LOGINHari ketiga setelah Nayel meninggalkan penthouse, hujan berhenti turun.
Langit terlihat cerah, tapi suasana di dalam ruangan justru terasa kelabu. Alaire duduk di depan meja kerja, menatap tumpukan berkas lama milik ayahnya. Ia sudah membaca setiap lembar, setiap catatan kecil yang tersisa dan semakin lama ia tenggelam dalam itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Evan Davina, ayahnya, bukan hanya seorang analis keuangan biasa. Ia ternyata terlibat langsung dalam proyek investasi rahasia milik Arvanden Corp tujuh tahun lalu proyek yang secara misterius ditutup hanya beberapa hari sebelum Evan dinyatakan tewas karena “kecelakaan kerja”. Namun catatan terakhir ayahnya di halaman belakang jurnal itu membuat darahnya berhenti mengalir: “Jika sesuatu terjadi padaku, cari Nayel Arvanden. Dia tahu segalanya.” Alaire menatap kalimat itu lama sekali. Tangannya bergetar, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut. Bukan karena ancaman, tapi karena mulai sadar mungkin pernikahan ini bukan kebetulan. Siang itu, Alaire memberanikan diri keluar dari penthouse. Ia mengenakan mantel panjang, kacamata hitam, dan syal tebal mencoba menutupi wajahnya dari publik yang masih ramai memperbincangkan rumor “istri rahasia sang CEO.” Ia menuju gedung lama tempat ayahnya dulu bekerja kantor cabang lama Arvanden Corp yang kini kosong dan tak terpakai. Pintu depan sudah berkarat. Lampu-lampu di dalam mati. Namun ketika ia menyentuh meja kerja lama ayahnya, debu yang menempel tidak sepenuhnya tebal. Seseorang pernah ke sini belum lama ini. Alaire berjalan perlahan, matanya menyapu sekeliling ruangan. Di bawah meja, ada celah kecil yang tertutup papan kayu. Ia menariknya, dan menemukan sebuah kotak besi kecil berlapis karat. Kuncinya hilang, tapi engselnya sudah longgar seperti sudah pernah dibuka. Di dalamnya, hanya ada dua hal, Foto lama ayahnya bersama seseorang yang wajahnya setengah terbakar oleh waktu… dan selembar laporan keuangan dengan tanda tangan yang sangat ia kenali. Nayel Arvanden. Ia menelan ludah. “Tidak mungkin...” Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di belakang. Cepat, berat, mendekat. Alaire membeku. Ia membalikkan badan dan hampir menjerit ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. “Nayel...” suaranya bergetar. Pria itu berdiri di sana, wajahnya gelap, tatapan matanya tajam seperti malam. Mantelnya masih basah, seolah baru datang dari luar kota. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya pelan, tapi nadanya tegas. Alaire menatapnya tanpa menjawab. Ia memegang foto di tangannya erat-erat. “Aku mencari kebenaran.” “Dengan menggali masa lalu yang seharusnya dibiarkan mati?” “Dengan menggali masa lalu yang membunuh ayahku!” serunya akhirnya. Kata-kata itu memantul keras di ruangan kosong. Wajah Nayel menegang, rahangnya mengeras, tapi ia tidak membalas. Alaire melangkah mendekat, menatapnya penuh amarah sekaligus luka. “Berapa banyak yang kau sembunyikan dariku, Nayel? Kenapa ayahku bekerja di perusahaanmu? Kenapa semua dokumen itu dihapus?” Nayel menutup matanya sesaat, lalu membuka perlahan. “Karena kebenaran tidak akan menyelamatkanmu, Alaire. Itu hanya akan menghancurkanmu.” “Tidak,” jawabnya lirih tapi tegas. “Yang menghancurkan adalah kebohongan.” Keheningan jatuh. Lalu Nayel melangkah maju, memegang bahu Alaire dengan kuat tidak kasar, tapi tegas. “Dengar aku,” suaranya rendah, dalam, dan bergetar. “Ayahmu orang baik. Tapi dia tahu sesuatu yang tidak seharusnya dia tahu. Jika kau terus menggali, mereka akan datang padamu seperti dulu mereka datang padanya.” Alaire menatapnya dalam-dalam, mencari sedikit kejujuran di balik dinding dingin itu. “Mereka? Siapa ‘mereka’, Nayel?” Ia menggeleng pelan. “Belum saatnya.” “Dan kapan akan saatnya?” “Ketika aku tahu kau aman.” Kata-kata itu membuat dada Alaire sesak. Amarah yang tadi menguasainya perlahan pudar, digantikan campuran takut dan