Share

Sudah Memiliki Kekasih

"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini.

"Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi."

"Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa."

"Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid dan layani apa yang suamimu inginkan, mengerti? Panggil dia seperti yang kamu janjikan tadi. Devid, bersikaplah lebih sabar pada Elina. Papa yakin lama-kelamaan dia akan bersikap lebih sopan padamu," lanjutnya.

"Baik, Pa," ucap Devid dan Elina bersamaan.

***

Selepas kepergian Papa Chandra, suasana dalam kamar kembali canggung. Elina melirik sengit pada suaminya, mendengus kesal sebelum akhirnya memilih merebahkan diri di ranjang.

Tatapan Devid mengikuti gerak-gerik istrinya. Keningnya berkerut melihat Elina yang malah memposisikan tubuhnya di ranjang membentuk huruf 'X'. Tangan dan kaki yang diarahkan ke sudut-sudut ranjang yang berbentuk persegi panjang itu secara tersurat menandakan bahwa Elina tak mau ada orang lain yang menempati tempat tidurnya selain dirinya. Devid memejamkan mata sejenak. Ia mengatur napas dan mencoba merilekskan pikiran, berharap untuk ke depannya dirinya dapat menghadapi gadis yang belum cukup umur untuk menikah itu. Apalagi Devid mengingat bahwa istrinya pernah hampir dilecehkan saat SMP, membuatnya mengurung niat untuk bermain fisik seperti yang ia lakukan kala marah pada seseorang.

"Geser!" titah Devid. Ditariknya kaki kiri Elina dan digeret ke arah kanan sehingga ada tempat untukmu tidur.

"Lepaskan! Kakak menarikku terlalu keras. Tidak sopan!" seru Elina merengut. Ia bergeser ke arah kanan, membiarkan Devid berada di sampingnya dengan terpaksa karena jika tidak, mungkin saja Devid akan mengatakan hal ini pada papanya.

"Hish." Devid memilih tak menjawabnya. Ia mulai memejamkan mata setelah mematikan lampu kamar.

"Kenapa lampunya dimatikan? Bagaimana jika kakak melakukan hal yang tidak-tidak padaku?!" tanya Elina yang mulai berpikir berlebihan. Gadis itu masih bisa menatap suaminya meskipun sebatas remang-remang karena pencahayaan yang kurang.

Devid diam saja, tak berniat menjawab. Baginya, Elina terlalu cerewet membuatnya malas menanggapi. Namun, suara gusrak-gusruk menganggu pendengarannya. Devid membuka mata. Dilihatnya banyak bantal dan guling di samping dirinya. "Apa yang mau kamu lakukan dengan barang-barang ini?"

"Untuk memisahkan kita, supaya tidak terjadi hal yang tidak kuinginkan, paham? Jangan pernah berpindah dari posisi kakak! Jangan pernah---"

Suara Elina tercekat di tenggorokan saat tiba-tiba Devid bangun dari tidurnya dan memegang erat dagunya. Posisinya dekat membuat Elina membulatkan mata seraya menahan napas.

"Jangan berpikir berlebihan! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menyentuhmu, apalagi mencintaimu. Kamu tahu sendiri pernikahan ini bukan keinginanku. Jadi, bersikap dan berbicaralah yang sewajarnya sampai aku menceraikanmu kelak. Ketahui saja, pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Aku pasti akan menceraikanmu dalam waktu yang tidak lama dari sekarang." Keseriusan dan ketegasan Devid bisa Elina dapatkan melalui intonasi suaranya yang terdengar dingin. Elina meneguk liurnya. Ada secuil rasa takut yang ia rasakan sampai Devid melepas pegangan di dagunya.

"Tidurlah dan besok bersikap seolah tak terjadi apa-apa hari ini," ucap Devid menutup percakapan.

"Aku tidak menyangka dia akan berkata seperti itu. Astaga ..., apa yang harus kulakukan? Kenapa aku mendadak tidak punya keberanian untuk meneriakinya lagi?" batin Elina. Ia menarik selimut hingga menutupi lehernya. Pikirannya tak karuan memikirkan perkataan Devid tadi.

Malam semakin larut. Sebenarnya, dua insan itu sama-sama belum tidur. Mereka masih memikirkan pernikahan ini sampai akhirnya mengantuk.

***

Matahari malu-malu muncul di ufuk timur. Seorang gadis lamat-lamat membuka mata. Bangun pada pukul setengah enam sudah menjadi kebiasaannya sehingga matanya otomatis terbuka di jam tersebut.

