Share

Panggilan om

Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.

Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania.

"Terimakasih, sayang."

Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap.

"Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."

Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima piala dan medali di atas podium di depan teman-teman satu sekolah saat upacara. Makanya Elina jadi terkenal."

"Wah, menantu mami hebat sekali. Pasti kamu banyak disukai oleh orang-orang di sekolah, kan? Terlebih para laki-laki," ucap Mami Dania menggoda.

"Ya ... begitulah." Elina menyunggingkan senyum. Menurutnya, mengobrol dengan Mami Dania serasa mengobrol dengan teman. Mami Dania pun nampak sangat friendly yang bisa membuat Elina merasa nyaman sebagai menantu.

"Apa kamu pernah berpacaran?" Tanya Mami Dania lagi. Wanita itu ingin mengenal lebih jauh tentang menantunya. Meskipun sudah mengetahui cukup banyak tentang Elina melalui informasi bawahannya.

Elina menggeleng. "Tidak pernah, mi. Selain dilarang oleh papa, itu juga sangat mengganggu menurut Elina."

"Oh, begitu. Memangnya tidak ada laki-laki yang pernah menyatakan perasaannya padamu? Secara kamu sangat cantik dan pintar," lanjut Mami Dania.

"Sebenarnya ada, sih, Mi. Banyak malahan. Tapi semuanya Elina tolak karena tidak sesuai dengan tipe Elina," sahut Elina seadanya.

"Memangnya tipe kamu yang seperti apa?" tanya Mami Dania kembali penasaran.

"Yang setia, hangat, terbuka, ganteng, dan pastinya pintar sains. Elina senang kalau punya pacar yang bisa diajak membahas tentang alam, mi," tutur Elina.

Mami Dania memanggut. Ternyata selera Elina bagus juga, pikirnya. "Oh, iya, Lin. Tau nggak? Devid itu sebenarnya hangat, terbuka, dan senang mengobrol dengan orang-orang terdekatnya. Tapi kalau sama orang asing atau tidak dikenalnya atau saat di perusahaan, dia menjadi dingin dan nggak banyak ngomong, pokoknya wajahnya jadi datar gitu. Bikin mami kadang ngerasa aneh."

Elina berpikir sejenak. "Tapi waktu sama Elina kemarin-kemarin itu dia banyak bicara kok, Mi. Padahal kan Elina belum kenal apalagi dekat."

"Benarkah?" Mami Dania mengangkat kedua alisnya yang bewarna cokelat tebal. "Hm ... Mungkin saja secara sosial kalian tidak dekat, tapi hati kalian dekat. Hahaha!"

Elina membulatkan mata. Pendengarannya sedikit terpekik akan suara tawa Mami Dania yang dekat dengan telinganya. Bisa-bisanya Mami Dania berpikir begitu, membuat Elina merasa aneh dan sedikit tak nyaman karena ucapan Mami Dania sama saja mengatakan bahwa dirinya saling mencintai dengan Devid. "Ah, apaan, sih, Mi?" Ucapnya lirih sembari merapikan rambutnya ke belakang telinga.

"Ya kan siapa tahu, Lin. Lagipula Devid sudah menjadi suamimu dan tidak memiliki perempuan lain lagi," kata Mami Dania.

"Memiliki perempuan lain? Dia pernah berpacaran sebelumnya, Mi?" Tanya Elina seraya mengangkat alis kanannya. Rasa ingin tahu tiba-tiba melingkupi.

Wajah Mami Dania mendadak berubah drastis. "Hm, sebenarnya pernah dengan seorang wanita yang mami sangat tidak suka karena dia tidak ada sopan dan hormatnya sama sekali pada mami. Dia tidak pandai memasak dan kerjaannya hanya menghabiskan uang Devid. Kau tahu? Waktu itu mami pergi ke perusahaan yang dipimpin oleh Devid. Mami memakai pakaian simpel dan sangat sederhana saat itu. Mami bertemu dengannya di depan ruang pribadi Devid, kebetulan dia keluar ruangan dengan pakaian ketat. Kamu tau apa yang dia katakan saat mami berkata pada resepsionis ingin menemui Devid? Dia bilang 'orang rendahan dengan pakaian tidak modis seperti anda tidak boleh bertemu apalagi memasuki ruangan CEO!'. Kejam bukan? Dia memang tidak tau sopan santun! Lalu saat dia mengetahui bahwa mami adalah maminya Devid, sifatnya langsung berubah drastis. Tapi mami tetap tidak akan pernah memaafkannya. Karena itu, mami menyuruh Devid memutuskan hubungannya dengan perempuan itu. Kata Devid, sih, dia sudah memutuskannya."

