Share

Bab 6. Hinaan

Author: Andrea_Wu
last update Last Updated: 2025-11-07 09:25:31

Aruna menata beberapa helai pakaian ke dalam lemari besar di kamar bernuansa putih itu. Ruangan tersebut tampak hangat dan elegan, dengan dinding berhias lukisan-lukisan pemandangan dan beberapa karya abstrak yang ia bawa dari rumah keluarganya.

Senyum lembut sesekali tersungging di sudut bibirnya yang merah alami, terutama ketika pandangannya jatuh pada lukisan taman bunga magnolia—hasil tangannya sendiri—yang kini menghiasi dinding kamar pribadinya. Kamar itu bukan kamar utama, sebab Alaric memutuskan mereka tidur di ruangan terpisah.

Mereka kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota Shane—hadiah pernikahan dari Tuan Smitt. Letaknya tidak jauh dari kantor ADS Group, perusahaan besar milik keluarga Smitt yang kini dipimpin oleh Alaric Deveraux, putra sulung keluarga itu. Sejak ayahnya memilih untuk bekerja di balik layar, Alaric menjadi presiden direktur di usia muda, meski sifatnya jauh dari kata hangat.

"Senang dengan kamar barumu, wanita aneh?" Belum apa-apa, tapi Alaric sudah melontarkan kata kasar padanya.

Aruna menoleh sekilas—hanya sekilas—ke arah ambang pintu. Di sana berdiri Alaric, dengan senyum remeh di bibirnya dan tatapan mengejek yang begitu khas. Ia hanya memutar bola mata lalu kembali melipat bajunya, berpura-pura tak mendengar.

Memang dia peduli apa, konyol jika dia memilih meladeni pria itu, toh dia sudah tahu jika Alaric benci padanya.

Alaric berdecak kesal karena melihat Aruna tak menggubrisnya.

"Rupanya hatimu sekeras batu. Kupikir kau akan menangis kalau aku menghinamu."

"Aku tidak peduli," jawab Aruna datar tanpa mengalihkan pandangan.

Pria itu tertawa rendah, nada suaranya menyiratkan cemooh. Aruna juga sudah hapal dengan segala sikap buruk Alaric.

Wajahnya memang tampan, sangat tampan malah, dan Aruna sempat terpesona. Namun, karena sikap buruknya itu membuatnya muak.

"Aku yakin kau hanya wanita cengeng dan lemah. Lihat wajahmu itu—apa kau hidup di jaman batu. Skincare di mana-mana, tapi jerawatmu sudah penuh."

Tubuh Aruna sedikit menegang, tapi ia tak memberi reaksi lebih. Ia, Axelia Aruna Weird, sudah terlalu terbiasa menghadapi penghinaan. Pekerjaannya mengajarkannya untuk tetap tenang bahkan di tengah tekanan. Baginya, diam adalah bentuk pertahanan dirinya.

"Aku menerima takdirku," ujarnya pelan namun tegas.

"Dan kau bangga? Hah! Lihat wajahmu, aku malah geli," ejek Alaric lagi, seolah tak puas dengan hinaan yang dia lontarkan sebelumnya.

Alaric sebenarnya bukanlah pria jahat, hanya saja dia malas berurusan dengan Aruna karena dia tidak mau menikah dengannya. Dia terpaksa melakukannya karena ayahnya mengancam akan mencoretnya dari keluarga Smitt.

Aruna mendesah tipis sebelum menatapnya tenang.

"Kalau kau menghina wajahku, berarti kau menghina Tuhan."

Kata-kata itu menusuk diam-diam. Alaric menggertakkan rahang, kedua tangannya mengepal kuat. Ia tak menyangka wanita itu berani membalas. Tujuannya sederhana, membuat Aruna menangis dan menyerah, lalu memohon untuk pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin dengan begitu pernikahan konyol ini bisa berakhir.

Ia sama sekali tak pernah setuju dengan perjodohan itu. Di luar sana, banyak wanita cantik yang rela berlutut demi mendapat perhatiannya. Namun ayahnya, dengan keras kepalanya, malah menjodohkannya dengan perempuan yang bahkan tak menarik di matanya.

