Share

Permintaan Terakhir Papa

Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."

Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."

"Lantas, apa kamu masih ingin menolak perjodohan ini?"

Elina diam tak menjawab. Bulir air matanya menetes. Cukup lama suasana hening di ruangan itu terjeda. Baik Papa Chandra maupun orangtua Devid, mereka sangat menanti jawaban Elina. "Tidak, Pa. Elina mau, Elina akan menerima perjodohan ini."

"Demi papa," batin Elina.

Jika saja raut wajah Elina sedang tidak sedih seperti saat ini, pastinya ruangan itu akan menjadi meriah karena kebahagiaan orangtua Devid dan Papa Chandra.

"Benarkah, Lin?"

"Iya, Pa. Demi papa," sahut Elina seadanya.

"Tidak masalah sekarang demi papa, pada akhirnya juga demi Devid," celetuk Mami Dania pelan dengan senyuman lebar menghiasi wajah cantiknya yang sudah sedikit keriput.

Devid menyenggol pelan lengan maminya. Kemudian sedikit menyatukan alis, mengode. Mami Dania malah memberi pelototan yang akhirnya membuat Devid terdiam, menyimak.

Papa Chandra menatap Papi Andra cukup lama hingga papi Devid itu mengerti maksudnya. Ia mengajak istrinya keluar ruangan dan menyuruh Devid untuk tetap di sana.

Papa Chandra mengelus punggung tangan Elina yang putih nan halus. "Itu pilihan yang bagus, Elina. Mamamu pasti sangat bahagia di sana melihat putrinya akan menerima perjodohan yang dibuatnya."

Elina hanya mengangguk pelan. Tak berniat menjawab.

"Ketika kalian sudah menikah nanti, kamu akan tinggal di rumah suamimu. Jadilah istri yang penurut, sabar menghadapi segala situasi, dan ikutilah segala perintah suamimu yang baik-baik. Devid, apabila Elina nanti berbuat nakal, katakan saja pada saya."

"Eh? Ehm, iya, Om," jawab Devid singkat.

Elina terharu. Rasanya perkataan papanya seolah menjadi kata-kata perpisahan antara papa dan anak sebelum pernikahan. Telinganya kembali disiapkan, rupanya Papa Chandra hendak lanjut bicara.

"Elina, tidak udah khawatir. Teman-teman sekolahmu tidak akan mengetahui hal ini. Hanya kepala sekolah yang akan hadir di upacara pernikahan nanti. Lalu, setelah kamu menikah, yang akan mengantarkanmu ke sekolah adalah supir atau suamimu. Yang memberimu uang saku juga suamimu. Pokoknya semuanya nanti selalu berhubungan dengan suamimu. Oh, iya, jangan lupa sering-sering mengunjungi papa dan makam mama, ya."

"Lalu dengan siapa papa di rumah? Siapa yang menjaga papa dalam keadaan seperti ini?" Tanya Elina khawatir.

"Tenang saja. Papa akan selalu baik-baik saja selama hubunganmu dengan Devid baik."

***

Setelah berbincang sedikit dengan Elina. Gadis itu keluar dari ruangan untuk membeli minuman. Sementara di sini, masih ada Devid dan Papa Chandra.

"Devid, kemarilah!" pinta Papa Chandra pada calon menantunya. Devid langsung menurut. Ia duduk di kursi yang tadi ditempati Elina.

"Ada apa, Om?"

"Saya mau menceritakan sesuatu tentang Elina."

Devid sedikit tertegun. "Silakan, Om," katanya dengan penasaran yang mulai timbul. Sepertinya ini bukan sesuatu yang biasa.

"Sebenarnya ..., saya mendengar percakapan kalian di kamar di hari Elina mencoba gaun pengantin. Maafkan sikap Elina yang kekanak-kanakan, sombong, dan semaunya sendiri itu. Sebenarnya dia dulu adalah gadis yang penuh keramahan dan kelembutan. Tapi semuanya berubah ketika kejadian itu terjadi."

Devid mengerutkan kening. "Kejadian apa, Om?"