Elina terdiam beberapa saat. Lalu membuka mulut dan berkata, "Ternyata begitu."

***

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Orangtua Devid sudah pamit dan pulang. Tinggallah Elina, Devid, dan Papa Chandra yang sudah masuk ke dalam kamarnya di rumah bak istana ini.

Pandangan Devid diedarkan dalam ruangan berukuran luas yang warna barang-barang dan dindingnya serba biru. Tatapannya kemudian terkunci pada kasur berseprai biru besar yang hanya ada satu dalam kamar itu. Ada juga sofa panjang berwarna biru di dekat lemari. Devid mengalihkan pandangannya pada Elina yang setia duduk di atas kasur dan membuang muka. Sekilas Devid melihatnya dengan remeh.

"Hei, anak kecil. Dengar, ya. Pernikahan kita hanya paksaan dan demi orangtua saja. Jangan pernah berani meminta lebih padaku. Apalagi tentang cinta dan keturunan!"

Elina menoleh, menatap pria yang belum lama ini sudah sah menjadi suaminya dengan tatapan yang menyiratkan keheranan. "Om-om itu sepertinya terlalu percaya diri. Bisa-bisanya dia berpikir bahwa aku akan meminta kedua hal itu." Elina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dia sama sekali tak perduli akan perkataan Devid.

Selepas berkata pada istrinya itu, Devid melangkah menuju kamar mandi. Untungnya di sana ada persediaan alat mandi baru. Sehingga Devid tak perlu bergantian memakai sikat gigi dengan Elina.

Selepas bergosok gigi, Devid menutup pelan pintu kamar mandi. Kakinya masih menetap di atas lantai bewarna biru. Sementara pandangannya beredar ke penjuru kamar. Menatap kilas barang-barang istrinya dan penataan furniture kamar. Sejenak ia menghembus napas cepat sembari memijat keningnya.

Elina yang sedang membaca novel menatap suaminya sebentar. "Hei, Om. Apa yang kamu lakukan di situ? Keluarlah, kamar tamu ada di bawah."

"Kamu bodoh apa bagaimana? Papa Chandra tidak mungkin membiarkan kita pisah kamar," ucap Devid ketus.

"Papa sudah tidur kalau jam segini. Cepatlah keluar. Aku tidak bisa bernapas jika udara di kamar ini terkontaminasi dengan karbondioksida darimu, Om!"

"Justru aku berharap kamu tidak bisa bernapas, anak kecil! Hei, sudah kuperingatkan berapa kali, jangan panggil aku 'Om'! Tidak sopan," ketus Devid sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Elina.

"Om, om, om! Apa salahnya itu?!" ejek Elina dengan lidah yang dijulurkan. Sepertinya ia semakin berani pada suaminya.

"Ish! Apa bisa sedetik saja kamu tidak membuatku kesal?! Lihatlah dirimu! Kamu hanya anak kecil yang sedang berhadapan dengan pria dewasa. Jadi, bersikap sopanlah!" tegas Devid.

"Tahu nggak? Kehadiranmu juga selalu membuatku kesal! Apa masalahnya? Bukankah kita impas?" tukas Elina.

"Aish!" Geram Devid. Ia mengepalkan tangan. Jika saja Elina adalah seorang laki-laki, pasti tubuhnya sudah temukan dipukuli Devid. Tapi, mengingat Elina adalah seorang gadis yang berstatus istrinya, terlebih mereka sedang berada di wilayah kekuasaan Elina alias kamar gadis itu, Devid lebih memilih menahan emosi. Ia berjalan cepat menuju pintu kamar dan membukanya.

Kreak... Pintu kamar terbuka. Betapa terkejutnya Devid melihat papa mertuanya ada di sana. "Papa?" sapanya spontan, "apa yang papa lakukan di sini?"

