LOGINMalam menelan kota seperti selimut sutra hitam yang dingin. Lampu-lampu di bawah berkedip samar di antara tirai hujan, sementara mobil hitam panjang berhenti di depan bangunan kaca menjulang di distrik bisnis paling elit.
Bagi sebagian orang, penthouse di puncak gedung itu adalah simbol kekuasaan.Bagi Alaire Davina, tempat itu adalah penjara yang dibungkus kemewahan. Sopir membuka pintu dan menunduk. “Silakan masuk, Nyonya.” Kata itu membuat bahunya menegang. Nyonya. Sebutan yang seharusnya membuat seseorang bahagia, kini terdengar seperti ejekan. Ia turun perlahan; sepatu hak rendahnya beradu dengan marmer basah, memantulkan gema yang terasa menelan dirinya sendiri. Lift naik tanpa suara. Ketika pintu terbuka di lantai teratas, aroma sandalwood menyambutnya lembut tapi menyesakkan. Ruangan itu begitu luas, nyaris tanpa sekat, dengan dinding kaca menjulang memperlihatkan kota di bawah hujan. Segalanya tampak sempurna: furnitur hitam, lampu kekuningan, dan kesunyian yang nyaris kejam. Dan di dekat jendela, berdiri Nayel Arvanden. Tanpa menoleh, pria itu berkata datar, “Mulai malam ini, tempat ini milikmu juga. Tapi hanya di atas kertas.” Nada suaranya tenang, tapi setiap katanya seperti pisau tumpul yang mengiris perlahan. Alaire menatap punggung tegap itu lama. “Tempat yang terlalu besar untuk satu orang,” katanya akhirnya. “Justru karena itu aku membangunnya,” jawab Nayel, suaranya datar, nyaris tanpa napas. “Aku tidak suka berbagi ruang dengan siapa pun.” Keheningan menggantung. Hanya hujan yang berbicara di antara mereka. Nayel menoleh sedikit. “Semua kebutuhanmu sudah diatur. Ada kamar pribadi, perpustakaan, dan dapur kecil. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau, asalkan tidak meninggalkan gedung ini tanpa izinku.” Alaire mengangkat dagu pelan. “Dan kalau aku tetap melakukannya?” Tatapan Nayel menajam. “Maka seseorang di luar sana akan membayar akibatnya.” Alaire terdiam. Tidak perlu disebut nama, ia tahu maksudnya: ayahnya. “Dan satu hal lagi,” lanjut Nayel, langkahnya mendekat beberapa langkah hingga jarak mereka hanya satu bayangan lampu. “Jangan pernah membuka ruangan di ujung koridor barat.” Kening Alaire berkerut. “Ruangan itu?” “Tidak penting.” Ia menatap lurus ke arahnya, sorot matanya kelabu seperti logam dingin. “Anggap saja itu tidak ada.” Lalu pria itu berjalan melewatinya, aroma aftershave dan kekuasaan samar menempel di udara. Pintu ruang kerjanya tertutup perlahan, menyisakan Alaire sendirian dalam keheningan yang nyaris menjerat napas. Hari-hari berikutnya berlalu dalam sunyi. Nayel jarang pulang. Kadang ia datang larut malam, dengan jas basah hujan dan mata letih yang tidak pernah menatapnya lama. Saat tiba, ia hanya berkata singkat, “Tidurlah,” lalu menghilang di ruang kerja yang selalu tertutup. Alaire mencoba bertahan. Ia membaca buku, menulis catatan kecil, memasak untuk dirinya sendiri — meski tak pernah lapar. Tapi setiap langkah di penthouse terasa seperti diawasi. Ia mulai hafal ritme lampu, suara pintu otomatis, dan dengung halus sistem keamanan di langit-langit. Namun satu hal tetap mengganggunya: lorong barat. Lorong yang dilarang. Lorong yang selalu tampak lebih gelap daripada bagian lain rumah ini. Kadang, di tengah malam, ia mendengar langkah pelan dari arah sana seperti seseorang berjalan dengan sepatu kulit di lantai marmer. Tapi ketika ia keluar untuk memastikan, lorong itu selalu kosong. Dan malam itu, badai datang lebih besar dari biasanya. Kilatan petir membuat langit pecah. Listrik di lantai atas padam beberapa detik, membuat seluruh ruangan tenggelam dalam kegelapan pekat. Dalam gelap, Alaire menyalakan senter ponselnya. Untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, langkahnya bergerak ke arah lorong barat ke arah yang seharusnya tidak ia tuju. Setiap langkah membuat dadanya berdebar keras. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang memanggilnya tanpa suara. Lorong itu dingin. Lampu-lampu di langit-langit berkelap redup, cat dindingnya sedikit lebih tua. Di ujungnya, berdiri sebuah pintu besi hitam dengan panel digital di samping gagangnya. Alaire menatap layar kecil yang menampilkan simbol pengunci. Jari-jarinya terangkat pelan, nyaris menyentuhnya. Tapi sebelum ia sempat mundur, sebuah suara berat terdengar di belakang. “Kau tidak seharusnya di sini.” Alaire menoleh cepat. Nayel berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya setengah tertutup bayangan. Tidak ada amarah di matanya hanya ketenangan yang membuat darahnya membeku. “A-aku hanya ingin melihat…,” gumam Alaire, langkahnya mundur sedikit. “Melihat apa?” suaranya turun satu oktaf. “Hal-hal yang bukan urusanmu?” “Aku tidak tahu kenapa kau menyembunyikan ruangan ini. Aku hanya—” “Cukup.” Satu kata, tapi nadanya tajam. Nayel melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sehelai napas. “Tidak semua hal layak untuk kau ketahui, Alaire.” “Apakah itu… tentang aku?” Suaranya kecil tapi berani, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Nayel menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya keraguan, atau mungkin luka. Lalu ekspresinya melunak, suaranya turun jadi hampir berbisik. “Tidurlah. Dan jangan pernah ulangi ini lagi.” Ia berbalik, menekan beberapa angka di panel. Pintu besi terbuka perlahan, dan dalam sekejap cahaya dari dalam ruangan menyelinap keluar. Cukup lama untuk Alaire melihat dinding penuh foto hitam putih. Dan di antara puluhan wajah yang tak dikenal, ia melihat satu yang membuat jantungnya berhenti berdetak. Ayahnya. Sebelum sempat bicara, pintu itu sudah menutup kembali dengan suara denting besi berat. Alaire menatap kosong, tubuhnya kaku di tempat. Hanya napasnya yang tersisa. Nayel menatapnya sebentar, matanya kini bukan dingin tapi ada sesuatu yang aneh di sana. Takut. Bukan pada dirinya, tapi pada sesuatu yang ia sembunyikan. “Lupakan apa yang kau lihat,” katanya pelan, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Alaire berdiri sendirian di lorong gelap itu. Lampu kembali menyala perlahan, tapi hawa dingin masih menggigit kulitnya. Ia menatap pintu hitam itu lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Siapa sebenarnya pria itu… dan kenapa aku ada di sini?” Petir menyambar lagi, membuat kaca bergetar. Di luar, hujan menutupi seluruh kota. Dan di dalam hatinya, badai baru saja dimulai.Langit di atas Zurich berwarna abu-abu kelam. Sebuah helikopter tanpa tanda terbang rendah di atas atap gedung tua yang ditinggalkan, hembusan anginnya memecah kabut pagi. Di dalam ruangan di bawahnya, Alaire duduk bersandar di tembok, napas berat, luka di bahu kirinya masih basah oleh darah. Hening. Hanya suara detak jam tua yang masih berjalan di pojok ruangan. Vira masuk membawa perban dan segelas air. Wajahnya letih, tapi matanya tetap tajam. “Kau seharusnya tidak bergerak dulu,” katanya pelan. Alaire menatap keluar jendela retak, ke arah menara komunikasi di kejauhan yang memancarkan cahaya aneh. “Dunia berubah, Vira. Aku bisa merasakannya.” Vira menatapnya ragu. “Kau bicara tentang sinyal itu lagi?” Alaire mengangguk pelan. “Semenjak Helix Dawn hancur, frekuensi aneh muncul di seluruh dunia. Tidak bisa dideteksi oleh radar biasa. Tapi aku tahu pola itu. Itu bukan sekadar noise.” Ia menatap layar kecil di depannya gelombang sinyal berirama, tapi membentuk pola detak jan
Basel, Swiss. Udara dingin musim gugur menggigit kulit, menyelusup di sela mantel hitam yang membungkus tubuh Alaire. Kota tua itu tampak damai di permukaan — jalan-jalan berbatu, kafe dengan lampu kuning hangat, dan sungai Rhine yang memantulkan cahaya bintang tapi di bawah tanahnya, sesuatu yang jauh dari damai sedang berdenyut. “Aku masih tidak percaya kita ada di sini,” gumam Vira pelan sambil menatap layar tablet kecil di tangannya. “Koordinat dari file Nayel menunjuk ke area penelitian Elysion Biotech, tapi tidak ada catatan publik tentang fasilitas bawah tanah di sana.” Alaire menatap bangunan besar di ujung jalan: menara kaca dengan logo heliks perak di atasnya. “Karena itu bukan fasilitas publik,” jawabnya datar. “Itu laboratorium rahasia yang bahkan pemerintah tidak tahu.” Vira menelan ludah. “Jadi apa rencanamu?” Alaire menatap jam tangannya. “Kita masuk malam ini.” Pukul 01.13 dini hari. Langit Basel gelap total ketika dua bayangan bergerak cepat di antara lorong