"Hoam!" Elina menutup mulutnya yang menguap. Matanya yang masih sedikit berair terbelalak menatap wajah Devid dekat di depannya. Elina sontak beranjak dan memegangi dadanya dengan perasaan terkejut. Bantal dan guling yang semalam ia gunakan untuk menjaga jarak sudah tak berada di tempatnya lagi, berantakan.

"Sialan, mataku hampir copot melihat wajahnya di jarak dekat. Bagaimana bisa Kak Devid pindah posisi?! Menyebalkan!" Elina ingin sekali menimpuk pria itu dengan bantal. Namun, dengkuran halus Devid membuatnya mengurungkan niat. Sepertinya pria itu masih terlelap hingga tak terbangun oleh suara ranjang akibat gerakan Elina.

Ting! Ting! Bunyi dering asing terdengar dari ponsel di atas nakas. Elina mengambil ponsel mahal yang ia ketahui milik suaminya itu. Diliriknya sesekali, ternyata Devid tak kunjung bangun. Elina pun tanpa izin mengecek notifikasi pesan melalui layar atas ponsel yang sudah menyala itu.

My Honey - 16 pesan tak terbaca

Sayang, semalam kamu nggak melakukan yang macam-macam sama istri kamu kan?!

Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu jangan pernah sentuh, bahkan dekatin dia!

Ingat janjimu minggu lalu, Honey. Kamu akan menceraikan anak kecil itu dan menikah denganku kan? Kamu ingat kan?

Elina mengernyit membaca sejumlah pesan tersebut. "Honey?" gumannya pelan, "apa dia penjual madu?"

Elina mencoba memahami. Ia membaca ulang pesan itu. Lalu, mendadak matanya kembali membulat. "Honey? Panggilan kesayangan?! Apa ini kekasih Kak Devid? Lalu kenapa dia tetap menerima perjodohan ini?"

Elina mengepalkan pegangannya pada ponsel itu sejenak. Lantas menaruh kembali sesuai tempatnya. Tatapannya menajam mengarah Devid. "Bisa-bisanya Papa menjodohkanku bahkan dengan pria yang sudah memiliki hubungan dengan wanita lain! Apa Papa mau aku menjadi orang ketiga serta menjalani pernikahan untuk merasakan perceraian?! Hish!" batin Elina sebal.

"Eh, tapi... bukankah aku seharusnya senang jika kami cepat bercerai? Aku tidak akan lagi menjalani pernikahan yang tidak kuinginkan ini kelak," Elina tersenyum tipis membayangkan opininya, "sepertinya bukan hal yang begitu buruk. Hm, baiklah Elina, jalani semua ini dengan santai saja, hadapi semuanya, dan yakinlah kamu akan cepat terbebas dari ikatan pernikahan ini! Hum ... Kekasih Kak Devid, aku sedikit penasaran tentangnya."

Elina menyunggingkan senyuman smirk. Benaknya menyiapkan rencana untuk kehidupan pernikahannya di rumah suaminya nanti. Mungkin membuat Devid dan kekasihnya kesal adalah cara yang bagus untuk mempercepat waktu pernikahan ini, pikir Elina. 

Perkataan Papa Chandra semalam melintas tanpa permisi saat Elina melamun sebentar. Senyuman smirk Elina memudar. Semalam ia sudah mengatakan akan menghormati dan melayani keinginan Devid. "Maaf, Pa. Tapi, Kak Devid nggak sebaik yang papa pikirkan. Dia ternyata sudah memiliki wanita lain sebelum pernikahan ini disahkan. Bukan hal baik jika Elina mengiyakan hubungan Kak Devid dengan wanita lain sementara dia sudah menikahi Elina. Apalagi semalam Kak Devid mengatakan sesuatu di luar dugaan Elina. Maka, untuk mengimbanginya, Elina juga perlu melakukan sesuatu."

***

Elina mengancing kancing seragam yang paling atas. Hari ini sudah hari Senin. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Dua hari lalu statusnya masih sendiri, sekarang sudah menjadi istri orang. Elina terus menatap pantulan bayangan dirinya di cermin hingga pintu ruang ganti terbuka. Ia melihat suaminya keluar dengan pakaian rapi berjas. Nampaknya Devid akan berangkat ke perusahaan.

