Fitri tersenyum, “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Mbak Iis.” Fitri berdiri, dia akan kembali ke kamarnya saja.“Apa kamu ke sini hanya untuk mengatakan itu? Aku akan menjawab dengan hanya aku yang tahu mana yang terbaik untukku, kita bukan siapa-siapa, Fitri. Aku hanya ingin mencari aman dengan memiliki anak, jadi jangan mengajakku berperang atau kamu yang akan kalah.” Iis mengatakannya agar Fitri tahu batas diri.Fitri yang hanya menolehkan kepala tanpa badan, “Aku hanya ingin tahu apa yang kamu lakukan kemarin, tapi sepertinya kematian kelinci Ratih bukan karenamu, jadi karena itulah aku pergi.” Fitri pun melanjutkan langkahnya, tapi dia berhenti dan menoleh kembali ke Iis, “Satu lagi, soal anak, aku, kamu, mbak Sumi, atau bahkan Ratih, bagiku tidak ada bedanya. Semua hanya untuk kebahagiaan kakang Prapto saja.” Fitri benar-benar meninggalkan Iis saat ini. Dia tak ingin berdebat, ini adalah hari pertamanya tiba setelah menginap di rumah orang tuanya, Fitri tak ingin membuat ma
Sumi di kamarnya, pelayan pribadinya tengah memijat kakinya saat ini, “Aku sangat kesal, bagaimana bisa mbok Jum seolah memperlihatkan kekuasaannya di depanku, memangnya siapa dia?” keluh Sumi.Pelayan itu tersenyum, “Mbok Jum ingin njenengan marah lalu aden Prapto tahu, dengan begitu nama njenengan akan buruk, dan mbok Jum tetap baik di depan aden Prapto.”Sumi mengangguk, “Ya, kamu benar. Besok pagi cari kebayaku yang dari kain sutra, bordirannya halus, dengan benang emas di dada. aku ingin semua orang, bahkan tamu kakang Prapto mengakui kalau akulah istri yang paling cantik di rumah besar ini.” Sumi tertawa. Sejenak menyenangkan dirinya sendiri tak salah, kan? Setelah lelah di kakinya hilang, Sumi pun menyuruh pelayannya agar pergi, dia ingin istirahat cukup agar wajahnya terus berseri sepanjang hari.***Hari berganti, rumah besar ini lebih sibuk dari biasanya, meski sarapan tetap berjalan seperti biasa, tapi kesibukan semua pelayan dan pekerja pria kentara sekali.Prapto menoleh
Prapto mengangguk, “Kita hanya membicarakan masalah besok, kamu memiliki ide?” tanya Prapto sambil tersenyum ke Sumi.Fitri ikut tersenyum juga. Meski terkejut dengan jawaban Prapto, dia mulai berpikir kalau Prapto juga menyembunyikan sesuatu dari Sumi.“Aku dan mbok Jum baru saja mengurus kebaya dan surjan yang harus dikenakan besok, apa temanmu akan menginap? Aku akan menyiapkan kamar yang paling dekat dengan taman, jadi dia akan betah karena banyak pekerja yang sibuk dan menarik perhatiannya nanti. Kita juga akan ke kebun saat—“ Sumi menghentikan ucapannya saat Prapto mengisyaratkan agar diam.“Siapkan saja semuanya, aku yakin kamu yang lebih tahu, aku percayakan semua padamu.” Ucap Prapto. Sumi yang terlalu senang ternyata memeluknya, Prapto pun menepuk punggung Sumi.“Maturnuwun, Kakang. Aku akan menyiapkannya sekarang.” Sumi pun pergi. Dia akan menyelesaikan apa yang sempat dia tinggalkan tadi.Fitri tersenyum. Sumi seolah tak menyadari kalau Prapto baru saja mengusir secara hal
Prapto menyeringai, “Kenapa, Ratih? Aku tidak boleh masuk? Bukankah ini rumahku meski kamu yang menempati kamar ini?” terkekeh, dia tahu kalau Ratih sedang marah saat ini.“Kenapa Mas Prapto ke sini?” tanya Ratih ketus. Dia menatap Prapto tanpa takut sedikit pun.Prapto mendekat ke Ratih, rambut itu hitam legam, tak ada sehelai uban pun di sana. Prapto mengulurkan tangan untuk mempermainkan rambut itu. Ratih yang membuang muka, malah membuatnya tertawa, “Aku hanya penasaran, tadi siang kamu sangat berani, aku jadi tidak sabar untuk dilayani. Kemarilah!” Prapto dengan percaya diri melepas surjan yang dia kenakan.“Menjijikkan.” desis Ratih, “Ke luar dari kamarku!” usirnya sambil menunjuk arah pintu.“Tentu saja. Setelah kita menyelesaikan ini, Sayang.” Prapto malah semakin maju.Ratih, tentu saja dia berontak, dia terus menepis tangan Prapto yang berusaha menggapainya. Apa daya tetap Prapto yang menjadi pemenang, dia terlentang di ranjang dengan Prapto tepat di atas dadanya. Milik Prap
