"Ini marbot musholla, orang yang tadi sedang asuh anak Mbak Pipit," jawab ustaz itu.Hatiku terjun bebas. Marbot musholla? Tadi kata si Pipit Hasjun lagi diasuh sama marbot 'kan? Itu artinya Hasjun ..?Astagfirullah. Hasjun, Ya Allah, apa sesuatu terjadi sama anakku? Cepat kutengok si Pipit, dia sedang teriak-teriak di jalanan sambil menarik hoodie seseorang yang tak kulihat wajahnya."Kembalikan Hasjun!""Pergi!" Brak. Si Pipit didorong kencang hingga terjerembab ke bawah. Spontan aku dan kedua orang yang berdiri di samping Pak Ustaz berlari ke arah si Pipit."Abaang kejar dia! Dia mau ambil anak Abang!" teriak si Pipit kencang.Refleks kukerahkan semua tenaga dan duarrr, suara tembakan peluru terdengar menggelegar di antara kami. Dalam sekejap pria berhoodie itu pun ambruk di aspal. Sejurus kemudian kudengar Hasjun menangis sambil menjerit. "Yayaaah!"Cepat kuambil Hasjun dari tangan pria yang belum kulihat wajahnya itu, sementara tak lama petugas kepolisian datang mengepung."Jan
"Iya Neng Alfa makanya itu kita harus ekstra banget jaga anak di zaman sekarang mah."Selesai mengobrol, ibu mertua dan Kak Alfa keluar kamar. Sementara Asmi masih serius bawa Hasjun main di karpet."Neng istirahat gih, biar Ajun Aa yang jagain," titahku. Untungnya Asmi mengangguk dan segera naik ke atas kasur. Keadaannya sudah semakin baik sejak Hasjun pulang. Tapi rasa traumanya gak bisa disembunyikan, Asmi masih sering kagetan dan cemas kalau Hasjun gak kelihatan oleh matanya.Maklum, aku ngerti banget gimana perasaan Asmi, jangankan Asmi yang posisinya seorang ibu, aku aja merasakan hal sama, hanya aku lebih bisa mengontrol diri dan sekuat tenaga meyakinkan diriku sendiri bahwa Hasjun udah aman sekarang dan akan baik-baik aja."Aa jagain Ajun baik-baik loh, awas kalau Ajun teh pergi lagi," katanya sebelum mata Asmi terpejam."Iya, Neng, siap."Barulah Asmi bisa mengistirahatkan dirinya sendiri. Kasihan, aku sedih sebenernya, apalagi ada bayi yang makin besar dalam kandungan Asmi,
"Itu anu Neng, Bapaknya Neng Asmi itu ....""Kenapa, Bi? Ada apa? Kenapa sama Papa?" desak Asmi sambil mengguncang kedua bahu Bi Mae."Bapaknya Neng Asmi dibawa ke rumah sakit, Neng."Aku dan Asmi terperangah, "ke rumah sakit? Kenapa emangnya?" tanyaku cepat."Katanya jatuh di kamar mandi, Cep.""Ya Allah Aa, Aa gimana ini, A?" Asmi panik dan spontan berurai air mata. Cepat kuusap-usap bahunya."Neng teh mau lihat Papa A, Neng teh mau lihat Papa tapi Neng takut A, gimana kalau ada orang jahat bawa Hasjun lagi? Ya Allah harus gimana ini teh, A?" cecarnya panik."Ya udah ya udah gini aja, Neng di rumah aja sama Bi Mae ya, biar Aa yang pergi ke sana."Asmi mengangguk setuju, sementara aku bergegas ambil jaket dan pergi ke rumah sakit yang disebutkan Bi Mae.Sampai di sana ibu mertua tengah terisak-isak di depan ruang UGD bersama Pak Amet alias Kak Amet karena dia udah jadi kakaknya istriku sekarang."Cep Hasaan." Ibu mertua langsung tak bisa membendung kesedihannya ketika melihatku datan
Cepat aku menarik kembali kakiku ke dalam toilet, sementara kedua mataku mengintip dari pintu yang sengaja tak kututup sampai rapat."Kenapa? Papa gak suka, hah? Hmh memang Papa mau apa? Papa bisa apa, hah? Jangan sok jago Pa, Sekarang Papa udah payah, gak berdaya dan pastinya secepat mungkin akan segera pergi ke pangkuan Tuhan," ujarnya lagi dengan suara tertahan.Sementara aku terbelalak, mataku melebar penuh. Dadaku juga mendadak bergemuruh, Pak Amet? Dia kenapa? Kenapa dia ngomong gitu sama papa mertua? Apa yang sebenernya terjadi?Kuintip lagi dia, ternyata dia masih menunduk mendekatkan wajahnya ke telinga papa mertua yang masih terpejam."Maafkan Amet Pa, tapi karena Papa keras kepala, egois dan gak mau dengerin Amet akhirnya semua harus berakhir seperti ini, maaf, tolong maafin Amet."Kulihat tangan kiri Pak Amet memegang selang infusan papa mertua, lalu mengangkat sebelah tangannya lagi yang tengah memegang alat suntik.Mataku kembali melebar, dadaku makin berdebar tak karuan
