Hai, ini Lovi! Terimakasih sudah membaca karya terbaru Lovi. Jangan lupa support Nick dan Eliza dengan cara beri rating dan komentar positif kalian di beranda profil author. Sedikit perhatian dari kalian, berarti banget buat Lovi. Salam sayang untuk kalian di manapun kalian berada ♥️
Lorong rumah sakit itu terasa sunyi, hanya bunyi roda kursi yang berderit pelan mengisi ruang yang penuh hawa antiseptik. Eliza baru saja keluar dari ruang terapi bersama psikolognya, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Anita berjalan di samping, mendorong kursi roda putrinya dengan sabar.Namun, langkah mereka terhenti begitu melihat sosok yang sejak tadi duduk menunggu di kursi besi lorong. Nicholas.Pria itu berdiri terburu-buru, tubuhnya tampak letih, matanya sembab, namun tetap menyala dengan rasa bersalah dan kerinduan. Begitu Eliza menyadari kehadirannya, napasnya tercekat. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan itu.“Eliza…” suara Nick lirih, bergetar. Ia melangkah mendekat dengan ragu, seolah takut gerakannya sendiri akan membuat gadis itu semakin jauh.Namun Eliza cepat-cepat berbisik pada ibunya, “Ma, tolong… jangan biarkan dia dekat. Tolong dorong aku pergi.” Suaranya tajam, berisi luka yang belum kering.“Eliza, dengarkan aku sebentar saja,” Nick memohon, langkahnya
Ruang terapi itu hening, dengan aroma lavender tipis yang menenangkan. Eliza duduk di kursi panjang, tubuhnya tampak rapuh, selimut tipis masih menutupi bahunya. Tangannya sesekali meremas kain bantal kecil yang diberikan suster, seolah benda itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh. Di sampingnya, Anita duduk menemani, sementara di hadapan mereka seorang psikolog wanita paruh baya bernama dr. Maya menatap lembut, memberi ruang aman untuk Eliza bercerita.“Eliza,” suara lembut dr. Maya memecah diam, “tidak ada yang harus dipaksakan. Kamu boleh mulai dari apa pun yang ingin kamu keluarkan hari ini. Aku ada di sini untuk mendengarkanmu, tanpa menghakimi.”Eliza menarik napas, dadanya naik turun berat. Matanya menunduk, lama ia bergulat dengan hatinya sendiri. Anita mengelus punggung tangan putrinya pelan, memberi dorongan.“Aku...” suara Eliza parau, hampir pecah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa… salah. Semua orang menatapku seolah aku ini korban, tapi… korb
Nicholas sudah beberapa hari ini tak pernah benar-benar pulang. Sesekali ia kembali ke mansion hanya untuk mandi dan mengganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit dengan wajah pucat dan lelah. Namun ia selalu memastikan dirinya tetap berada di lorong itu—tak jauh dari kamar rawat Eliza—seolah kehadirannya bisa memberi sedikit kekuatan bagi istrinya, meski Eliza sendiri menolak untuk melihat wajahnya.Lorong rumah sakit itu sudah menjadi saksi kesetiaan dan penantian Nicholas. Kursi tunggu besi itu telah menjadi ranjangnya. Udara dingin AC bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung tak membuatnya bergeming.Pagi itu, seorang perawat keluar dari kamar rawat Eliza, membawa troli bekas perlengkapan infus. Nicholas, yang duduk sambil menundukkan kepala, langsung mengangkat wajah. Matanya sembab, lingkar hitam makin pekat di bawahnya.“Bagaimana keadaannya, suster?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.Suster itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ibu Eliza masih
Eliza tergeragap pelan ketika merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Mata yang berat ia buka perlahan. Suster sedang mengganti cairan infus. Cahaya lampu neon di langit-langit kamar rawat membuat matanya perih.“Selamat pagi, Bu Eliza,” suster menyapanya dengan lembut. “Bagaimana perasaannya pagi ini?”Eliza hanya mengangguk kecil, suaranya masih serak. Anita segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Eliz… Mama di sini. Kamu bikin Mama khawatir setengah mati.”Andreas berdiri di sisi lain, wajahnya tegang tapi berusaha tenang. “Syukurlah kamu sadar, Nak.”Eliza mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya kering. “Aku… baik-baik saja,” gumamnya pelan.Suster menuntaskan pekerjaannya lalu berkata, “Kalau ada keluhan, silahkan tekan bel. Saya permisi dulu.” Ia keluar, meninggalkan mereka bertiga.Begitu pintu tertutup, Anita langsung mengelus dahi putrinya. “Kamu belum makan apa pun sejak kemarin. Mama bawa bubur. Coba ya, biar tenagamu pulih.”Eliza menggeleng cepat. “Aku ngg
Kursi tunggu rumah sakit terasa semakin keras ketika Nicholas membuka matanya. Lehernya pegal, punggungnya sakit. Ia terbangun karena hawa hangat yang asing.Selimut.Selimut tipis tersampir di bahunya. Nicholas menoleh, dan mendapati sosok Andreas yang sedang berjalan perlahan menjauh dari lorong.“Pa…” desis Nick nyaris tak terdengar. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.Dadanya tiba-tiba sesak. Andreas memang tak berkata apa-apa, tapi tindakan kecil itu menusuk jauh ke dalam hati. Selama ini yang ia dapat hanyalah tatapan marah dan penolakan. Namun pagi ini, diam-diam, mertuanya menyelimuti dirinya.Nicholas menunduk, menahan air mata.Belum lama setelah Andreas menghilang di tikungan lorong, suara langkah lain terdengar. Lebih tegas, lebih cepat.“Pak Nicholas.”Nick mengangkat kepala. Geri berdiri di hadapannya, rapi dengan kemeja abu-abu. Sekretaris itu menunduk sedikit sebelum mengulurkan sebuah kantong kertas.“Saya diperintah Pak Ettan untuk memastikan Bapak sarapan. Maaf kalau sa
Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d