"Saya terima nikah dan kawinnya Rena Puspitasari binti Satria Nugroho, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai." "Sah ...." ucap para saksi yang berada di ruangan itu ketika Barra selesai mengucapkan ijab kabul. Dengan tegas dan tanpa hambatan Barra telah selesai menjadikan Rena istrinya sahnya.Sementara Bram yang memang penasaran dengan ucapan mereka kemarin, datang dan hanya melihat dari jauh saja. Dia tidak berani mendekat ke sana hanya mengamati dari sudut jalan. Dan benar adanya kalau di rumah milik keluarga Rena sedang diadakan sebuah hajatan. Apalagi ketika berang mencoba bertanya pada tetangga Rena yang kebetulan lewat di depannya, apa yang terjadi di rumah Rena tersebut. Tetangga Rena mengatakan kalau ada majlis pernikahan di sana. Dan yang menikah adalah anak dari sang empunya rumah.Itu sudah cukup membuktikan kalau Rena memang benar adanya menikah dengan Barra. Kali ini Bram tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mencegah pernikahan itu terjadi pun dia tidak b
[Iya sayang ... Secepatnya akan ku bawa kalian kesini. Sabar dulu sebentar. Sampai semuanya sudah berada dalam kendaliku.]"Mas, ngapain kamu di sini?" tegur Rena pada Barra. Secepat kilat Barra langsung mematikan panggilan teleponnya itu."Oh, ini ... Kamu dah bangun, sayang?" Barra terkejut melihat kedatangan Rena yang secara tiba-tiba itu. Lalu mencoba menutupi kegugupannya dengan pertanyaan lain. Sembari berdoa dalam hati, semoga Rena tidak mendengar percakapannya tadi. Rena yang ketika bangun tidak mendapati suaminya berada di sampingnya, langsung turun ke lantai bawah. Dan bertanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur bersama BI Inem.Dari merekalah Rena tahu kalau Barra sudah dari tadi turun, dan sekarang sedang bersantai di pinggir kolam renang."Sedang menghubungi siapa, Mas? Kok sepertinya penting sekali? Sampai harus turun ke bawah dan tidak berada di dalam kamar saja?" Rena menangkap gelagat aneh sang suami. Soalnya Rena menangkap basah suaminya yang sedang menelpon
Entah sudah berapa panggilan ditujukan Rena pada Barra. Tidak satupun dari panggilan telepon itu yang diangkat oleh suaminya. Pesan yang yang dikirimkan ke ponsel suaminya tak terhitung lagi berapa jumlahnya. Tapi tak satupun mendapatkan balasan. Barra sepertinya sengaja memutuskan komunikasi hari ini pada Rena. Sampai malam hari Rena tak kunjung mendapatkan kabar di mana Barra berada. Hatinya galau, antara risau dengan keadaan Barra sekarang. Tapi juga ada hal mengganjal tentang perilaku suaminya itu. Mungkin memang benar yang dikatakan Barra pada Bu Diana, kalau dia pergi pulang kampung menjenguk ibunya. Tapi mengingat hal itu pun tak kunjung membuat hati Rena tak nyaman. Mungkin kalau saat ini Barra langsung bicara tentang keadaannya di manapun dia berada, bisa membuat Rena sedikit tenang."Non, ibu panggil. Disuruh makan malam bersama." Bi Inem, pembantu setia keluarga Rena ini datang memanggil Rena."Gak deh, Bi. Aku masih kenyang sekali rasanya. Jadi sepertinya tidak turun unt
"Akhirnya kamu pulang juga, Mas? Dari mana saja kamu selama dua hari ini?" Rena bertanya pada Suaminya yang akhirnya pulang setelah dua malam tidak menemaninya di rumah ini."Aku pulang ke rumah ibuku. Dan ternyata ibuku sedang sakit. Karena tidak ada yang mengurusnya, akhirnya aku menjaganya selama dua malam ini," jawab Barra sambil terburu-buru memakai kemejanya.Barra memang pulang ke rumah Rena waktu subuh. Karena hari ini hari pertamanya bekerja setelah cuti menikah. Dan sekarang bersiap mau berangkat kerja."Bukankah kamu mengatakan padaku hanya mengambil barang di kostmu itu? Lalu kenapa bisa kamu sampai pulang kampung di tempat ibumu? Dan kamu tidak memberitahukan di mana posisinya kepadaku. Setelah itu kamu tidak bisa ku hubungi sama sekali. Ada apa sebenarnya denganmu, Mas?" "Ren, please. Ini masih pagi, aku tidak ingin berdebat. Apalagi hari ini adalah hari pertama kita akan berangkat bekerja sebagai suami istri. Jadi tolong jangan rusak mood ku dulu.""Kamu ini aneh, Mas.