Sekilas mata mereka bertemu. Tak berlangsung lama, sampai Elina memutuskan pandangan dan memilih keluar kamar dengan tas sekolah yang sudah diselempangkan di bahunya. Devid mengikutinya dari belakang. Mereka menuju ruang makan. Terlihat di sana ada Papa Chandra yang sudah menunggu.

"Pagi, Pa."

"Pagi juga, Nak. Apa semalam kalian tidur nyenyak?" tanya Papa Chandra.

"Hm, tidak begitu, Pa," sahut Elina pelan seraya mengambil nasi ke piringnya. Tapi, gerakan tangannya terhenti saat papanya mengingatkan sesuatu.

"Elina, kamu sudah menikah. Layani suamimu dengan mengambilkannya nasi terlebih dahulu. Biasakan itu."

"Kak Devid kan bisa mengambilnya sendiri, Pa! Kenapa harus Elina?"

"Elina!" Papa Chandra menajamkan pandangan.

Elina memejamkan mata singkat. Genggaman tangannya di centong nasi yang berlapis emas pada bagian ujungnya dieratkan, Devid menyadari itu, namun tak menyadari perasaan Elina.

Puk! Elina menaruh dua centong nasi penuh ke piring Devid. Lalu beralih mengambil nasi ke piringnya. Devid menatap datar ke arah Elina yang nampak tidak semangat dan terpaksa melakukan ini.

***

Selepas sarapan, Elina duduk-duduk di ruang keluarga sambil menyalakan televisi. Biasanya ia akan berangkat sekolah sekitar sepuluh menit setelah sarapan. Sementara Papa Chandra sedang sibuk dengan tabletnya di sofa samping Elina. Devid baru saja pamit untuk berangkat ke perusahaannya.

Suara bel terdengar. Seorang pembantu membukakan pintu dan menyuruh si tamu untuk masuk.

"Kayla?" sapa Elina senang melihat kedatangan sahabatnya.

"Hai, Lin. Selamat pagi, Om. Kayla dengar Om kemarin kecelakaan, jadi Kayla membawakan Om buah. Papa Kayla juga sudah mendengar beritanya, mungkin akan segera menjenguk Om setelah menyelesaikan perkenalannya di luar kota. Ini, Om," ucap Kayla sambil memberikan sebuah bungkusan berisi berbagai macam buah.

"Ya ampun, terima kasih, Kayla. Duduklah." Kayla pun duduk di samping Elina.

"Tadi papamu memang sempat menelepon om sekadar menanyakan kabar. Hum ... bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kamu tidak menginap di sini bersama Elina."

"Baik, Om. Ngomong-ngomong  bagaimana kondisi Om sekarang?" tanya Kayla sembari menatap Papa Chandra dari atas hingga bawah sekilas. Gadis yang ikut organisasi dokter kecil UKS sekolah itu merasa sedikit heran. "Om terlihat sangat baik-baik saja. Malah seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya."

Papa Chandra terdiam beberapa saat. "Ehm, iya. Kata dokter imunitas tubuh Om terbilang baik, sehingga kesembuhan Om lebih cepat."

"Ehm, begitu. Kalau begitu, Kayla berangkat dulu ya, Om. Ayo, Lin, kita naik mobilku saja," pamit Kayla.

"Hm, hati-hati di jalan." Papa Chandra menyelami putrinya yang sudah beranjak dari sofa. Melihat kepergiannya beriringan dengan Kayla menuju pintu depan.

Sesampainya di depan rumah. Kayla berucap pelan, "Lin, beneran nggak sih Om Chandra kecelakaan? Kayak aneh aja gitu lihat kondisinya yang baik-baik saja."

"Nggak tahu juga, Kay. Aku juga sempat heran sebentar. Tapi Papa beneran kelihatan lemah waktu di rumah sakit," ucap Elina seraya menghembuskan napas panjang. Ia menutup pintu mobil sahabatnya setelah duduk di samping Kayla yang berada di kursi supir.

Kayla diam tak menjawab. Ia mulai menancapkan gas mobilnya perlahan dan meninggalkan halaman rumah Elina.

Elina termenung menatap luar jendela. Matanya mengamati satu persatu mobil milik keluarganya yang berjejer rapi. Keningnya berkerut dalam mendapati seluruh mobil papanya dalam kondisi baik. "Bukankah mobil Papa menabrak pohon? Kenapa tidak ada lecet atau kerusakan sedikitpun? Ah, sudahlah. Memikirkannya membuatku pusing."

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status