Malam itu juga, keduanya dinikahkan paksa oleh kepala desa dan aparat keamanan yang menjaga keamanan Desa tersebut. Air tidak bisa menghubungi kakaknya karena ponselnya rusak, sementara Bara sendiri tidak bisa berbuat banyak sebab semua barang barang miliknya mereka sita.
Dengan penuh kebencian Bara menatap Air, gadis pembawa mala petaka bagi hidupnya. Bagaimana mungkin dia menikahi seseorang yang tidak dia kenal dengan cara seperti ini.Merasa puas dengan apa yang terjadi dan tanggung jawab Bara sudah terlaksana. Satu persatu warga mulai meninggalkan tempat itu, mereka kembali ke tempat masing masing dengan terus membicarakan hal tersebut tanpa henti pada orang orang yang mereka temui hingga berita itu menjadi ramai.Sampai pada akhirnya ditempat itu kini hanya ada kepala desa dan aparat keamanan desa, Air dan juga Bara. Keduanya tampak diam dan kecewa dengan sikap semua orang perkampungan itu."Cara kalian benar benar kampungan. Tidak mendengarkan sedikitpun penjelasanku!""Sudahlah, semua urusan sudah selesai. Kalian bisa pergi dengan damai dan kami warga di sini menjadi tenang." jawab aparatur desa.Tak berselang lama, sebuah mobil berhenti tepat di depan tempat itu. Seorang pria keluar dengan wajah tegang dan rahang yang keras, dia langsung merangsek masuk di susul oleh seorang wanita bermata teduh. Kakak dari Air datang, entah mendapat kabar dari mana yang pasti Biru sangatlah marah."Ada apa ini?" Biru menatap satu persatu orang di dalam ruangan dan berakhir pada sang adik. Wajah muram Air sedikit berubah saat melihat kakak kesayangannya. Dia bangkit dari tempat duduknya setelah melihat kakak dan kakak iparnya datang. Pria yang tidak akan tinggal diam dan pasti akan membelanya itu.Melihatnya saja, Air merasa lega. Gadis itu langsung bangkit dan menghampirinya."Kak Biru?" teriaknya seraya memeluk kakaknya itu, dia menangis sejadinya dipelukan Biru. Kesedihan yang tidak lagi bisa dibendung atas kesialan yang terjadi hari ini. "Kak ...! Aku ... Aku ... tolong aku Kak!""Anda saudara dari nona ini?" seru kepala Desa yang langsung menghampirinya."Katakan ada apa? Kenapa dengan adikku?"Kepala Desa menceritakan apa yang terjadi pada mereka berdua dan juga pernikahan paksa yang baru saja di laksanakan. Biru yang sejak tadi diam saja hanya mampu menahan kemarahannya dan tampak serius menatap keduanya."Apa ... Air apa itu benar? Kau....?" sentak Biru dengan dua tangan mencengkram kedua pundak Air."Sayang ... Kita dengarkan penjelasan dari Air dulu ya." Cegah wanita berwajah tenang disampingnya, ia menahan lengan Biru yang tampak menguat tajam."Apa lagi yang harus di dengarkan? Semua sudah jelas. Bukankah begitu Air?" tatapan Biru sangat menakutkan, bak ujung tombak yang runcing yang langsung mengusuk jantungnya.Namun semua sudah terlambat, Air dan Bara sudah dinikahkan sekalipun tidak ada satu pun keluarga masing masing dipanggil."Kakak sangat kecewa padamu Air! Kamu tidak bisa menjaga harkat dan martabatmu sendiri!""Kak ... Aku mohon dengarkan penjelasanku dulu, semua ini gak bener ... Sumpah demi apapun!""Kepercayaanku padamu sudah kamu rusak Air!""Kak ... Apa Kakak gak percaya sama aku?" Air mundur dua langkah kebelakang, tatapannya tertuju pada Biru. "Kakak sama sekali gak percaya sama aku? Sama kayak mereka?"Biru menatap sang adik dengan tajam, kedua bola mata menghujam penuh amarah. "Apa yang harus aku percaya lagi Air, semua ini ...?"Air menggigit bibirnya sendiri, tanpa terasa bulir bening turun begitu saja melihat seseorang yang dia fikir akan membelanya justru tidak memberikan