"Brengsek!" Alaric mengumpat keras sebelum berbalik pergi, menutup pintu dengan hentakan kasar.

Suara langkah kakinya menjauh, disertai gerutuan yang masih terdengar samar.

"Lihat saja siapa yang bertahan, aku atau kau! Kau pikir kau bisa melawanku? Dasar wanita tidak tahu diri! Aku pasti akan membuatmu meminta cerai dariku."

Aruna mendengarnya, jelas. Tapi ia hanya berdiri memandangi pintu yang tertutup rapat itu, wajahnya tetap tanpa ekspresi.

"Silakan saja kau menghina," gumamnya lirih. "Aku bukan wanita lemah yang bisa kau tindas. Seperti drama murahan yang menjual air mata."

Tangannya merapikan lipatan terakhir pakaian sambil tersenyum tipis.

"Sepuluh tahun yang lalu kau merenggut segalanya, Alaric... dan dua puluh tahun yang lalu, kau yang berjanji padaku. Mungkin otak tumpulnya itu sudah amnesia." Aruna mencebil kesal.

Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah melihat bayangan masa lalu yang enggan hilang.

"Mungkin memang kepalanya yang bermasalah," ucapnya akhirnya, lalu kembali sibuk menata isi lemarinya seolah tak terjadi apa-apa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 8. Penyiksaan Batin

    "Kau ini kenapa? Baru menikah tapi wajahmu kusut begitu?" Alaric mendongakkan kepala. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu tadi. Tiba-tiba saja Dean Dimitri—sahabat sekaligus manajer perencanaan di perusahaannya—sudah berdiri di ambang pintu, lalu masuk tanpa menunggu jawaban. "Kau rupanya? Sejak kapan kau masuk?" Alaric buru-buru memperbaiki posisi duduknya dan berpura-pura sibuk dengan tumpukan berkas di atas meja agar tak terlihat seperti orang tengah frustasi. Dean mendecak sambil melangkah masuk. "Sejak dinosaurus masih berkeliaran, Mr. Smitt." "Jangan bercanda. Ada apa?" Alih-alih menjawab, Dean mengangkat bahu dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa cokelat mewah di sudut ruangan itu. "Harusnya aku yang bertanya. Baru beberapa hari menikah tapi kau terlihat seperti orang yang kehilangan separuh hidupmu saja. Bukankah seharusnya kau pergi bulan madu dengan istrimu, huh? Ayolah, Ric. Nikmati hidupmu, jangan berkencan dengan tumpukan berkas bodohmu itu." Alaric

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 7. Aruna Yang Sebenarnya

    Suasana pagi itu ramai menyelimuti kantor polisi pusat kota Shane. Aktivitas rutin yang memang rutin terjadi di tempat ini. Laporan kasus, dan berkas olah tkp bertebaran di tempat ini. Beberapa polisi yang sedang lalu-lalang spontan menegakkan badan mereka, menundukkan kepala hormat ketika seorang wanita berparas menawan melangkah masuk dengan seragam kebanggaan kepolisian negara itu. Dia adalah Inspektur Axelia Aruna Weird — kepala divisi kriminal di kepolisian pusat kota Shane. Enam tahun sudah ia mengabdi di institusi itu sejak menamatkan pendidikannya di akademi kepolisian. Hanya sedikit orang yang tahu, bahkan suaminya sendiri—Alaric Deveraux—tak pernah menyadari bahwa wanita yang dinikahinya adalah seorang kepala divisi di markas besar kepolisian. Dulu, saat pertama kali Aruna menapaki dunia kepolisian, banyak rekan-rekannya yang meremehkan. Mereka menganggapnya hanya wanita lemah yang tak akan tahan dengan kerasnya dunia hukum. Ejekan dan hinaan menjadi makanan sehari