Semua pertempuran baru saja selesai. Ratih yang tampak terkelepai di bawahnya, Prapto hanya memberi kecupan singkat di kening, “Malam yang luar biasa, Ratih. Tak salah aku menjadikanmu istri ke empatku.” Terkekeh. Segera turun dari ranjang, mengenakan jarit dan surjannya, serta kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Ratih yang hanya lemas meski tetap tersadar, turun juga, memunguti semua kebaya dan apa pun yang tadinya dia kenakan, lalu ke kamar mandi. Sengaja dia merendam tubuhnya agar semua jejak Prapto hilang, terbilas oleh air yang pastinya akan dia buang besok.***Pagi ini, sengaja Ratih mengenakan kebaya hitam, seolah ingin mengabarkan dia sedang berkabung. Bukan atas kematian, tapi karena dirinya yang hidup bak mayat di rumah besar nan penuh kemewahan ini.“Kamu tidak punya kebaya yang lebih bagus?” tanya Sumi. Dia baru saja mengambilkan sarapan untuk Prapto.“Semua tergantung selera, semua benda akan bagus di mata yang tepat.” Ratih ikut mengambil sarapan juga.“Jangan sampa
Prapto tersenyum lebar, baru semalam dia membuat Ratih mengakui kekalahannya, dan saat ini Ratih malah memberinya kebahagiaan yang tak terkira. “Selamat atas kehamilan istrimu, Kang Prapto.” Bima mengulurkan tangannya. Prapto terkekeh, “Ini keajaiban.” Terus tertawa, tapi dia enggan mendekati Ratih. Ada Bima, tak mungkin dia mengacuhkan temannya ini. “Ndoro Ratih kenapa tidak juga sadar?” tanya pelayan pribadi Ratih. Pertanyaan itu sangatlah tidak pantas, Prapto menoleh, hanya ingin tahu siapa yang bertanya begitu, tapi ada yang lebih menarik dari pandangan, orang yang dia tahu adalah pelayan pribadi Ratih itu, ternyata tak memakai cunduk di sanggul, bibirnya tersenyum, dia tak jadi mencari gara-gara, lebih suka mengajak Bima ke luar, “Kita ke kandang lagi saja.” “Kakang, tidak ingin menemani istri Kakang?” tanya Bima yang saat ini berjalan kembali ke kandang. Prapto menggeleng, “Banyak orang di rumah, mereka akan mengurus Ratih dengan baik.” Prapto sedang bahagia meski belum ing
Ratih mendekatkan gelas berisi ramuan itu ke mulutnya, dia benar-benar tak mungkin lagi menolak permintaan mbok Jum.Sedangkan mbok Jum mulai tersenyum, hanya dirinyalah yang bisa mengendalikan kebahagiaan di rumah besar ini.“Ratih?!”Rasanya begitu lega, mungkin Sang Gusti yang mengirimkan Fitri untuk datang ke kamarnya.“...aku membawakanmu makan—“ Fitri tak melanjutkan ucapannya. Adanya mbok Jum di kamar Ratih membuatnya kawatir, “Mbok Jum, di sini?” tanyanya terus mendekat ke Ratih, tahu kalau Ratih memegang gelas, segera merebutnya, dan menaruhnya di meja.Mbok Jum nyengir, “Ndoro Ratih harus makan, kan? Itu sudah jadi kewajibanku untuk memastikan istri aden Prapto yang hamil,” sengaja menekankan kata ‘hamil’ di depan Fitri, “mendekatkan nutrisi yang cukup hingga anak yang dikandungnya tidak sampai keguguran atau bahkan mati dalam kandungan seperti anakmu kemarin.” Itu adalah ucapan yang mbok Jum yakin mampu membuat bukan saja hati, bahkan jantung Fitri juga tertusuk.Fitri tert
“Suara apa itu, Mbak Fitri?” tanya Ratih. Keributan sayup menggema hingga ke kamarnya. Dia pun segera turun dari ranjangnya dengan dibantu Fitri.“Aku juga tidak tahu. Pelan-pelan.” Fitri merangkul Ratih, dia berjalan begitu pelan, dan saat tiba di ruang tengah, cukup heran karena semua orang berkumpul di sini.Prapto melepas lengan pelayan Ratih, dia berjalan mendekat ke Sumi, tak bertanya apa pun, hanya menatapnya heran dan nyalang.“Aku melakukannya karena kamu tidak adil denganku.” Sumi tak takut, meski tubuhnya bergetar, dia tetap mengakui perbuatannya. “Harusnya kau ada di sini saat aku baru pulang dari basar, bukan malah pergi bulan madu dengan Ratih,” Sumi tak menyangka, ternyata Ratih juga ada di sini, “...jadi jangan salahkan kalau aku menyuruh pelayan itu untuk membunuh semua kelinci Ratih.” Imbuhnya. Dia menatap Ratih, wajah terkejut itu tak membuatnya ikut terkejut, bahkan Ratih berjalan mendekatinya, tapi Sumi segera berbalik dan pergi dari ruang tengah.“Tunggu, Mbak Su