kesempatan sedikitpun padanya."Sekarang kau ikut kakak pulang. Kakak akan mengirimmu kembali keluar negeri, kau pulang saja dan tidak usah tinggal lagi denganku di sini!""Air gak mau! Air gak mau pulang!"Biru menyeret lengan Air dengan keras, pria yang tengah dipengaruhi kemarahan itu tidak peduli tangisan dan teriakan Air. Begitu juga dengan suara sang istri yang mencegahnya berbuat kasar."Lepas. Air gak mau pulang kalau kak Biru saja gak percaya sama kayak mereka di sini!"Bara yang hanya bisa diam tidak mampu berbuat banyak, dia justru tersenyum puas melihat drama keluarga itu, tidak ada belas kasihan lagi untuknya."Sekarang kau rasakan apa yang aku rasakan tadi." cicitnya pelan dengan wajah sulit diartikan.Bukan tidak kasihan, namun Bara tidak ingin terlibat lagi apa apa dengan gadis kecil yang bahkan tidak dia kenal sampai ucapan Air mengagetkannya."Ya ... Semua yang kalian duga itu bener, aku dan dia ... Kami melakukan hal yang kalian dan kak Biru tuduhkan. Kami memang melakukannya!""Air!!" Teriak Biru.Plak!Biru melayangkan tamparan keras pada adik satu satunya itu, dia semakin marah karena keterus terangan Air."Lancang sekali. Apa kau kesetanan sampai melakukan hal itu. Hah? Apa kau mau membuat Mommy dan Daddy malu?" Biru marah, jemarinya mengepal kuat dengan urat urat yang kini menegang keras.Tatapan matanya kini beralih pada Bara yang terhenyak kaget, dia tidak menyangka jika Air bicara seperti itu."Dan kau!" tunjuk Biru, "Kau manusia biadab!"Dengan satu helaan nafas, Biru menghampirinya dan langsung menerjangnya, dia memukul Bara hingga berkali kali. Entah berapa kali Bara mendapatkankan hadiah pukulan dari pria itu, yang jelas Bara tidak di beri kesempatan membalas atau hanya sekedar bicara.Air tidak kuasa lagi menahan kecewa karena sang kakak yang sama sekali tidak percaya pada ucapannya, terlebih ia justru membuat hatinya terluka."Kak Biru. Lepasin dia! Walau bagaimanapun dia sekarang suami Air. Kak Biru gak berhak marah sama dia! Dan aku gak mau pulang!" ucapnya tanpa fikir panjang, terlalu kecewa pada situasi yang merugikannya itu.Tubuh Biru berhenti begitu saja, bak terpaku dengan sendirinya pada lantai yang dia pijak. Dia menatap ke arah Air yang lebih memilih pria lain dibanding dirinya yang sudah jelas kakaknya sendiri. Gadis kecil yang kerap membuat hari harinya berwarna kini telah berubah."Air?" lirihnya.Air sudah tidak peduli pada Biru, dia menarik lengan Bara dan membantunya bangun dengan menahan air mata yang semakin bergelayut dimatanya."Ayo kita pergi dari sini!""Kak Biru gak perlu ngurus aku lagi. Aku akan pergi dan aku gak akan pulang!" sentak Air marah, dengan tangan melingkar dilengan Bara."Oh ... Silahkan kalau kau bisa hidup sendirian Air, kau ini sudah sulit di atur. Pantas saja kau mau dengan pria macam dia!" tukas Biru kehilangan kendali.Air menatapnya nanar, wajahnya sendu menatap kakak satu satunya itu dengan ucapan tajamnya. Dia merasa bukan seperti kakaknya lagi.Sampai Biru akhirnya melangkahkan kedua kakinya keluar dari sana dengan penuh emosi, dia meninggalkan Air dan juga Dara sang istri yang merasa saatnya ia ikut terlibat langsung. Wanita pemilik mata teduh itu mendekati Air dan menenangkannya. Berharap dapat membujuk adik iparnya itu untuk ikut dengan mereka."Air ... gak usah dengarkan kakakmu. Dia hanya emosi sesaat saja. Kak Dara akan bicara nanti dan dia pasti akan mendengarkan penjelasanmu yang sebenarnya karena Kakak yakin kamu gak akan berbuat kayak gini."Air tidak bergeming, namun sorot matanya terlihat sedih da