bingung. Nayel bukan hanya menyembunyikan sesuatu ia juga melindunginya dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Ia menunduk, air matanya menetes tanpa sadar. “Kau selalu bilang melindungiku, tapi kau juga yang membuatku terjebak dalam hidup yang bukan milikku.” Nayel mendekat, lalu menyentuh wajahnya dengan lembut. “Kalau aku bisa memilih, aku tidak akan menyeretmu ke dalam ini.” “Lalu kenapa kau melakukannya?” Ia menatap dalam, dan untuk sesaat, dinding pertahanannya runtuh. “Karena aku tidak bisa kehilanganmu seperti aku kehilangan dia.” Alaire terdiam. “Dia?” Nayel mundur setengah langkah, menyadari ucapannya sendiri. “Lupakan.” Namun sebelum ia bisa pergi, Alaire menarik mantelnya pelan. “Tidak. Aku ingin tahu.” Nayel menatapnya lama, lalu tiba-tiba menarik Alaire ke dalam pelukan. Kali ini tidak ada amarah, tidak ada perintah. Hanya keputusasaan yang terbungkus hangat di antara dua manusia yang sama-sama hancur. Pelukan itu lama. Mereka tidak bicara, hanya diam, mendengarkan hujan yang kembali turun di luar gedung tua itu. Dan di sela napas Nayel yang berat, Alaire mendengar kata yang hampir tenggelam oleh suara hujan kata yang mengubah segalanya: “Dia... adalah ibumu.” Alaire tertegun. Dunia berhenti. Napasnya tercekat di tenggorokan, jantungnya serasa berhenti berdetak. “Apa maksudmu?” bisiknya nyaris tak terdengar. Tapi Nayel sudah melepaskan pelukannya, menatapnya dengan mata yang penuh luka. “Kau tidak siap untuk tahu semuanya. Tapi cepat atau lambat... semuanya akan kembali menuntut.” Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alaire berdiri di ruangan kosong menggenggam foto ayahnya, bergetar di antara ketakutan dan kebingungan. Di foto itu, kini ia melihat lebih jelas di bawah cahaya petir yang menyambar lewat jendela sosok di samping ayahnya bukan orang asing. Itu adalah ibu Alaire dan Nayel muda.Langit di atas Zurich berwarna abu-abu kelam. Sebuah helikopter tanpa tanda terbang rendah di atas atap gedung tua yang ditinggalkan, hembusan anginnya memecah kabut pagi. Di dalam ruangan di bawahnya, Alaire duduk bersandar di tembok, napas berat, luka di bahu kirinya masih basah oleh darah. Hening. Hanya suara detak jam tua yang masih berjalan di pojok ruangan. Vira masuk membawa perban dan segelas air. Wajahnya letih, tapi matanya tetap tajam. “Kau seharusnya tidak bergerak dulu,” katanya pelan. Alaire menatap keluar jendela retak, ke arah menara komunikasi di kejauhan yang memancarkan cahaya aneh. “Dunia berubah, Vira. Aku bisa merasakannya.” Vira menatapnya ragu. “Kau bicara tentang sinyal itu lagi?” Alaire mengangguk pelan. “Semenjak Helix Dawn hancur, frekuensi aneh muncul di seluruh dunia. Tidak bisa dideteksi oleh radar biasa. Tapi aku tahu pola itu. Itu bukan sekadar noise.” Ia menatap layar kecil di depannya gelombang sinyal berirama, tapi membentuk pola detak jan
Basel, Swiss. Udara dingin musim gugur menggigit kulit, menyelusup di sela mantel hitam yang membungkus tubuh Alaire. Kota tua itu tampak damai di permukaan — jalan-jalan berbatu, kafe dengan lampu kuning hangat, dan sungai Rhine yang memantulkan cahaya bintang tapi di bawah tanahnya, sesuatu yang jauh dari damai sedang berdenyut. “Aku masih tidak percaya kita ada di sini,” gumam Vira pelan sambil menatap layar tablet kecil di tangannya. “Koordinat dari file Nayel menunjuk ke area penelitian Elysion Biotech, tapi tidak ada catatan publik tentang fasilitas bawah tanah di sana.” Alaire menatap bangunan besar di ujung jalan: menara kaca dengan logo heliks perak di atasnya. “Karena itu bukan fasilitas publik,” jawabnya datar. “Itu laboratorium rahasia yang bahkan pemerintah tidak tahu.” Vira menelan ludah. “Jadi apa rencanamu?” Alaire menatap jam tangannya. “Kita masuk malam ini.” Pukul 01.13 dini hari. Langit Basel gelap total ketika dua bayangan bergerak cepat di antara lorong
