Share

Part 2

“Kenapa Arsen tidak menyuruhmu?” tanya Alea ketika mobil yang mereka tumpangi mulai meninggalkan halaman hotel.

“Karena kau Alea Mahendra.”

“Kau juga seorang Mahendra.”

Arza hanya tersenyum simpul. Alea selalu tahu cara membangkitkan ketidakpercayaan dirinya ketika dihadapkan nama keluarga mereka yang sangat besar.

Setengah jam kemudian, ketika memasuki gedung Cage Group berlantai tiga puluh dengan kaca hitam mengeliling seluruh sisi gedung itu, Alea mengamati dengan takjub seluruh desain penuh keindahan dan kemegahan gedung ini. Lantai marmer berwarna putih dan meja resepsionis tak jauh dari pintu putar berwarna hitam. Gedung Arsen sama sekali bukan tandingannya meski MH tak kalah mewah dan megahnya.

“Atas nama?” tanya resepsionis ketika Arza mengutarakan niat kedatangan mereka berdua.

“Alea Mahendra,” jawab Arza mendahului Alea.

Alea memutar wajah dengan kernyitan di dahi.

Arza hanya mengangkat bahu menangkap tanda tanya dalam tatapan Alea. “Arsen terlanjur memakai namamu sebagai jadwal janji temu ini.”

Salah satu wanita itu mengkonfirmasi sesaat lewat telepon lalu mengarahkan mereka pada lift khusus yang harus mereka naiki untuk sampai di lantai tempat Alec Cage berada.

Alea dan Arza berjalan bersamaan ketika lift berdenting dan pintunya terbuka. Seorang pria paruh baya keluar dan tanpa sengaja menabrak bahu Arza dan menumpahkan kopi yang dipegang. Pria itu membungkuk meminta maaf dan Arza butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan pria paruh baya itu bahwa dia baik-baik saja tanpa perlu merasa bersalah.

“Kemejamu,” tukas Alea melihat noda kopi tampak mengotori bagian depan kemeja Arza setelah pria paruh baya itu berlalu.

“Aku akan ke toilet, kau naiklah lebih dulu. Aku akan menyusulmu setelah selesai dan hubungi aku jika butuh sesuatu.” Arza mengarahkan Alea masuk ke dalam lift. Memastikan pintu lift tertutup dan ia berdiri tertegun selama beberapa saat sebelum benar-benar berjalan ke arah toilet. Merelakan satu-satunya hal yang harus ia lakukan. Sangat berat, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukannya. Saat ini, Alea adalah adiknya. Tidak ada lagi posisi lain yang merangkap selain dirinya yang sebagai kakak kedua Alea.

***

“Apa yang kauinginkan?” Alec menjawab panggilan telpon Arsen dengan enggan sejak pertama mengangkat. Sedikit basa-basa Arsen mulai membuatnya semakin malas dan meladeni pembicaraan pria itu lebih jauh.

“Pernikahan.”

Alec mendengus sinis dan bosan. “Sepengetahuanku, tidak ada apa pun dalam pernikahan kecuali membuat kepalamu yang pusing semakin berdenyut. Dua temanku melakukan kesalahan yang cukup fatal dan aku tak ingin dibuat pening oleh makhluk bernama wanita.” Alec tersenyum mengingat keriuhan rumah tangga Saga dan Arga.

“Tidak ada yang bisa memiliki adikku kecuali dengan ikatan sah yang menguntungkan untuk bisnisku.”

“Bolehkah aku mencicipinya?”

“Jangan menyentuh apa yang bukan milikmu, Cage. Atau kau akan menyesal telah melewati batasanmu. Kau tahu aku lebih dari sekedar mampu memporak-porandakan MH dan akan memberimu sakit kepala yang luar biasa.”

“Ck, kau mengancamku?”

“Anggap saja begitu.”

“Tuan, Nona Alea Mahendra ada di sini.” Suara sekretaris Alec dari arah speaker telepon mengalihkan pembicaraanya dengan Arsen.