Tiga hari setelah ledakan Arvanden, kota masih berbalut kabut dan abu. Media internasional menayangkan gambar reruntuhan gedung megah yang kini hanya tinggal rangka besi hangus. Nama Nayel Davina memenuhi setiap headline sebagian menyebutnya pahlawan, sebagian lagi mengutuknya sebagai dalang kehancuran. Di antara semua itu, hanya satu orang yang tahu kebenaran. Alaire. Ia duduk di kursi rumah sakit, menatap layar kecil di tangan rekaman terakhir dari kamera keamanan bawah tanah yang berhasil ia selamatkan. Dalam video itu, Nayel menatap kamera sambil berkata pelan, “Kalau kau menonton ini… berarti aku gagal kembali. Tapi aku tahu kau akan melanjutkan.” Suaranya tenang, tapi di matanya masih tersisa rasa takut bukan takut mati, tapi takut ia tak sempat menuntaskan apa yang telah dimulainya. Alaire menutup layar, air mata jatuh tanpa suara. Di meja di sebelahnya tergeletak flashdisk hitam dengan label tipis bertuliskan “A.DawnProtocol” — warisan terakhir Nayel. Ia memutar flas
Suara tembakan menggema di lorong bawah tanah, memantul di dinding baja dan menelan seluruh udara di sekitar. Nayel terhuyung mundur, tubuhnya membentur panel logam, sementara darah hangat mulai merembes dari sisi bahunya. Namun tangannya tetap menekan keyboard, menyelesaikan proses terakhir. “Sudah terlambat, Vin,” desisnya. “Semuanya sudah terkirim.” Vin Arvanden berdiri beberapa meter di depannya, pistol masih berasap. Wajahnya tampak menegang, tapi mata itu dingin, nyaris kosong tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. “Kau pikir aku tidak siap untuk ini?” katanya pelan. “Aku yang menciptakan sistem itu, Nayel. Kau hanya memainkan permainan yang sudah kusiapkan.” Nayel tertawa kecil, getir. “Permainanmu baru saja berakhir.” Di layar di belakang mereka, data yang bocor terus mengalir laporan keuangan, rekaman percakapan, bahkan file rekayasa genetik rahasia yang menjadi inti proyek “Pulse”. Nama Vin Arvanden kini terpampang di setiap media dunia. Vin melangkah maju, pisto
Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan langit kelabu. Rumah tua itu kembali sunyi, seolah tahu malam ini bukan sekadar malam biasa, tapi malam terakhir sebelum segalanya berubah. Alaire duduk di tepi tempat tidur, mantel gelapnya masih basah di ujung. Sementara Nayel berdiri di dekat jendela, menatap kota jauh di bawah bukit. Lampu-lampu gedung Arvanden tampak seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Besok jam delapan konferensi dimulai,” ucapnya pelan. “Begitu data dari flashdisk Vira terkirim, semua media akan menerima salinannya secara otomatis. Vin tak akan sempat menutupi apa pun.” Alaire menatap punggungnya yang tegap tapi tampak tegang. “Dan kalau sistem mereka mendeteksi kirimanmu?” “Dia akan tahu aku masih hidup.” “Dan dia akan memburumu.” Nayel menoleh. Ada senyum samar di wajahnya bukan bahagia, tapi lelah. “Bukankah itu yang kita tunggu?” Alaire menggeleng pelan, matanya berkilat. “Aku tidak menunggumu mati, Nayel.” Kata-kata itu memecah udar
Hujan turun deras sejak subuh. Air menetes dari atap rumah tua itu, memantul di jendela dan menciptakan bayangan buram di lantai. Alaire berdiri di dekat perapian yang dingin, membungkus tubuhnya dengan jaket tipis. Matanya menatap api kecil yang baru menyala cahayanya menari di wajah pucatnya, memantulkan kelelahan yang tak sempat ia sembunyikan. Sudah dua hari sejak mereka bersembunyi di rumah peninggalan Clara Davina. Dua hari tanpa kabar dari dunia luar. Ponsel mereka dibungkam. Kamera pengintai di sekitar properti dicabut satu per satu oleh Nayel. Rumah itu menjadi tempat terakhir yang tidak tersentuh oleh Arvanden Corp atau setidaknya, belum. Di meja kayu tua, bertebaran dokumen, foto, dan potongan berita lama. Nayel duduk di kursi, membolak-balik berkas dengan mata yang menatap tajam, seperti seseorang yang berusaha menafsirkan masa lalunya sendiri. Ia terlihat letih, tapi di balik kelelahan itu ada sesuatu yang lain: amarah yang dingin. Alaire mendekat perlahan. “Ka







