Kalau jadi Karissa kayaknya happy ya, ternyata keturunan bangsawan. Hihihi
"Shiena?" panggil Sergio yang kini berdiri di depan pintu berwarna cream pastel yang tak lain adalah kamar Shiena.Sayangnya, nyaris sepuluh detik berlalu, tak ada jawaban apapun dari dalam sana. Membuat Sergio akhirnya kembali mengetuk pintu tersebut dengan sedikit lebih keras. Berharap Shiena akan berbaik hati menemuinya.Tapi lagi-lagi tak ada jawaban atau bunyi kunci yang diputar dari dalam pun tidak.Menempelkan telinganya di dekat permukaan pintu, Sergio melempar satu pertanyaan dengan nada khawatirnya. "Shiena, kamu dengar aku kan? Boleh buka pintunya sebentar? Aku mau bicara."Menunggu sekitar satu menit, barulah suara lirih seorang wanita menyapa indera pendengarannya. "Aku lelah, aku mau sendiri dulu.""Jangan khawatir, aku tidak marah. Tadi hanya kecelakaan di dapur. Tapi lebih baik kamu pulang saja. Kamu tahu kan pintu keluarnya?" ucap Shiena terdengar tidak bersemangat.Setidaknya ini rumah kecil yang tidak ada peredam suara, jadi Sergio masih bisa mendengar.Meski tak bi
Serangkaian kata-kata yang lugas tetapi penuh makna itu meluncur begitu entengnya dari mulut Vallen. Seolah-olah apa yang diminta Vallen adalah perkara sepele yang kapanpun bisa disanggupi Sergio."Aku terlalu kejam kalau masih memberimu harapan," jujur Sergio yang mau tak mau harus mengutarakan apa yang semestinya Vallen sadari.Entah sudah berapa kali Sergio menegaskan hal ini, baik tentang ketidaksiapannya atau bagaimana isi hatinya yang begitu jauh dari nama Vallen, nyatanya itu sama sekali tak berefek apapun di mata Vallen.Gadis dengan tatapan yang selalu tegas dan on point itu memang terkenal tangguh dan selalu berani menghadapi tantangan apapun. Tapi Sergio tak pernah menduga, kalau perkara cinta pun Vallen bersedia mempertaruhkan segalanya. Termasuk harga diri sekalipun. Memiringkan kepalanya, Vallen mengamati lekat-lekat raut muka Sergio yang nampak gelisah. "Jadi itu yang kamu khawatirkan?""Apa kamu pikir, aku akan peduli? Kamu lupa kalau jalan ini memang aku yang memili
Mata Shiena membola lalu mendorong Sergio begitu dia menyadari ada Vallen di sana.“Vallen?” Shiena memanggil kaget.Sedangkan Sergio mengerutkan keningnya, merasa terganggu. “Kau, untuk apa ke sini?”Karena sedang cemburu dan emosi, Vallen langsung saja menampar pipi basah Sergio.Shiena seketika menutup mulutnya yang melebar dengan kedua tangan. Dia terlihat begitu bingung. Seakan-akan otaknya masih mencerna apa yang terjadi saat ini. Jari telunjuk Vallen mengacung tegak, menunjuk-nunjuk Sergio dengan letupan amarahnya. "Brengsek kamu, Sergio!""Begini kelakuan kamu di belakang aku? Jadi ini juga alasan kamu terus menjauhiku? Karena perempuan lugu ini?!" Vallen mendongakkan dagu ke arah Shiena yang berusaha menjaga jarak.Jujur, melihat bagaimana murkanya Vallen, berhasil membuat Shiena memasang alarm waspada. Takut kalau tiba-tiba Vallen yang selama ini terkenal penurut, patuh, dan ramah, berubah menjadi singa menyeramkan lalu menjambak rambutnya brutal.Sergio tampak menghela nap
“Tenang saja, menginap semalam tidak akan membuatmu hamil,” ucap Sergio kelewat santai.Uhukk!Shiena langsung tersedak. Suapan pertama masakannya terasa menyesakkan di tenggorokan. Membuatnya terbatuk-batuk dan berhasil menjadikan wajahnya bak kepiting rebus.Melihat pemandangan tak mengenakkan itu, Sergio buru-buru membantu Shiena meneguk air dingin. Setidaknya, gadis itu bisa bernapas dan tak merasa kesakitan."Ck. Ceroboh sekali," ejek Sergio yang dibalas pelototan galak dari wajah cantik Shiena.Jari telunjuk Shiena mengacung tegak ke arah Sergio. "Gara-gara kamu!""Kalau bicara itu yang benar, masa iya mau menginap sedangkan kita cuma berdua?"Dahi Sergio mengerut bingung. "Ya lalu masalahnya di mana?""Menginap bukan berati tidur seranjang kan? Aku hanya menemani supaya kamu tidak sendirian. Lalu apa yang harus dikhawatirkan?"Shiena menggeleng cepat. "Tidak! Sekali tidak ya tidak! Aku tidak mau. Titik!"Bukan karena gengsi, tetapi yang Shiena putuskan ini demi keberlangsungan
Tak jadi bangun dari duduknya, tatapan Karissa jatuh pada asisten pribadinya yang berdiri di samping kiri. "Ah tidak usah, Vallen.""Aku bisa minta tolong Sergio saja. Lagipula, ini bukan tugasmu. Terlebih, hari ini jadwalmu sudah sangat padat," tolaknya yang enggan merepotkan Vallen.Perempuan bertubuh tinggi dengan setelan formal berwarna gelap itu tersenyum simpul. "Tidak masalah, Nyonya Karissa. Semuanya masih bisa saya handle.""Lagipula malam ini bukankah saya ada janji temu dengan Tuan Swann di daerah utara yang artinya saya juga lewat arah yang sama dengan rumah Nona Shiena."“Ah, aku baru ingat. Tapi apa tidak apa?" Karissa hanya merasa Vallen dan Shiena tidak sedekat itu untuk saling merepotkan.Jika Sergio kan lebih enak rasanya kalau diperintah.Satu tundukan penuh hormat dilayangkan sopan oleh Vallen. "Iya, Nyonya. Lebih efisien rasanya jika saya yang sekalian mengantar daripada meminta Sergio datang karena hanya akan memakan waktu lama.” "Ah betul juga katamu ... Ya sud
"Benar ini kan rumahnya?" Sergio bertanya, begitu mereka sampai di depan bangunan sederhana dengan halaman yang lumayan untuk parkir mobil di dalam gang.Tangan Shiena meraih tas kecil yang ditaruh di dashboard. "Iya betul. Aku pernah ke sini sekali.""Yuk turun," ajaknya pada Sergio yang manggut-manggut dan langsung mengambil topi juga kacamata. Mengikuti langkah Shiena yang lebih dulu beranjak menuju teras rumah itu, Sergio mengedarkan pandangannya. "Kakakmu sudah tahu kalau kamu pulang hari ini?" "Biasanya jam 9 begini dia masih di pasar," terang asisten pribadi Luciano itu sesaat setelah melirik arloji yang melingkar kokoh di pergelangan tangannya.Shiena menggeleng sembari menundukkan badan, mencari-cari sesuatu di deretan pot yang menghiasi pelataran rumah ini. "Dia belum tahu aku pulang sekarang.""Itulah kenapa, aku akan membuatkan surprise buat Kak Ben. Nanti bantu aku hias rumah ya?"Anggukan santai dilempar Sergio sambil melihat-lihat sekitar. Mata yang biasa mengintai it