“Masuk,” serunya setelah menekan salah satu tombol di telepon. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Tubuh ramping dengan celana jeans tiga seperempat dan atasan berwarna putih tulang yang ujung bagian depannya terselip di ujung celana jeans, mengambil satu langkah masuk di ruangannya. Mata Alec terpaku takjub mengamati tubuh mungil itu dari atas ke bawah dengan saksama. Tampilan casual yang dipilih Alea sama sekali tak mengurangi ketertarikan Alec pada sosok menawan itu. Rambut terurai yang bahkan harumnya sudah mencapai hidung Alec dan membuat produksi air liurnya meningkat drastis. Alec benar-benar tak sabar memiliki kecantikan sempurna itu dalam genggamannya. Tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan sesempurna ini.

“Jadi?” Arsen berhenti sesaat. Ada kemenangan dalam suaranya yang ditarik-tarik. “Apa dia menjadi milikmu?”

“Aku akan memutuskan hari baik kami. Segera.” Alec mengakhiri perbincangannya dengan Arsen. Apa pun yang ada di pernikahan mereka, rasanya gairah saja sudah cukup melengkapi pernikahannya nanti. Alec menekan tombol di bawah meja dan mengunci pintu ruangannya. Ia tak butuh gangguan-gangguan kecil lainnya.

Alea masuk lebih dalam. Berjalan melintasi ruangan besar itu dengan langkahnya yang ringan dan polos. Tanpa sadar ia telah masuk dalam perangkap sang kakak yang menjalin kesepatakan dengan iblis. “Ehm, kakakku mengutusku untuk membawa berkas ini langsung padamu. Maaf jika mengganggu acaramu,” jelas Alea dengan suaranya

Alec menggeleng sedikit. Seperti sebelumnya, Alea tak pernah menyadari kecantikan yang menarik perhatian para makhluk di sekitar wanita itu. Beruntung kali ini hanya dirinya seorang di ruangan tertutup ini yang jatuh terlalu jauh dalam pesona Alea. “Aku sudah menunggumu sejak tadi pagi, dan kau datang tepat waktu. Tak ada yang perlu disesalkan.”

Alec hampir tak bernapas ketika wangi Alea yang semakin merangsek ke dalam hidungnya membuat Alec tak bisa menahan diri. Wangi wanita itu masih sama seperti yang ia ingat dan tertanam di benaknya.

Tulang punggung Alea membeku sejenak. Mencerna dengan teliti setiap kata yang menyiratkan makna sangat dalam dari Alec Cage. Masih tak memahami meski ia sudah memutar kembali kata-kata itu di kepalanya untuk kedua kalinya.

Alec membuka berkas yang dibawa Alea. Menjawab pertanyaan di mata Alea yang masih belum menemukan jawaban.

Alea terkejut, menatap map yang isinya hanya lembaran kosong. Arsen sialan! Pria itu menjebaknya. Bukan map itu yang ia antar kemari, melainkan dirinya sendiri. Alea mengangkat sedikit wajahnya, seringai di wajah Alec Cage meyakinkan tuduhannya pada Arsen. Sialan!! Alea menyesal mengabaikan kecurigaannya akan sikap aneh Arsen. Pria itu tak pernah melibatkan dirinya dengan urusan bisnis apa pun. Jika sudah seperti ini, keputusan Arsen tak akan bisa diganggu gugat. Arsen sudah memutuskan masa depannya dan bayangan mengerikan tentang sosok di depannya sama sekali tak bisa ia terima dengan sukarela.

Alea melirik ke arah pintu dan menghitung berapa langkah yang ia butuhkan untuk sampai ke pintu dan berteriak meminta tolong pada Arza.

“Hanya membuang waktu jika kau berlari ke pintu. Pintu itu terkunci tepat setelah kau mengambil langkah pertama memasuki ruangan ini.”