Tiga hari setelah ledakan Arvanden, kota masih berbalut kabut dan abu. Media internasional menayangkan gambar reruntuhan gedung megah yang kini hanya tinggal rangka besi hangus. Nama Nayel Davina memenuhi setiap headline sebagian menyebutnya pahlawan, sebagian lagi mengutuknya sebagai dalang kehancuran. Di antara semua itu, hanya satu orang yang tahu kebenaran. Alaire. Ia duduk di kursi rumah sakit, menatap layar kecil di tangan rekaman terakhir dari kamera keamanan bawah tanah yang berhasil ia selamatkan. Dalam video itu, Nayel menatap kamera sambil berkata pelan, “Kalau kau menonton ini… berarti aku gagal kembali. Tapi aku tahu kau akan melanjutkan.” Suaranya tenang, tapi di matanya masih tersisa rasa takut bukan takut mati, tapi takut ia tak sempat menuntaskan apa yang telah dimulainya. Alaire menutup layar, air mata jatuh tanpa suara. Di meja di sebelahnya tergeletak flashdisk hitam dengan label tipis bertuliskan “A.DawnProtocol” — warisan terakhir Nayel. Ia memutar flas
Suara tembakan menggema di lorong bawah tanah, memantul di dinding baja dan menelan seluruh udara di sekitar. Nayel terhuyung mundur, tubuhnya membentur panel logam, sementara darah hangat mulai merembes dari sisi bahunya. Namun tangannya tetap menekan keyboard, menyelesaikan proses terakhir. “Sudah terlambat, Vin,” desisnya. “Semuanya sudah terkirim.” Vin Arvanden berdiri beberapa meter di depannya, pistol masih berasap. Wajahnya tampak menegang, tapi mata itu dingin, nyaris kosong tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. “Kau pikir aku tidak siap untuk ini?” katanya pelan. “Aku yang menciptakan sistem itu, Nayel. Kau hanya memainkan permainan yang sudah kusiapkan.” Nayel tertawa kecil, getir. “Permainanmu baru saja berakhir.” Di layar di belakang mereka, data yang bocor terus mengalir laporan keuangan, rekaman percakapan, bahkan file rekayasa genetik rahasia yang menjadi inti proyek “Pulse”. Nama Vin Arvanden kini terpampang di setiap media dunia. Vin melangkah maju, pisto
Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan langit kelabu. Rumah tua itu kembali sunyi, seolah tahu malam ini bukan sekadar malam biasa, tapi malam terakhir sebelum segalanya berubah. Alaire duduk di tepi tempat tidur, mantel gelapnya masih basah di ujung. Sementara Nayel berdiri di dekat jendela, menatap kota jauh di bawah bukit. Lampu-lampu gedung Arvanden tampak seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Besok jam delapan konferensi dimulai,” ucapnya pelan. “Begitu data dari flashdisk Vira terkirim, semua media akan menerima salinannya secara otomatis. Vin tak akan sempat menutupi apa pun.” Alaire menatap punggungnya yang tegap tapi tampak tegang. “Dan kalau sistem mereka mendeteksi kirimanmu?” “Dia akan tahu aku masih hidup.” “Dan dia akan memburumu.” Nayel menoleh. Ada senyum samar di wajahnya bukan bahagia, tapi lelah. “Bukankah itu yang kita tunggu?” Alaire menggeleng pelan, matanya berkilat. “Aku tidak menunggumu mati, Nayel.” Kata-kata itu memecah udar
Hujan turun deras sejak subuh. Air menetes dari atap rumah tua itu, memantul di jendela dan menciptakan bayangan buram di lantai. Alaire berdiri di dekat perapian yang dingin, membungkus tubuhnya dengan jaket tipis. Matanya menatap api kecil yang baru menyala cahayanya menari di wajah pucatnya, memantulkan kelelahan yang tak sempat ia sembunyikan. Sudah dua hari sejak mereka bersembunyi di rumah peninggalan Clara Davina. Dua hari tanpa kabar dari dunia luar. Ponsel mereka dibungkam. Kamera pengintai di sekitar properti dicabut satu per satu oleh Nayel. Rumah itu menjadi tempat terakhir yang tidak tersentuh oleh Arvanden Corp atau setidaknya, belum. Di meja kayu tua, bertebaran dokumen, foto, dan potongan berita lama. Nayel duduk di kursi, membolak-balik berkas dengan mata yang menatap tajam, seperti seseorang yang berusaha menafsirkan masa lalunya sendiri. Ia terlihat letih, tapi di balik kelelahan itu ada sesuatu yang lain: amarah yang dingin. Alaire mendekat perlahan. “Ka







