Dalam satu jam, semua perintah Jean Cage dilaksanakan dengan cepat dan tanggap. Semua pengawal dan pelayan melakukan tugas mereka tanpa hambatan sedikit pun. Dan di sinilah saat ini Alea berada. Di ruang tidur Alec, yang sudah dihias dengan segalam macam pernak-pernik khas kamar pengantin baru.
Bunga-bunga hampir di setiap meja dan sudut kamar. Kelopak bunga mawar yang disebar di seluruh ranjang. Dan lampu kamar yang diatur dengan cahaya temaram. Alea mengalihkan pikirannya dari segala macam hiasan di kamar. Tampak gugup menatap penampilannya di depan cermin.
Matanya terpejam ketika membuka jubah tidurnya dan melihat tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis berenda berwarna peach. Kain itu sama sekali tak menutupi kulitnya sedikit pun. Desahan keras lolos dari bibirnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Tak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Alec pada tubuhnya.
Kilasan ketika Alec mendorong tubuhnya berbaring di meja kerja pria itu kembali melintas.
Rasa sakit dan remuk di seluruh tulang-tulangnya membangunkan Alea dari tidurnya yang terlalu lelap. Ia tahu di mana dirinya berada dan dengkur halus siapa yang berhembus di ujung kepala bagian belakangnya. Sambil menahan ringisan karena rasa nyeri yang berpusat di pangkal paha, Alea berusaha memindahkan lengan Alec yang melingkari pinggangnya sepelan mungkin. Mendesah lega melihat Alec yang masih terlelap dalam tidurnya ketika berhasil duduk dan memisahkan tubuh dari Alec.Alea memegang selimut menutupi ketelanjangannya hingga di dada, kepalanya melongok ke lantai mencari kain di sekitarnya. Bersyukur jubah tidurnya teronggok tak jauh dari kakinya. Setelah mengenakan kain untuk menutupi kulitnya, Alea turun dari ranjang dengan hati-hati. Kepalanya menoleh ketika mendengar getar ringan dari arah nakas sebelum ia sempat berdiri. Ia pun memungut benda persegi berwarna merah muda tersebut dan berdiri. Rasa sakit di antara kedua kaki membuat Alea sedikit kesusahan mencapai pintu
Alea menatap ponselnya dengan muka terlipat ke bawah. Ia tak bisa menghubungi siapa pun, tapi itu lebih baik daripada Arsen yang akan terus merecokinya dengan berbagai pertanyaan yang menyebalkan. Lalu, bagaimana ia bisa bicara dengan Arza? Mungkin ia akan ke kantor Arsen dan mengajak Arza untuk membeli ponsel baru.“Aku akan membelikanmu ponsel baru.” Suara Alec memecah rencana yang baru saja tersusun rapi dalam batinnya.Alea mendongak, melihat Alec yang sudah mengenakan pakaian santainya keluar dari walk in closed. Lalu, ia menggeleng dan menjawab, “Tidak perlu.”“Aku tak suka ditolak.”Ketegasan dalam suara dan tatapan Alec mau tak mau membuat Alea mengangguk setelah diam sejenak. Sepertinya rencananya dengan Arza tak akan berjalan mulus.“Dan maaf aku tak bisa memberimu liburan bulan madu. Aku baru saja kembali ke perusahaan dan segudang pekerjaan benar-benar menyita waktuku. Pernikahan ini be
“Minumlah, ini akan membuatmu nyaman.” Alec meletakkan cangkir berisi teh hijau yang masih mengepulkan asap di nakas.Alea memejamkan matanya. Menarik selimut menutupi wajah. Air matanya sudah mengering, tapi tubuhnya masih lemah dan tak punya tenaga untuk bangkit terduduk meminum minuman yang dibawa Alec. Ia bahkan tak lapar ataupun haus.Alec menarik selimut Alea, mendudukkan wanita itu dan menyuapi Alea menandaskan isi cangkir dalam keheningan. Alea sendiri yang tak menolak perlakuan Alec. Dalam keadaan normal saja ia tak sanggup membantah Alec, apalagi saat hatinya berduka seperti saat ini.Tepat ketika Alea menandaskan minumannya, ponsel Alec bergetar. Alea sempat melirik nama Sesil tertera di layar ponsel pria itu yang berkedip.‘Sesil?’ Sepertinya nama itu terasa familiar.“Ada apa, Sesil?” Alec menjawab panggilan tersebut di depan Alea.Mata Alea melebar, teringat akan wanita cantik yang i