“Apa yang kauinginkan?” Alea mengendalikan ketakutan yang merebak hampir ke seluruh tubuhnya. Kakinya mulai goyah, tapi ia berusaha keras agar ketakutan itu tak muncul ke permukaan. Alec Cage bukan pria sembarangan. Pria itu tahu apa yang dilakukan dan apa yang akan dilakukan dengan penuh perhitungan melihat manik mata Alec yang bersinar cemerlang tanpa suatu ekspresi pun yang mengganjal.

Alec bediri, menyelipkan kedua tangannya di saku dan berjalan mengelilingi meja mendekati Alea. Gurat ketakutan yang berusaha keras wanita itu sembunyikan membuat Alec tertawa geli. “Aku tak akan menyakitimu.”

“Jangan mendekat!” teriak Alea ketika merasa ketakutan di dalam dirinya tak terbendung lagi. Dan langkah pria itu yang sama sekali tak mengurangi kecepatannya membuat Alea semakin panik. Alea

Alec menangkap lengan Alea, menarik

“Kumohon, jangan lakukan ini.” Tangisan menyelimuti rintihan Alea. Tubuhnya yang lemah di

“Aku ingin menahannya sampai kau benar-benar menjadi milikku, tapi lagi-lagi kau membuatku hilang kendali.”

“Aku ... aku akan membayar apapun yang diambil Arsen darimu.” Suara Alea bergetar. Kekuatannya yang sama sekali tak memengaruhi tekanan Alec di tubuhnya tak membuatnya putus asa.

“Ya, memang harus.” Sedetik Alec menyelesaikan kalimatnya, detik berikutnya Alec memiringkna kepala dan bibirnya menyapu bibir ranum Alea.

Teriakan Alea terbungkam lumatan Alec yang mengunci bibirnya. Gerakan pria itu di bibirnya sangat kasar tapi tak cukup menyakiti Alea. Penuh keagresifan saat memancing mulutnya membuka dengan satu gigitan di ujung bibir. Alea masih berusaha menolak sentuhan Alec meski lidah pria itu sudah menari-nari di dalam mulutnya. Cengkeraman tangan pria itu di rahang Alea membuatnya kesulitan untuk menggigit dan menyakiti pria itu atas tindakan kurang ajar yang dipaksakan padanya. Meski ia tahu itu bukan tindakan yang akan membuatnya tak menyesal. Akal sehatnya tahu bahwa nama Cage di belakang kekurang ajaran ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kali ini Arsen benar-benar menjalin kesepatakan dengan iblis.

Alea meraup udara sebanyak mungkin ketika Alec memisahkan bibir mereka. Dadanya naik turun dengan terengah-engah mengisi udara di paru-parunya.

Alec mengusap bibir bagian bawa Alea dengan ibu jarinya. “Ternyata lebih manis dari yang kubayangkan selama ini,” gumam Alec dengan suara beratnya yang dalam. Masih tak berminat memisahkan jarak di antara mereka.

Alea mendorong dada Alec, bangkit dan bergegas turun dari meja. Merapikan bajunya sambil mengambil jarak sejauh mungkin dari Alec. “Aku ingin keluar,” paksa Alea sedikit memohon.

Alec menyandarkan pantatnya di meja. Memperhatikan kepala Alea yang tertunduk dan rambut yang lembut jatuh menutupi setengah wajah cantik itu. Seulas senyum melengkung melihat gemetar di kedua kaki jenjang itu. “Aku hanya menciummu, Alea.”

Alea benar-benar akan menangis dan merasa sangat tolol jika ia menangis di hadapan pria itu. Memohon adalah satu-satunya jalan baginya untuk keluar. “Aku mohon.”

“Jadi, kurasa kau sudah tahu apa yang ada di depanmu.”

Alea menggeleng pelan. Ia tahu, tapi ia memilih menolak. “Kumohon, aku ingin keluar.” Kali ini suara Alea hampir bercampur tangisan dan ketakutan.

