"Kak Biru gak perlu ngurus aku lagi. Aku akan pergi dan aku gak akan pulang!" sentak Air marah, dengan tangan melingkar dilengan Bara.
"Oh ... Silahkan kalau kau bisa hidup sendirian Air, kau ini sudah sulit di atur. Pantas saja kau mau dengan pria macam dia!" tukas Biru kehilangan kendali.Air menatapnya nanar, wajahnya sendu menatap kakak satu satunya itu dengan ucapan tajamnya. Dia merasa bukan seperti kakaknya lagi.Sampai Biru akhirnya melangkahkan kedua kakinya keluar dari sana dengan penuh emosi, dia meninggalkan Air dan juga Dara sang istri yang merasa saatnya ia ikut terlibat langsung. Wanita pemilik mata teduh itu mendekati Air dan menenangkannya. Berharap dapat membujuk adik iparnya itu untuk ikut dengan mereka."Air ... gak usah dengarkan kakakmu. Dia hanya emosi sesaat saja. Kak Dara akan bicara nanti dan dia pasti akan mendengarkan penjelasanmu yang sebenarnya karena Kakak yakin kamu gak akan berbuat kayak gini."Air tidak bergeming, namun sorot matanya terlihat sedih dan juga kecewa yang teramat dalam. "Ayo Air ... Kita bisa bicarakan semuanya di rumah. Hmmm?""Dara!"Teriakan Biru dari luar membuat Dara tersentak, ia tahu bagaimana suaminya jika tengah marah. Tapi semua tidak bisa diselesaikan hanya dengan kemarahan bukan."Dara!"Dara kembali menoleh pada Air setelah mendengar teriakan untuk kedua kalinya dari Biru."Kak Dara pergi aja..., Air emang gak akan pulang. Air gak butuh kak Biru lagi! Gitu juga Kak Biru yang emang gak percaya sama Air." Air tidak kuasa menahan lagi air matanya, namun sekuat tenaga dia menyusutnya. Dara akhirnya hanya bisa menghela nafas, dia tidak bisa berbuat banyak pada adik kakak yang sama sama keras kepalanya."Kak Dara percaya padamu Air. Jadi kita harus pergi! Kita bicara baik baik ya ... Kak Biru hanya meluapkan emosinya sesaatnya saja. Kak Dara akan bicara padanya nanti."Air menggelengkan kepalanya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata saat kata kata penenang itu tidak mempan untuknya. Ia kecewa pada Biru, alih alih percaya padanya, justru pria yang jadi tumpuan hidupnya di indonesia sama seperti warga yang menuduhnya berbuat hal yang tidak senonoh."Ayo Air!" bujuk Dara, masoh berharap keduanya bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepa dingin.Namun Air justru beringsut mendekat pada Bara, dia tidak punya pilihan selain mengikuti alur kehidupan yang membuatnya porak poranda. "Aku gak mau! Aku mau ikut dia.""Hentikan! Aku tidak mau terlibat makin jauh lagi denganmu!" Bara menepis tangan Air dengan cepat, walau kedua kakinya terasa lemas karena terus dihajar sejak tadi tapi dia tidak ingin kembali mendapatkan masalah hanya karena gadis kecil di depannya.Air menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, keputus asaan dan rasa kecewanya yang mendalam justru membuat Bara merasa bersalah dan juga kasihan."Pulanglah bersama kakakmu!" suara Bara melunak dengan sendirinya,"Dunia ini terlalu kejam untuk kita Om, semua orang gak percaya padamu apalagi aku. Apa Om fikir aku mau pulang dengan orang yang bahkan gak percaya sama sekali?" desisnya dengan sesekali menyusut matanya yang masih basah, dan Bara hanya terperangah saja mendengarnya."Kak Dara pulang aja, nanti kak Biru makin marah kalau kak Dara masih di sini!" ucapnya pada Dara dengan menatap ke arah lain.Entah keseberapa kalinya Dara menghela nafas kemudian membalikkan tubuhnya setelah gagal membujuknya.Air