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 6. Hinaan

    Aruna menata beberapa helai pakaian ke dalam lemari besar di kamar bernuansa putih itu. Ruangan tersebut tampak hangat dan elegan, dengan dinding berhias lukisan-lukisan pemandangan dan beberapa karya abstrak yang ia bawa dari rumah keluarganya. Senyum lembut sesekali tersungging di sudut bibirnya yang merah alami, terutama ketika pandangannya jatuh pada lukisan taman bunga magnolia—hasil tangannya sendiri—yang kini menghiasi dinding kamar pribadinya. Kamar itu bukan kamar utama, sebab Alaric memutuskan mereka tidur di ruangan terpisah. Mereka kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota Shane—hadiah pernikahan dari Tuan Smitt. Letaknya tidak jauh dari kantor ADS Group, perusahaan besar milik keluarga Smitt yang kini dipimpin oleh Alaric Deveraux, putra sulung keluarga itu. Sejak ayahnya memilih untuk bekerja di balik layar, Alaric menjadi presiden direktur di usia muda, meski sifatnya jauh dari kata hangat. "Senang dengan kamar barumu, wanita aneh?" Belum apa-apa, tapi Al

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 5. Malam Pertama Yang Tak Diharapkan

    Suara kicau burung gereja membuat kedua mata sipit itu terbuka. Meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, dan terasa pegal menjalar di seluruh persendiannya. Pandangannya mengedar ke seluruh kamar besar yang terasa dingin. Dilihatnya sosok Alaric yang masih bergelung di dalam selimut tebal dengan mulut terbuka. Kakinya beranjak turun dari atas sofa menghampiri sosok yang kemarin resmi menjadi pasangan hidupnya."Tidurnya nyenyak sekali, huh! Pria berkarisma, tetapi tidurnya seperti itu," gumamnya seorang diri seraya melirik jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk pukul 8 pagi. Tanpa mau repot membangunkan suaminya, sosok berkacamata itu telah menghilang di balik pintu kaca transparan, setelah dirinya menyambar bathtrobe yang disediakan oleh pihak hotel di dalam lemari.Lima belas menit, waktu yang teramat singkat—karena biasanya ia menghabiskan lebih dari 30 menit di dalam kamar mandi—tetapi karena dia tak sendirian dikamar ini, secepat mungkin ia menyelesaikan acara mandinya, t

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 4. Pernikahan Tanpa Cinta

    Suara bising beberapa menit yang lalu kembali menjadi hening saat dentingan piano menggema memenuhi gereja katedral yang berada di kota Shane. Semua orang berpakaian mahal berdiri dengan khidmat. Berpuluh mata memandang pada pintu masuk gereja—di sana berdiri seorang wanita dengan gaun putih pengantin membalut tubuhnya, ditemani seorang pria paruh baya yang ikut berdiri di sampingnya. Langkah-langkah kecil mulai bergema dari enam pasang sepatu di belakang mereka berdua membawa buket bunga mawar dan beberapa bunga tulip yang merupakan bunga favorit mempelai wanita. Saat alunan musik klasik mulai dilantukan, wanita bergaun putih beserta pria paruh baya—yang adalah ayahnya melangkah menyusuri altar dengan hiasan bermacam bunga di sampingnya, dengan karpet merah membentang di depannya hingga menuju singgahsana di mana calon mempelainya telah menunggu kedatangannya. Raut wajah itu terpancar datar, tanpa senyum khas seorang pengantin, tak berbeda dengan calon mempelainya yang saat

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 3. Pertemuan Pertama

    Hujan baru saja berhenti sore itu.Aroma tanah basah menyatu dengan dinginnya udara kota Shane, sementara langit yang kelabu perlahan memudar menjadi oranye pucat. Di pelataran rumah besar keluarga Smitt, beberapa pelayan berlalu-lalang menyiapkan meja dan hidangan. Tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi sore ini, tapi suasana tegang terasa bahkan sejak di gerbang depan.Axelia Aruna turun dari mobil hitamnya dengan langkah perlahan.Gaun sederhana berwarna biru lembut membalut tubuhnya, rambut panjangnya diikat rapi ke belakang. Ia tampak sopan, namun tidak memperlihatkan kecantikan wajahnya yang justru dia tutupi dengan topeng penyamaran."Aku akan memperjuangkanmu, lihat saja pria itu harus bertanggung jawab," ujarnya.Seorang pelayan datang menyambut, menundukkan kepala dengan hormat. "Selamat datang, Nona Axelia. Tuan Besar sudah menunggu di ruang utama."Aruna tersenyum kecil. "Terima kasih," ucapnya lembut. Lalu ia berjalan mengikuti pelayan itu menyusuri lorong panjan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status