"Begini, waktu Elina masih SMP, dia suka pergi sendiri ke mana-mana. Sampai ketika malam hari, dia berjalan di pinggir jalan yang terbilang sepi. Beberapa preman menghadangnya dan hampir melecehkannya. Beruntungnya saat itu saya sedang mencarinya. Jadi saya segera menemukannya dan menyelamatkan Elina dari kejadian yang mungkin akan menjadi hal terburuk di hidupnya."

Devid tercengang mendengarnya. Tak disangka semuanya berawal dari situ. Ia membatin, "Kukira sifat menyebalkannya itu bawaan dari lahir dan memiliki peran antagonis dalam drama kehidupan ini. Astaga, ternyata ada sebuah kejadian besar yang melatar belakanginya."

"Itu pasti sangat mengerikan untuknya yang masih muda, ya, Om. Lalu bagaimana selanjutnya?" Tanya Devid semakin penasaran. Alisnya terangkat menandakan dirinya ingin tahu. Padahal sebelumnya Devid tidak pernah bertanya tentang seseorang sedalam ini karena sifat dingin dan tidak mau taunya. Entahlah, ini benar-benar tidak seperti biasanya. Tapi sepertinya Devid tidak menyadari akan rasa keingintahuan pada dirinya.

"Setelah itu, Elina jadi pendiam, tidak terlalu suka berbaur, dan bersikap galak pada semua orang yang berjenis kelamin laki-laki kecuali saya. Mungkin itu bentuk traumanya. Tapi sejak itu juga Elina ingin mahir bela diri. Ia sering latihan untuk berjaga-jaga jika suatu saat kejadian seperti itu terulang," jawab Papa Chandra dengan sedetail yang ia bisa ceritakan. "Karena itulah, sifatnya padamu juga berlaku, kan? Seperti kemarin-kemarin."

"Iya, Om. Ternyata begitu ceritanya ...."

***

"Ambil ini!" Papa Chandra menyodorkan seponggok amplop cokelat yang berisi sejumlah uang pada dokter yang tadi berjaga di ruangannya.

"Terimakasih, Tuan," ucap dokter kepercayaan Papa Chandra tersebut sambil membungkukkan badan. Senyuman tipis tersemat di wajahnya.

"Hm." Papa Chandra kemudian meninggalkan tempat itu dengan Papi Andra tanpa alat bantu jalan. Mereka berdua tertawa bersama.

"Parah sekali kamu, Chan. Tapi sip lah bisa membuat Elina percaya. Hahaha!" ucap Papi Andra sembari menepuk bahu teman semasa sekolahnya itu. Ya, mereka memang sudah akrab, lebih tepatnya sangat akrab sejak dulu.

"Haha tentu saja. Bagaimana lagi, hanya dengan beginilah Elina mau menurut," ujar Papa Chandra, "lalu sekarang bagaimana? Kita langsungkan upacara pernikahannya sekarang saja."

"Ya, tentu saja. Dania sudah membawa Elina ke rumahmu untuk mengganti pakaian," jawab Papi Andra.

Papa Chandra hanya mengangguk sekali. Kemudian mereka sama-sama diam. Hanya terdengar langkah kaki menuju lift.

"Oh, iya, menurutmu kalau kita pesankan tiket honeymoon setelah mereka menikah bagaimana?" Tawar Papa Chandra. Dirinya memang sangat antusias dengan pernikahan dan hubungan Elina ini.

"Hm..." Papi Andra nampak berpikir. "Aku sih boleh-boleh saja. Dania pasti juga sangat menginginkan hal ini. Tapi, Elina kan sudah kelas sembilan. Apa honeymoon ini nantinya tidak akan mengganggu kesibukannya?"

"Hm, benar juga, ya. Sudahlah, nanti biar kita pikir-pikir lagi."

***

Elina menghapus air matanya yang sempat menetes. Wajahnya yang tadi penuh make up sekarang luntur karena air matanya. Gaun putih menempel di tubuhnya. Semuanya terpampang jelas dari pantulan cermin di depannya sekarang.

Sebuah cincin berhias berlian melingkar di jarinya. Menjadi bukti bahwa pernikahannya dengan Devid sudah sah beberapa jam lalu. Sekarang Elina berada di rumahnya untuk terakhir kali sebelum besok dirinya pindah ke rumah Devid.