"Sudah aku bilang jangan memanggilku dengan sebutan itu!""Ya itu karena umur kita udah pasti beda jauh, memangnya mau disebut apa?" Air memejamkan kedua matanya. Bara mendengus, menatapnya sekilas lalu membuang wajah kearah lain. Kesal, marah, dan sudah pasti kaget bercampur jadi satu. Tapi lagi lagi rasa iba yang mengungguli semuanya."Astaga ... Bagaimana kalau orang orang tahu, atau berita ini menjadi viral. Mau ku taruh dimana wajahku ini! Arrrghh ...! Ini semua gara gara Kamu!" Air sudah tidak peduli lagi dengan semua perkataan Bara yang menyudutkan dan menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Dia hanya diam saja memperhatikan ruas jalan dengan fikiran yang melanglang buana kemana mana. Sementara Bara harus memutar otaknya, kemana ia akan membawa Air. Sampai akhirnya ia memutuskan membawanya ketempat yang dirasa paling aman untuk sementara waktu.Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat asri, nuansa warna putih mendominasi dinding dan tamanan yang hij
Hari hari terus berlalu, Air terpaksa harus tinggal di rumah kedua orang tua Bara yang sangat sederhana, semua fasilitas yang dia miliki di rumah Biru kini tidak bisa dia dapatkan lagi, makanan sederhana yang kerap Air paksakan masuk ke dalam mulut hanya untuk mengganjal perutnya saja. Namun Air tidak lah kehilangan akal bulusnya, dia kerap membeli online makanan yang dia sukai sekalipun ibunya Bara bersikap baik dengan memasak setiap hari.Sementara Bara tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya setelah hampir seminggu ia tinggal disana. Menurut keterangan sang Ibu, Bara memang memiliki apartemen sederhana yang letaknya lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Dan hal itu bagus, Air jadi tidak perlu bersusah payah mencari cari alasan ataupun kembali berdebat dengan Bara. Ia bisa hidup dengan damai dan layaknya hidupnya sebelum kejadian ini terjadi, walaupun sulit baginya untuk beradaptasi dengan keadaan yang jauh berbeda dari sebelumnya.Tidak ada barang barang mewah seperti dirumahny
Dibalik senyumannya, ada sesuatu yang sulit dia rasakan apa itu. Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, aroma maskulin yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam indera pendengar miliknya, entah karena iris mata yang kini menyoroti dengan tajam ataukah jarak mereka yang terlampau dekat saat ini, yang pasti Air merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Bukan saatnya untuk bercanda Air!" Cicitan kecil namun penuh penekanan itu membuatnya tersadar, gadis berusia 16 tahun itu menepiskan tangan Bara yang mencapit lengannya."Iya ... iya ... aku tahu! Udah sana pergi, nanti malah ada yang lihat Om disini." tukasnya dengan melangkah maju, "Masa iya digrebek dua kali! Ih ... serem." cicitnya lagi seraya bergidik.Bara mendengus kasar, entah berapa kali Bara melarangnya menyebutnya Om, jelas dia bukan pria matang maupun tua sekali. "Ih ... Sakit tahu Om!" Pekik Air yang tersentak kaget saat Bara mencengkram lengannya kembali hingga tubuhnya kembali menghadap ke arahnya
Hari hari terus berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi di hidup Air sebenarnya, sang kakak tidak juga menyusulnya sampai hari ini, kartu tanpa limit miliknya pun bisa digunakan dengan lancar, kemungkinan besar kedua orang tuanya masih belum tahu apa apa itu membuat Air tenang. Hanya Bara yang membuatnya merasa hidupnya terus terusik, bukan hanya di kelas tapi juga disegala kegiatan di luar sekolah yang menurutnya menyebalkan."Kenapa sih harus minta tugas kayak gini. Aku bolos tuh ada alesannya kali?" ketus Air saat lagi lagi harus memeriksakan tugas sekolah pada Bara dijam terakhir sebagai sangsi atas kebolosannya.Bara menyunggingkan bibir dengan tatapan yang tidak teralihkan pada semua jawaban di buku miliknya, tidak berniat menatap Air."Ayo cepatan. Bukannya gak mau ada orang yang curiga sama kita. Inget kan, jangan cari masalah?"Bara masih tidak menjawab, dia mencontreng satu persatu jawaban yang salah, entah sengaja dilakukan, yang pasti dia senang karena bisa membuat Air