menghembuskan nafasnya yang semakin sesak terasa, kedua matanya menatap sendu Biru dan Dara yang berjalan masuk kedalam mobil. Bukan lagi rasa marah dan kecewa karena tidak ada kepercayaan yang didapatkannya. Kesedihan dan juga rasa yang sulit dia ungkapkan."Ayo pergi!" ajaknya pada Bara.Bara berdecak penuh frustasi, dia bisa melihat seperti apa gadis yang dia nikahi secara paksa itu. Melihat gadis itu masuk begitu saja ke dalam mobil miliknya tanpa ada rasa penyesalan bahkan rasa bersalah sedikitpun, namun entah kenapa ada perasaan iba akan gadis kecil itu hingga Bara menurut begitu saja tanpa protes dan segera menyusulnya."Ini benar benar gila!" ucap Bara saat menghempaskan punggungnya di belakang kemudi."Sudahlah. Terima saja takdir yang gak adil ini Om!" timpal Air dengan pandangan lurus ke depan, menatap mobil kakaknya yang melaju semakin jauh."Om am om ...! Dasar kamu ini! Kamu fikir hidup sesederhana ini? Aku hampir mati ditangan kakakmu dan hampir di telanjangi warga hanya karena menolongmu!" Bara menghempaskan kepalanya di jok mobil seraya memperlihatkan luka luka diwajahnya. Menyesal kemudian karena pilihannya sendiri. "Kalau saja aku tahu akan berakhir seperti ini, aku tidak akan mau menolongmu bahkan melewati jalanan ini!" lanjutnya lagi dengan dengusan kasar.Air mencebikkan bibirnya, "Sama ... Aku juga gak akan kesini kalau tahu bakal kayak gini! Mending puter jalan sepuluh kali juga gak apa apa!"***Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, seiring waktu yang terasa bergerak cepat bagi keduanya, tidak ada angin dan tidak ada hujan. Dua orang yang tidak saling mengenal kini adalah sepasang suami istri.Keheningan terasa kental di dalam kendaraan roda empat itu. Keduanya sama sama terdiam dan larut dalam fikirannya masing masing."Sial ... Aku tidak mungkin pulang seperti ini! Kamu punya teman atau saudara? Aku akan mengantarkanmu kesana!"Tiba tiba saja suara Bara mengagetkan Air, fikirannya berkecambuk hingga baru sadar akan kemana tujuannya setelah ini."Gak ada! Gak punya teman apalagi saudara! Dan kalau pun ada, aku gak mau pulang. Aku ikut sama Om aja!""Sudah aku bilang jangan memanggilku dengan sebutan itu!""Ya itu karena umur kita udah pasti beda jauh, memangnya mau disebut apa?" Air memejamkan kedua matanya. Bara mendengus, menatapnya sekilas lalu membuang wajah kearah lain. Kesal, marah, dan sudah pasti kaget bercampur jadi satu. Tapi lagi lagi rasa iba yang mengungguli semuanya."Astaga ... Bagaimana kalau orang orang tahu, atau berita ini menjadi viral. Mau ku taruh dimana wajahku ini! Arrrghh ...! Ini semua gara gara Kamu!" Air sudah tidak peduli lagi dengan semua perkataan Bara yang menyudutkan dan menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Dia hanya diam saja memperhatikan ruas jalan dengan fikiran yang melanglang buana kemana mana. Sementara Bara harus memutar otaknya, kemana ia akan membawa Air. Sampai akhirnya ia memutuskan membawanya ketempat yang dirasa paling aman untuk sementara waktu.Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat asri, nuansa warna putih mendominasi dinding dan tamanan yang hij