Papa Chandra tampak gelagapan sesaat karena ketahuan. Ia menggaruk tengkuknya sebentar, menyusun kata-kata sebagai alasan. "Ehm, papa sebenarnya kemari untuk mengecek keadaan kalian. Tapi papa malah mendengar keributan kalian." Papa Chandra menghembuskan napas panjang. Sementara Devid mengendurkan kepalan tangannya dan Elina menaruh buku novelnya di atas nakas. Elina ikut kaget akan keberadaan papanya di depan kamar. Ia yakin papanya mendengar semuanya.

"Elina..." Papa Chandra memasuki kamar dengan perlahan. Di bawah celananya, nampak perban yang membaluti kakinya. Elina dengan khawatir sontak beranjak hendak membantu papanya berjalan. Tapi, Papa Chandra mengangkat telapak tangan kanannya, menolak bantuan Elina.

Pria paruh baya itu memasukkan kedua tangannya di saku celana. Menatap Elina yang kini sudah berdiri bersampingan dengan Devid di depannya. "Elina, apa kamu masih belum mengerti? Devid itu suamimu. Sangat tidak baik jika seorang istri memanggil suami dengan sebutan 'om'. Meskipun umurmu dengan Devid terpaut cukup jauh, tetap saja panggilan itu sangat tidak etis. Mulai sekarang, panggillah suamimu dengan sebutan 'sayang'---"

"Sayang? Bagaimana mungkin aku memanggilnya dengan sebutan itu, Pa? Kami saja baru mengenal beberapa hari," tolak Elina.

"Tapi itu cara yang baik untuk kedekatan kalian, Elina."

Raut wajah Elina terlihat frustrasi. Beberapa detik berlalu dengan keheningan. Akhirnya gadis itu mencoba menawar, "Bagaimana kalau Elina memanggilnya 'Kak' saja?"

"Tapi, Elina, 'Kak' itu panggilan untuk---"

"Pa, itu sudah lebih baik daripada 'om'," potong Elina.

Papa Chandra menatap Devid dengan tidak enak. "Apa itu tidak masalah, Devid?"

"Tidak apa-apa, Pa. Selagi bukan panggilan 'om', tidak masalah," jawab Devid dengan senyum dipaksakan.

"Oh, iya, Devid. Papa juga ingin mengingatkanmu. Elina itu istrimu. Sedikit keterlaluan jika kamu memanggilnya 'anak kecil'. Apa kamu bisa memanggilnya dengan sebutan lain yang lebih hangat? Karena pastinya mamimu akan marah bila mendengarmu memanggil Elina begitu," tutur Papa Chandra lugas.

"Ehm, iya, Pa. Maafkan Devid," ucap Devid. Ia sebenarnya juga tahu, jika maminya mendengarnya memanggil Elina dengan sebutan itu, habis dirinya diceramahi tak henti-henti.

"Minimal panggillah istrimu dengan namanya," saran Papa Chandra. Pria itu sebelumnya menduga pernikahan putrinya diawali dengan begini.

"Iya, Pa."

"Satu lagi. Selain itu, Papa juga mendengar pertengkaran kalian. Membuat satu sama lain merasa kesal, menyuruh suami tidur pisah, tidak ingin melihat satu sama lain, apa itu membuat hubungan menjadi baik? Apa itu membuat perasaan kalian senang? Tidak kan? Ayolah, kalian ini sudah menjadi pasangan suami istri. Cobalah berbicara baik-baik, berlaku baik dan menerima satu sama lain. Dengan begitu papa yakin kalian bisa mencapai pernikahan yang amat bahagia," tutur Papa Chandra panjang lebar. Ia menatap putri dan menantunya bergantian. "Kenapa masih diam-diaman? Tidak ada yang berniat meminta maaf duluan? Elina, apa kamu tidak mau meminta maaf pada suamimu atas perkataanmu tadi?"

Elina memutar bola mata. Dalam hati ia merutuk kesal. Sesekali melirik ke arah Devid yang sudah beralih menghadapnya dan menunggu dirinya untuk meminta maaf.

"Elina ...!" Papa Chandra memanggil, memberi kode supaya Elina segera melakukannya.

Elina menghela napas cepat. Dikumpulnya keberanian yang tadi sempat menciut karena adanya Papa Chandra. Segera ia menjulurkan tangan kanannya. Tatapan yang terbilang belum bersahabatnya itu bertemu dengan sorotan datar dari mata indah Devid. "Maafkan aku, Kak."

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status