Tak ada pembahasan penting yang Alea ataupun Arza bicarakan. Alea lebih pendiam dari biasanya dan Arza memahami dengan sangat perubahan sikap tersebut. Adiknya itu baru saja kehilangan ibu kandung, begitupun dengannya. Meski tak cukup lama mengenal Natasya Mahendra, tapi wanita paruh baya itu memberinya kasih sayang yang tak bisa ia dapatkan sebagai anak yatim piatu. Yang tak pernah bisa ia lupakan meski sosok itu sudah pergi ke tempat yang sangat jauh.Arza kembali mengantarkan Alea tepat jam sepuluh malam. Menurunkan Alea di depan gerbang rumah Alec yang tinggi.“Alea?” Arza menahan pergelangan tangan Alea sebelum wanita itu membuka pintu mobil.Alea menoleh. Kembali bersandar ke punggung jok dengan kerutan di kening.“Malam ini, jangan lupa minum obat tidurmu. Apa kau menyimpan obatmu?”“Ya.” Alea mengangguk. Tadinya niat Alea membawa obat tidurnya adalah untuk meredakan kepanikannya karena harus berada satu r
Alea benci dengan tatapan itu pada tubuhnya. Alea sangat jijik hingga perutnya mual ketika tangan kotor itu menyentuhnya.‘Jangan sentuh aku!’ tangisnya menyesakkan dada. ‘Kumohon.’‘Tidakkk!!!’Alea terbangun dengan rasa haus luar biasa dan sangat membutuhkan udara. Keringat membasahi sekujur tubuhnya dan napasnya ngos-ngosan. Ia segera membekap mulutnya ketika melihat Alec berbaring di samping menghadap ke arahnya. Beruntung pria itu tak terganggu oleh keresahannya. Ia pun menyalakan lampu nakas dan menandaskan segelas air putih yang tersedia di sana. Lalu turun dan melangkah ke kamar mandi tanpa membuat suara sekecil apa pun.Setelah mengusap wajahnya dengan air dingin, Alea menatap pantulan wajahnya yang sepucat mayat di wastafel. Bagaimana pun ia menyangkal kecantikan yang terukir di setiap sudut wajahnya, Alea tak bisa tak mengakui bahwa dirinya memang cantik. Mungkin bagi sebagian besar
Kedatangan mendadak Alec membuat Arsen sedikit terkejut. Seminggu sejak kematian mamanya, pria itu tak lagi menunjukkan batang hidungnya dan ia pun juga merasa tak perlu membentuk hubungan mereka menjadi lebih dekat. Alea bisa menjaga diri dengan baik, sesekali ia memang perlu menghubungi Alea, hanya sekedar basa-basi memastikan adiknya sehat dan tanpa luka lecet seujung kuku pun. Itu sudah lebih dari cukup.“Aku tahu kau ke sini tak mungkin hendak mengucapkan selamat untukku.”Alec mengambil tempat duduk di kepala sofa.Ujung bibir Arsen hanya berkedut tidak senang dengan ketidaksopanan Alec, tapi tak berkata apa pun dan duduk di sofa panjang. Mengangkat tangan pada sekretarisnya untuk menyiapkan minum.“Wine,” pesan Alec.“Sepertinya kau sedang mengalami hari yang berat.” Arsen hanya berharap bukan Alea penyebabnya.Alec hanya melirikkan mata, mengamati Arsen yang mencabut bolpoin di saku pria itu dan me
Suara gelak tawa anak kecil yang tertangkap telinga Alec membuat pria itu mengerutkan kening. Langkahnya yang tengah menyeberangi ruang tamu terhenti, pandangannya berputar ke sekitar, sekali lagi mendengarkan dengan lebih jelas samar-samar suara yang ditangkap telinganya. Setahu Alec, di rumahnya tidak ada anak kecil. Pelayan-pelayannya pun tidak ada yang memiliki anak kecil.Suara itu berpusat dari arah ruang tengah, Alec berjalan lebih dekat. Benar saja, Alea sedang sibuk berbicara dengan seorang anak kecil yang rambutnya dikuncir dua. Terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Kecuali wajah menyebalkan kakak ipar sialannya yang terjiplak di wajah mungil itulah yang membuatnya mendengus sebal. Untuk pertama kalinya merasa iri pada seorang Arsenio Mahendra. Karena bisa memiliki malaikat mungil secantik itu. Melihat kemiripan Arsen dengan anak kecil itu, sudah jelas anak itu pasti keponakan Alea.Mendadak pikiran tentang memiliki anak muncul di benaknya. Meskipun ia tidak
Lagi, Alea terbangun dengan badan remuk dan bekas-bekas merah yang nyaris memenuhi seluruh kulit dadanya. Dengan sangat berhati-hati, ia menyingkap selimut. Jika beruntung, Alec tak akan terbangun dan ia tak perlu melayani pria itu untuk seks pagi. Pangkal pahanya terasa sakit, setelah semalaman berusaha menyamai gairah Alec yang seolah tiada habisnya. Gairah pria itu memang tidak pernah habis.Alea berhasil mencapai pintu kamar mandi tanpa membangunkan Alec. Membuatnya mendesah lega dan mengunci pintu kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Ia ingin berendam, tapi jika tiba-tiba Alec terbangun dan ikut bergabung di bak mandi. Itu jelas tidak akan menjadi sebuah aktifitas yang tepat untuk menenangkan tulang-tulang tubuhnya yang pegal.Alea menyambar jubah mandi dan melilitkan handuk di rambutnya yang basah. Kemudian berjalan meraih pegangan pintu.“Kau mengunci pintu kamar mandi,” tegur Alec tepat ketika Alea memutar kunci dan membuka pint