Hari hari terus berlalu, Air terpaksa harus tinggal di rumah kedua orang tua Bara yang sangat sederhana, semua fasilitas yang dia miliki di rumah Biru kini tidak bisa dia dapatkan lagi, makanan sederhana yang kerap Air paksakan masuk ke dalam mulut hanya untuk mengganjal perutnya saja. Namun Air tidak lah kehilangan akal bulusnya, dia kerap membeli online makanan yang dia sukai sekalipun ibunya Bara bersikap baik dengan memasak setiap hari.Sementara Bara tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya setelah hampir seminggu ia tinggal disana. Menurut keterangan sang Ibu, Bara memang memiliki apartemen sederhana yang letaknya lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Dan hal itu bagus, Air jadi tidak perlu bersusah payah mencari cari alasan ataupun kembali berdebat dengan Bara. Ia bisa hidup dengan damai dan layaknya hidupnya sebelum kejadian ini terjadi, walaupun sulit baginya untuk beradaptasi dengan keadaan yang jauh berbeda dari sebelumnya.Tidak ada barang barang mewah seperti dirumahny
Dibalik senyumannya, ada sesuatu yang sulit dia rasakan apa itu. Detak jantungnya lebih cepat dari biasanya, aroma maskulin yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam indera pendengar miliknya, entah karena iris mata yang kini menyoroti dengan tajam ataukah jarak mereka yang terlampau dekat saat ini, yang pasti Air merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Bukan saatnya untuk bercanda Air!" Cicitan kecil namun penuh penekanan itu membuatnya tersadar, gadis berusia 16 tahun itu menepiskan tangan Bara yang mencapit lengannya."Iya ... iya ... aku tahu! Udah sana pergi, nanti malah ada yang lihat Om disini." tukasnya dengan melangkah maju, "Masa iya digrebek dua kali! Ih ... serem." cicitnya lagi seraya bergidik.Bara mendengus kasar, entah berapa kali Bara melarangnya menyebutnya Om, jelas dia bukan pria matang maupun tua sekali. "Ih ... Sakit tahu Om!" Pekik Air yang tersentak kaget saat Bara mencengkram lengannya kembali hingga tubuhnya kembali menghadap ke arahnya
Hari hari terus berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi di hidup Air sebenarnya, sang kakak tidak juga menyusulnya sampai hari ini, kartu tanpa limit miliknya pun bisa digunakan dengan lancar, kemungkinan besar kedua orang tuanya masih belum tahu apa apa itu membuat Air tenang. Hanya Bara yang membuatnya merasa hidupnya terus terusik, bukan hanya di kelas tapi juga disegala kegiatan di luar sekolah yang menurutnya menyebalkan."Kenapa sih harus minta tugas kayak gini. Aku bolos tuh ada alesannya kali?" ketus Air saat lagi lagi harus memeriksakan tugas sekolah pada Bara dijam terakhir sebagai sangsi atas kebolosannya.Bara menyunggingkan bibir dengan tatapan yang tidak teralihkan pada semua jawaban di buku miliknya, tidak berniat menatap Air."Ayo cepatan. Bukannya gak mau ada orang yang curiga sama kita. Inget kan, jangan cari masalah?"Bara masih tidak menjawab, dia mencontreng satu persatu jawaban yang salah, entah sengaja dilakukan, yang pasti dia senang karena bisa membuat Air
"Apa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri dan membiarkan Haikal menyentuhmu seenaknya Air?" sentak Bara tiba tiba pada saat Air baru saja membuka pintu kantor.Baru juga melangkah masuk, ia dikagetkannya sampai tercengang. "Apa kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sendiri. Kamu itu masih kecil tapi sikapmu itu lebih buruk dari pada seorang pelacur Air!" sentaknya lagi.Gadis itu hampir tercekat salivanya sendiri, bagaimana bisa ada orang yang mengatainya seburuk itu. Bahkan hampir tidak percaya jika penilaian itu berasal dari Bara."Kenapa pak guru marah? Apa ada yang salah sama aku dan Haikal? Apa pelacur yang Bapak katakan itu sifatnya kayak aku? Apa aku tukang sosor? Apa aku ngelakuin hal senonoh di tempat umum?" Air berdecih, dengan cepat membuka pintu dan keluar.Namun dengan cepat Bara menahan pintu hingga dia tidak bisa keluar dari sana."Aku belum selesai bicara Air!""Bicara apa? Ini bukan pembicaraan, ini cuma penghinaan dan aku gak terima. Om fikir aku ini apa? Gak bisa n