"Apa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri dan membiarkan Haikal menyentuhmu seenaknya Air?" sentak Bara tiba tiba pada saat Air baru saja membuka pintu kantor.Baru juga melangkah masuk, ia dikagetkannya sampai tercengang. "Apa kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sendiri. Kamu itu masih kecil tapi sikapmu itu lebih buruk dari pada seorang pelacur Air!" sentaknya lagi.Gadis itu hampir tercekat salivanya sendiri, bagaimana bisa ada orang yang mengatainya seburuk itu. Bahkan hampir tidak percaya jika penilaian itu berasal dari Bara."Kenapa pak guru marah? Apa ada yang salah sama aku dan Haikal? Apa pelacur yang Bapak katakan itu sifatnya kayak aku? Apa aku tukang sosor? Apa aku ngelakuin hal senonoh di tempat umum?" Air berdecih, dengan cepat membuka pintu dan keluar.Namun dengan cepat Bara menahan pintu hingga dia tidak bisa keluar dari sana."Aku belum selesai bicara Air!""Bicara apa? Ini bukan pembicaraan, ini cuma penghinaan dan aku gak terima. Om fikir aku ini apa? Gak bisa n
Bara melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan ia tidak menunggu Air memakai seatbelt. Sampai gadis remaja 16 tahun itu duduk ketakutan, melihat hal itu membuat Bara berdecih, ancaman seorang gadis kecil sepertinya tidak mempan untuknya, Air tidak mungkin melakukan salah satunya. Nyatanya Air seorang gadis kecil yang penakut. Gadis itu hanya menggertaknya saja. "Kenapa. Kamu tidak punya keberanian melakukannya? Mau aku bantu?" katanya menohok."Gila ... kamu gila Om! Berhenti, aku gak mau ikut, aku mau turun!""Oh jadi kamu mau bunuh diri dengan cara melompat dari mobil?" Bara menarik tuas persneling lalu menginjak pedal gas sampai kecepatannya berada di batas maksimal. Air dengan cepat memasang seat belt ditubuhnya, ia ketakutan luar biasa, beberapa kali merubah posisi duduknya karena merasa tidak nyaman. "Kenapa. Kamu takut?" Bara berseringai kecil, melihat Air beberapa kali memejamkan matanya dengan bibir yang dia katupkan."Sebenernya Om mau apa?" lirihnya dengan kedua tangan y
"Jangan lakukan itu Om...!" lirihnya dengan terus mendorong tubuh Bara sekuat tenaga.Namun Bara tidak mau mendengarkan, pria itu sibuk meneliti wajah Air yang semakin diperhatikan semakin cantik. Dadanya bergemuruh hebat, mengingat gadis kecil yang kembali ketakutan itu adalah istrinya yang sah. Jadi, harusnya tidak akan ada masalah jika dia melakukan sesuatu dengannya bukan?"Om!" Panggil Air dengan takut. "Jangan Om, aku ... aku minta maaf!" Bara tersenyum kecil, menatap bibir ranum tanpa pewarna itu, sangat natural tapi begitu terlihat manis. Sebagai seorang pria dewasa hal itu membuat hasratnya menyeruak tiba-tiba."Please, Om!" ucapnya dengan menggelengkan kepalanya. "Jangan ...!"Air memejamkan kedua maniknya, saat wajah Bara semakin mendekat. Saking dekatnya, hembusan nafasnya terasa begitu panas menerpa wajahnya. Gadis itu semakin ketakutan kalau kalau Bara kehilangan akalnya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya. "Aku ... aku gak siap! Om gak bisa perlakuin istri Om kay