dan Sepertinya ia berhasil karena Lee menjauhkan wajahnya. Kini ia bisa kembali merangkum keseluruhan wajah pria itu melalui indra penglihatannya.
"Tidak, tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Sudah cukup." Ia menoleh ke arah lain, kemudian bermonolog, "Bonus yang sangat mengerikan." Charlene lalu kembali menatap Lee karena mendadak timbul rasa penasaran yang sangat besar di dalam dirinya. Kenapa Lee mengatakan bahwa itu adalah bonus, bukan hukuman? Bukankah tindakannya telah membuat Lee mengalami kerugian? Seharusnya Lee memang menghukumnya, bukan memberinya bonus—meskipun hal itu tidak ada bedanya bagi Charlene karena bonus dan hukumannya sama. Well, Charlene benar-benar tidak tahu jika hanya karena masalah minuman saja, bisa membuat kerja sama yang sudah di depan mata menjadi batal. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak mengungkit topik-topik tersebut karena akan membuatnya kembali terseret ke dalam masalah. "Jadi, apa lagi yang harus saya kerjakan sekarang, Tuan Montana?" tanya Charlene pada Lee yang sedang bersandar pada punggung kursi. Salah satu siku tangan pria itu bersandar pada lengan kursi, me
"Hufff!" Charlene mengempaskan bokongnya ke atas sofa empuk di ruangan santai yang super luas, setelah meletakkan laptop dan ponselnya ke atas meja di depan sofa. Posisinya menghadap ke jendela, sehingga bisa menikmati pemandangan malam. "Akhirnya aku bisa merasakan me time juga," ucapnya pada diri sendiri. Ia mengulum senyum sembari membuka laptopnya. Selain ingin mengetik novelnya, ia juga berencana membuat surat penangguhan pembayaran cicilan utangnya. Ini adalah kali kedua ia membuat surat itu, setelah lebih dari dua bulan lalu melakukannya. Surat yang pertama kali ia kirimkan waktu itu adalah permintaan untuk penangguhan selama tiga bulan. Beberapa hari lagi, tenggat waktunya akan jatuh tempo. Charlene ingin meminta sedikit perpanjangan waktu lagi, setidaknya sampai bulan depan, saat dirinya menerima bonus yang Lee janjikan padanya. Charlene lalu mengepalkan kedua tangannya dengan penuh semangat. Lantas ia mulai mengetik. Beberapa saat berlalu dan ia hampir menyelesaikan surat
"Aku rasa itu bukan urusanmu, Nona Flynn," elak Lee.Charlene mencebik kesal. Memang bukan urusannya. Namun, ia sungguh merasa kesal karena Lee telah menguping pembicaraannya dengan Axel. "Baiklah, itu memang bukan urusanku. Sama halnya dengan Axel ingin memanggilku apa, itu juga bukan urusan Anda." Sekarang mereka impas. O, tidak, Charlene menganggap Lee masih berutang permintaan maaf padanya karena telah mencuri dengar percakapannya dengan Axel. Namun, Lee sama sekali tidak menunjukkan penyesalan apa pun. Wajah pria itu terlihat datar. "Aku menyuruhmu untuk mengambilkan minuman untukku. Bukan mengurusi apa yang menjadi urusanku atau bukan." Demi apa pun, bolehkah Charlene menendang bokong bosnya dengan keras, hingga menembus keluar dari dinding penthouse? Bahkan bila perlu, sekalian menembus keluar dari bumi. "Bukankah Anda sudah di sini? Jadi kenapa masih menyuruhku mengambil minuman untuk Anda?" sergah Charlene. Lee terlihat acuh tak acuh. "Kalau aku mengambilnya sendiri, la
"Marvin, setelah sampai di atas nanti, tolong bantu aku untuk memberikan akses lift dan juga akses pintu masuk pada Nona Flynn," ujar Lee ketika mereka berada di dalam lift yang sedang bergerak menuju ke penthouse. Marvin sempat terkejut dengan ucapan Lee, tetapi dengan cepat ia berhasil menyembunyikan hal tersebut. "Baik, Tuan," jawab Marvin. "Eh? Akses lift dan pintu masuk?" timpal Charlene yang terlambat mencerna ucapan Lee, sembari menunjukkan raut wajahnya yang terlihat bingung. Gadis itu menatap ke samping, tempat di mana Lee berada satu langkah di depannya. Hanya bagian belakang tubuh Lee yang bisa ia lihat karena pria itu tidak berniat menoleh. Charlene lantas melirik Marvin, meskipun ia tahu jika hal itu tidak ada gunanya karena Marvin juga pasti tidak akan mengatakan apa-apa tanpa persetujuan dari Lee. Memang baru beberapa hari dia bekerja sebagai asisten Lee, tetapi ia sudah hafal dengan beberapa hal, termasuk karakter Lee dan Marvin. "Kenapa? Kau tinggal di sini, tent
Charlene mengembuskan napas berat kala melihat surat balasan dari bank. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. Haruskah ia meminta bantuan pada Axel? Tidak. Ia tidak bisa melakukan hal itu. Berulang kali Charlene tergoda untuk meminta bantuan Axel, tetapi berulang kali pula ia mengurungkan niatnya. Namun, ia sendiri juga tidak memiliki jalan keluar. Bank telah menyatakan rumah tersebut akan segera dilelang, jika Charlene tidak membayar cicilannya saat jatuh tempo nanti.Charlene kembali mengembuskan napas berat sebelum menutup layar laptopnya. Ia lantas beranjak dari sofa. Tujuannya adalah ke kamar Lee. Itu merupakan satu-satunya cara yang terpikir oleh Charlene. Ia tidak punya pilihan lain. Charlene pun segera menekan bel beberapa kali begitu tiba di depan kamar Lee. Ia melipat kedua tangannya di dada sembari berjalan mondar-mandir dengan tidak sabaran. Saat pintu tak kunjung juga dibuka, Charlene lantas menekan bel beberapa kali lagi. Ia mundur dan membalikkan tubuhnya. Bruk!
Charlene terbangun di akhir pekan itu karena dering dari ponselnya. Ia menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang ada di samping nakas dengan mata masih menutup. Dalam keadaan setengah sadar, ia menempelkan telepon genggam tersebut ke telinganya tanpa melihat nama yang tertera di layar. "Ada apa? Bukankah ini masih pagi dan hari libur?" tanya Charlene dengan suara yang terdengar malas. Ia tidak tahu untuk apa Lee memanggilnya pagi-pagi begini. "Ehem!" Terdengar suara deheman dari seberang sana. "Aku merindukanmu. Apa tidak boleh?" lanjut suara tadi.Sontak kedua mata Charlene terbuka lebar. Rasa kantuknya mendadak lenyap. "Ax-Axel?" "Iya." Axel menjeda sedetik. "Memangnya kau pikir siapa?" selidik calon suami Charlene itu. Charlene bergegas menyibak selimut dan mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Ia menurunkan kaki telanjangnya ke atas lantai, mendudukkan dirinya di tepi ranjang."Aku pikir tadi adalah bosku," ujar Charlene sembari memijat pelan tengkuknya yang terasa sediki