Bara melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan ia tidak menunggu Air memakai seatbelt. Sampai gadis remaja 16 tahun itu duduk ketakutan, melihat hal itu membuat Bara berdecih, ancaman seorang gadis kecil sepertinya tidak mempan untuknya, Air tidak mungkin melakukan salah satunya. Nyatanya Air seorang gadis kecil yang penakut. Gadis itu hanya menggertaknya saja. "Kenapa. Kamu tidak punya keberanian melakukannya? Mau aku bantu?" katanya menohok."Gila ... kamu gila Om! Berhenti, aku gak mau ikut, aku mau turun!""Oh jadi kamu mau bunuh diri dengan cara melompat dari mobil?" Bara menarik tuas persneling lalu menginjak pedal gas sampai kecepatannya berada di batas maksimal. Air dengan cepat memasang seat belt ditubuhnya, ia ketakutan luar biasa, beberapa kali merubah posisi duduknya karena merasa tidak nyaman. "Kenapa. Kamu takut?" Bara berseringai kecil, melihat Air beberapa kali memejamkan matanya dengan bibir yang dia katupkan."Sebenernya Om mau apa?" lirihnya dengan kedua tangan y
"Jangan lakukan itu Om...!" lirihnya dengan terus mendorong tubuh Bara sekuat tenaga.Namun Bara tidak mau mendengarkan, pria itu sibuk meneliti wajah Air yang semakin diperhatikan semakin cantik. Dadanya bergemuruh hebat, mengingat gadis kecil yang kembali ketakutan itu adalah istrinya yang sah. Jadi, harusnya tidak akan ada masalah jika dia melakukan sesuatu dengannya bukan?"Om!" Panggil Air dengan takut. "Jangan Om, aku ... aku minta maaf!" Bara tersenyum kecil, menatap bibir ranum tanpa pewarna itu, sangat natural tapi begitu terlihat manis. Sebagai seorang pria dewasa hal itu membuat hasratnya menyeruak tiba-tiba."Please, Om!" ucapnya dengan menggelengkan kepalanya. "Jangan ...!"Air memejamkan kedua maniknya, saat wajah Bara semakin mendekat. Saking dekatnya, hembusan nafasnya terasa begitu panas menerpa wajahnya. Gadis itu semakin ketakutan kalau kalau Bara kehilangan akalnya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya. "Aku ... aku gak siap! Om gak bisa perlakuin istri Om kay
Keduanya kembali masuk ke dalam gedung apartemen, walaupun Air berjalan dengan ragu- ragu tapi ia tidak punya pilihan lain. Gadis itu terus mengikuti dari belakang seraya mencari cara agar Bara tidak memiliki kesempatan menciumnya seperti tadi. Bayangan Bara dengan gadis bernama Seila terus menari nari di benaknya."Hiih. Enak banget jadi dia, dua bibir di sosornya dalam sehari ini," gumamnya bergidik dengan terus memukul udara tepat dibelakang kepala Bara.Sementara pria tinggi didepannya berjalan dengan begitu santai, bahkan kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana, dan sesekali melirik ke arah belakang guna memastikan Air tetap ada, sudut bibirnya terangkat tipis saat melihat gadis itu akhirnya menurutinya sekarang, ya walaupun harus dengan sedikit drama."Baiklah. Hm ... kamarmu....?" kata Bara saat mereka masuk, pria itu hampir lupa jika apartemennya hanya memiliki satu kamar saja."Terus ini apa?" Air melangkah menuju sebuah pintu dan langsung membuka pintu berwarna coklat