"Tugas yang kemarin saya berikan, yang mana lagi?""Oke, sekarang bersiaplah ke rumah sakit, dan ingat, pastikan kamu melakukannya dengan bersih, saya gak mau sampe ada orang yang lihat apalagi tahu soal ini.""Oh ya satu lagi, tadi saya lihat saudara tiri saya itu datang menjenguk si tua bangka, jadi hati-hatilah karena itu berarti di tkp akan lebih banyak orang, kamu harus pastikan mereka bener-bener sedang pergi atau sedang lengah," imbuhnya lagi, panjang lebar.Aku terbelalak. Pikiranku makin negatif sama Pak Amet. Pasalnya omongan macam apa itu? Sodara tiri? Sodara tiri siapa? Apa yang dimaksudnya adalah Asmi? Si tua bangka? Apa itu papa mertua? Dan tkp? Tkp apa maksudnya? Terus apa yang sebenernya bakal dilakuin Pak Amet di rumah sakit ini? Arghh andai aku gak lagi buru-buru mau pergi ke ruangan dokter, mungkin aku bakal lebih lama nguping di sini. Dengan begitu mungkin aku bakal dapet petunjuk lebih jelas soal omongan Pak Amet yang dari kemarin selalu bikin aku ovt.Tapi kala
"Papaa!" Asmi juga teriak."Ayo Cep Hasan tolong bantu angkat bapaknya si, Neng."Sekuat yang kami bisa, aku, Asmi dan ibu berusaha mertua mengangkat papa mertua ke atas kasurnya tapi sayang tenaga kami belum cukup rupanya.Akhirnya cepat aku berlari memanggil perawat. Tergesa-gesa perawat dan dokter itu datang.Setelah diangkat ke atas bersama-sama, dokter menyuruh kami semua keluar sebentar."Bagaimana Papa saya teh, Dok?" tanya Asmi saat dokter itu keluar dari ruangannya papa mertua."Pasien tidak sadarkan diri karena mengalami benturan keras di kepalanya, setelah ini kami akan melakukan pemeriksaan lebih dalam dan akan dilakukan rontgen lagi bila diperlukan, tapi saya harap keluarga Ibu baik-baik saja."Asmi menutup mulut sambil memegangi dadanya yang tampak sesak, cepat kurangkul untuk menyemangati."Mohon maaf sebelumnya, tapi kenapa pasien bisa sampe terjatuh? Apa tidak ada yang menjaga beliau di dalam ruangan?" Dokter itu kemudian bertanya.Aku dan Asmi saling melirik lalu men
"Apa? Ada yang mau bunuh, Papa?" Aku mengulang.Papa menganggukan kepalanya pelan, sementara dada nya kembang kempis tak karuan."Sem-alam ada yang mau cekik Pap-a." Papa mertua ngomong lagi.Aku menarik napas, papa mertua ngomongin yang semalam rupanya."Iya Pa iya Papa tenang ya, Papa gak usaha banyak pikiran dulu, mulai sekarang Hasan yang akan jagain Papa di sini."Papa mertua mengedip pelan, tampak sekali ketakutan di raut wajahnya. Andai papa mertua gak diberi obat-obatan mungkin papa mertua akan gelisah sepanjang malam."San, Pap-a mau minta tolong sam-a kamu." Papa mertua bicara lagi."Ya Pa, minta tolong apa?""Tol-ong telepon pengacara Pap-a, sur-uh dia dat-ang sekarang jug-a."Keningku mengerut, refleks kutengok juga jam dinding yang ada di ruangan itu, masih pukul 4 lebih sedikit, dan papa mertua minta pengacaranya datang ke sini? Apa gak salah?"Tapi Pa, ini masih pagi banget dah kayaknya, mau apa emang? Kalau ada perlu banget biar sama Hasan aja sini." "Eng-gak San, ka
"Eng-gak Neng, Pap-a juga kaget saat tahu Am-et tadi ak-an cekik Papa, tiba-tiba dia dat-ang dan mint-a Pap-a menandatangani surat yang dibuatnya, ent-ah isinya ap-pa tapi Pap-a ras-a isinya adalah soal harta warisan yang dia pinta semua." Papa mertua bicara panjang lebar. "Apa? Harta warisan yang dipinta semua? Maksudnya apa, Pak?" Ibu mertua bertanya lagi."Iy-a Bu, Am-et mint-a warisan seluruh gerai lab kita, rum-ah dan kendaraan kita saat Pap-a mening-gal nan-ti.""Astagfirullah Ameet, gak nyangka ternyata kamu teh tamak," gumam Ibu mertua sambil menggeleng-geleng tak percaya."Pap-a gak pern-ah nyangka bahwa Am-et akan sejah-at itu, Pap-a bikin surat wasiat pagi-pagi karen-a Papa pik-ir Pap-a gak akan lama lagi dipanggi-l Tuhan, murni dipang-gil Tuhan buk-an karen-a dibun-uh anak sendir-i," ujar Papa mertua lagi."Iya Pak iya Ibu juga gak nyangka Amet bisa sejahat dan sejauh itu pikirannya ya Allah, kemarin beneran Ibu gak berpikir bahwa orang yang akan mencekik Bapak itu adalah