"Ingat ya, Ren. Aku ingin orang satu kantor ini tahu kalau pernikahan kita sangat harmonis. Aku tahu kamu masih kesal padaku. Tapi tolong, jangan tunjukkan di depan mereka kekesalanmu itu," Barra mewanti-wanti Rena ketika mereka dalam mobil dalam perjalanan menuju ke kantor."Aku lama-lama tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Mas. Kenapa aku harus berpura-pura di depan orang?" Rena tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi. Apalagi setelah mendengar Barra mengaturnya, harus begini dan begitu di dalam kantor nanti."Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin mereka menceritakan tentang kita yang indahnya saja.""Hmm ... Pencitraan itu namanya." Desis Rena."Nanti setelah pulang aku akan menceritakan semua tentang hidupku. Jadi kamu jangan terlalu mencurigaiku tentang apapun." Barra merasa di atas angin, karena kali ini Rena tidak berbicara lagi menanggapi omongan suaminya."Apalagi Alvin bilang akan ada kejutan untukku hari ini," kata Barra lagi."Kejutan apa, Mas?" tanya
"Silvia ... Siapa Silvia?" Nama itu berulang kali di sebutkan Mas Barra saat melakukan kewajibannya tadi."Apa dia wanita dari masa lalu Mas Barra, atau dia masih menyimpan rasa pada wanita bernama Silvia itu?" Ah, aku galau memikirkannya. Tapi Mas Barra, yang baru saja melakukan kewajibannya sebagai suami itu, sekarang sedang tertidur Pulas disampingku. Bau minuman masih menyengat dari tubuhnya. Apa Mas Barra melakukan itu dengan sadar kepadaku? Atau hanya karena terpengaruh minuman keras yang menyenangkannya saat mabuk berat tadi?Ah, aku sedih membayangkannya. Sekarang suamiku itu tertidur dengan senyuman di bibirnya. Baru saja aku akan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tiba-tiba Mas Barra mengigau. Dan yang membuat aku terkejut adalah, dia tetap menyebutkan nama Silvia di dalam tidur nyenyaknya itu. Aku tertegun sambil memandang wajah tampan suamiku. rasa penasaran masih menggelayut di pikiranku. Tiba-tiba sebuah dering ponsel milik Mas Barra berbunyi dan memb
"Ren, besok ibuku datang," kata Barra sambil tetap fokus menyetir mobil. Mereka memang sekarang berangkat dan pulang kerja memakai mobil yang dulu dipakai oleh Bram "Loh kok bisa secepat itu mas?" Rena terkejut mendengar ucapan Barra "Iya, dong. Kan memang aku usahakan secepat itu ibu bisa pindah ke sini." "Oh, iya. Aku minta kunci rumah itu dong. Biar aku suruh Bi Inem yang membersihkan rumah itu, sebelum ibu datang," kata Barra lagi."Bi, Inem? Kenapa mesti beliau?" "Memangnya aku tidak boleh meminjam Art-mu sebentar untuk membersihkan rumah itu? Toh, dia juga kerja di rumahmu. Jangan takut nanti aku kasih uang tip yang lumayan banyak untuknya." Barra sepertinya menggampangkan semua cara."Bukan begitu, Mas. Bi Inem itu sekarang sedang repot. Anaknya juga akan pindah ke sini. Dan dia sibuk membersihkan rumahnya sendiri. Jadi tidak ada waktu untuk kesana kemari apa lagi sampai harus membersihkan rumah itu." Rena memberikan alasan pada Barra. Sebenarnya dia tidak setuju kalau h
"Ren, pulang kerja aku langsung jemput Ibu. Kamu pulang sendiri saja. Aku usahakan malam langsung balik ke kota lagi. Dan paginya bisa langsung kerja. Jadi kamu gak perlu menunggu aku, kalau mau, duluan aja berangkat kerja.]Begitu isi pesan dari Barra.Rena mengerutkan dahinya. Tidak habis pikir dengan pola pikir suaminya itu. Kalau memang dia memutuskan untuk pulang ke kampung menjemput ibunya, kenapa tidak langsung menemui Rena di ruangannya?Mereka itu kan bekerja di tempat yang sama. Apa susahnya meluangkan waktu sebentar untuk pamit baik-baik dengan istrinya.Rena hanya membuka dan membaca pesan itu tanpa membalasnya. Dia tahu Barra juga tidak menginginkan balasan darinya. Bahkan mengajaknya turut serta pun tidak ada."Ren, ke ruanganku sebentar, ya?" Tiba-tiba Alvin menghubunginya. Alvin memang hari ini terlambat datang. Untuk itu dia sudah memerintahkan Barra untuk mewakilinya di pertemuan dengan klien baru perusahaan ini.Rena yang sebenarnya masih kesal dan tidak enak hati,