"Aku tidak pernah berharap akan pernikahan ini hiks ... hiks .... Tidak pernah berharap akan berhubungan sah dengan pria yang bahkan tidak pernah kulihat dan kukenal sebelumnya. Apalagi menikah demi papa dan mama, bukan demi perasaan cinta hiks .... Ini adalah takdir terburuk yang pernah kualami! A---aku tidak akan pernah bisa bahagia dengan pria sialan itu hiks ... dia bukan pria baik, bukan tipeku, dia juga sepertinya tidak pintar materi sains. Aku tidak akan pernah bisa mencintainya. Argh! Kepalaku bisa pecah memikirkan pernikahan yang tidak pernah kuinginkan ini!" guman Elina. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening. Matanya dipejamkan sementara dahinya mengerut dalam. Benar-benar mengekspresikan perasaan tak senangnya.

Elina sangat menyesali pernikahan ini. Tapi sebesar apapun rasa penyesalan dan ketidakterimaannya, semuanya telah terjadi. Waktu tidak bisa diulang kembali. Kalaupun Elina minta bercerai dengan Devid, para orangtua tidak akan mengijinkan kecuali jika terjadi hal fatal. Ah, sudahlah, Elina bisa menyimpulkan bahwa pernikahan ini akan ia jalani demi kebaikan papanya. Hanya dengan alasan itu. Dan sekarang, selepas mengeluarkan unek-unek panjang di depan cermin, Elina menghirup dan menghembuskan napas panjang berkali-kali.

Elina menatap dirinya di depan cermin, menatap seorang gadis berbaju pengantin yang tengah murung dengan mata sembab. "Sudahlah, Elina. Pernikahan ini sudah terjadi. Yang harus aku lakukan mulai sekarang adalah bisa menghadapi Tuan Spongebob itu meskipun mungkin dia tidak akan memperlakukanku dengan baik seperti sebelumnya. Tak apa, demi papa."

***

"Oh Gosh, menantuku sangat cantik. Duduklah si samping Devid, sayang," titah Mami Dania dengan senang hati.

Elina tersenyum tipis. "Iya, Tan." Sejenak tatapan yang berubah jadi datarnya beradu dengan Devis yang menatapnya tajam.

Mami Dania sontak merasa tidak suka. "Kok 'Tan'? 'Mami'! Panggil saya 'mami'! Sekarang mami adalah mami kamu. Mengerti?"

"I---iya, Tan, eh, Mi." Elina hanya menyengir sekilas. Papa Chandra yang berada di seberang meja makan menggelengkan kepalanya pelan.

"Biasakan panggilan itu, Nak. Panggil Andra dengan sebutan 'Papi' juga. Jangan sampai memanggil mertuamu seperti tadi. Kan tidak lucu," ucap Papa Chandra mengingatkan. Elina hanya mengangguk pahat-pahat, lalu mengambil sendok dan garpu untuk memulai makan.

Di saat acara makan malam sudah hampir berakhir, Mami Dania yang sekarang sudah menjadi ibu mertua Elina membuka percakapan. "Oh, iya, Devid. Tadi mami sudah bicara dengan Chandra. Malam ini kamu menginap di rumah mertuamu dulu, ya. Semalam saja, sekamar dengan Elina yang pasti. Mami dan papi pulang ke rumah."

"Uhuk!" Elina yang baru saja memasukkan potongan daging di mulutnya, tepatnya di atas lidah, secara refleks ia keluarkan kembali ke atas piring. "Sekamar, mi?"

"Iya, Elina sayang. Kalian kan sudah menikah. Apa salahnya?"

"Betul, itu harus dibiasakan, Lin. Ketika kamu seatap dengan Devid nanti, pastinya kamu akan tidur berdua dengannya."

Mata Elina membulat, serasa ingin keluar dari tempat normalnya. Wajahnya menegang. Sementara pikirannya melayang membayangkan betapa buruknya sekamar dengan si Tuan Spongebob. Kemudian ia melirik perlahan, menatap Devid yang ternyata juga sedang menatapnya dengan dingin seperti biasa. Senyuman remeh nan mengerikan diulaskan pria itu, membuat Elina bergidik ngeri.

"Sekamar? Sial, bakalan jadi the nightmare (mimpi buruk) untukku!"

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status