Alec diam sejenak. Sepertinya cukup untuk pertemuan pertamanya dengan Alea. Ia tak mungkin membuat kesan sebagai pria menakutkan untuk acara kencan pertamanya, bukan. Jadi, ia mengulurkan tangannya ke balik meja dan menyentuh tombol untuk membuka pintu ruangannya. “Pergilah.”

Alea langsung berlari ke arah pintu. Meski ada sedikit keraguan bahwa Alec mempermainkannya, ia bisa bernapas dengan lega ketika pintu bisa terbuka seperti yang diinginkan. Tanpa menutupnya, Alea berlari melintasi lorong dan tepat ketika ia berbelok di ujung, ia melihat Arza yang baru saja keluar dari lift. Seakan menemukan napasnya, Alea berlari lebih cepat dan menghambur ke dalam pelukan Arza.

Arza sedikit terhuyung ketika menyambut tubuh Alea yang langsung menabrak dan memeluknya sangat erat begitu ia mengambil beberapa langkah keluar dari lift.

Arza menjauhkan sedikit tubuhnya dari Alea. Mata Alea sedikit basah dan bibirnya yang merah lebih merah dari biasanya dengan bengkak yang ia tahu kenapa bisa ada di sana. “Apa yang terjadi?”

Alea menggeleng tak ingin diingatkan pada adegan menjijikkan yang baru saja ia dapatkan di dalam ruangan Alec Cage.

Arza memahami kebungkaman Alea. Wanita itu masih syok dengan apa yang telah terjadi. “Kauingin minum?”

“Aku ingin ke toilet,” lirih Alea hampir tak terdengar dengan jelas. Membasuh seluruh jejak Alec Cage adalah satu-satunya hal yang ingin ia lakukan saat ini. Secepat mungkin.

Arza mengangguk. Mencari penunjuk arah di sekitar mereka. Beruntung ada toilet tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mereka hanya butuh berjalan beberapa meter. “Masuklah, aku akan menunggu di sini.”

Arza merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi panggilan cepat nomor duanya dan langsung tersambung di deringan kedua.

“Bagaimana?” Suara Arsen menyahut dari seberang.

“Dia menyentuh Alea,” desisan Arza hampir menyerupai bentakan jika ia tak ingat dengan siapa ia berbicara.

“Tenanglah, Arza. Alec hanya menciumnya. Hari pernikahan pun baru saja ditentukan. Tidak ada yang salah mencumbu tunangan di ruang kerja.”

Pertunangan? Secepat ini? Arza hampir tak memercayai pendengarannya meski ia tahu saat seperti ini akan terjadi. “Apa kau sudah membicarakannya dengan Alea?”

“Aku yakin setelah ini ia akan bergegas menemuiku.”

“Dia adikmu, Arsen. Hormati sedikit perasaannya.”

“Aku memberikan adik kesayanganku terbaik dari yang terbaik.” Arsen menekan suaranya dengan jelas.

Arza tak akan membantah meskipun hatinya meronta ingin menyumpahi keputusan Arsen. Ia tak punya hak atau pun kewenangan untuk melakukan hal itu. “Kami akan sampai dalam satu jam.”

Tak lama Alea muncul dari pintu toilet.

“Apa kau baik-baik saja?”

Alea mengangguk. Merasa tak sanggup bersuara walaupun hanya untuk menjawab ya.

Arza merangkulkan lengannya di bahu Alea, membawa wanita itu bersandar di lengan dan membawanya keluar dari gedung sialan ini. “Kita kembali ke kantor Arsen.”

Alea mengiyakan dalam diam. Ia harus bicara dengan Arsen.

***

Alec mengernyitkan keningnya melihat kedua kakak beradik itu saling berpelukan di lorong. Hatinya mulai terusik melihat kerapuhan Alea yang ditampilkan sangat bebas di depan pria itu. Meski Arsen sudah mengkonfirmasi pria itu sebagai kakak lelaki Alea, rasa cemburu tetap menjalari hatinya. Mendadak Alec diingatkan, kapan ia bersikap begitu posesif terhadap miliknya? Tidak pernah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status