“Kamu mau ke mana?” tanya Yudha.
“Saya mau pergi, karena di sini bukan tempat saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di sini semalam,” ucap Alya, gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.
“Kamu yakin mau pergi dari sini? Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu masih punya tempat untuk pulang? Oh, iya, Pak Pandu dan istrinya pasti sudah menunggu kedatanganmu. Silahkan kalau kamu mau kembali ke rumah itu lagi. Kita lihat saja nanti,” kata Yudha.
Alya terdiam sejenak di tempatnya, tetapi ucapan Yudha tetap saja tidak merubah keputusannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Alya tidak mau menikah dengan pria asing yang baru saja dia kenal. Bahkan, ia tidak tahu seperti apa rupa pria itu karena wajahnya selalu ditutupi.
“Anda tenang saja, saya sudah terbiasa menerima perlakuan buruk mereka.” Tanpa menunggu lama, Alya segera melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu keluar dari apartemen mewah itu.
“Reno, sudah tahu ‘kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Yudha pada asisten pribadinya.
“Iya, Pak Bos, tapi apa harus sekarang? Saya belum sarapan ini,” ujar Reno dengan wajah memelas.
“Kamu lebih sayang sama sarapan ini, atau pekerjaan kamu?” tanya Yudha lagi, kali ini nada bicaranya terdengar sangat dingin. Sehingga membuat sang asisten langsung bergegas melaksanakan tugasnya.
“Yaelah, Pak Bos. Saya baru aja mau menikmati makanan enak,udah disuruh pergi. Nasib-nasib,” gumam Reno sambil meraih kunci mobil yang ada di atas meja makan.
Alya berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju lift, sesekali tampak gadis itu menyeka air matanya.
Reno berusaha mengejar gadis itu, tetapi sayangnya ia sudah kehilangan jejak. Karena saat ini Alya sudah berada di dalam taksi menuju rumah orang tuanya.
Meskipun sudah tahu resiko apa yang harus ia terima jika kembali ke rumah itu lagi, tetapi saat ini tidak ada tempat lain yang bisa didatanginya selain rumah itu. Sahabat yang ia anggap seperti malaikat pun sudah mengkhianatinya.
Di tempat lain. Seorang wanita muda yang masih menggunakan pakaian sangat minim, tampak seperti kurang bahan, terlihat sangat panik setelah mendapat kabar dari orang yang semalam memberikannya uang.
Ia juga penasaran siapa orang yang sudah membantu Alya, sehingga gadis itu bisa terbebas dari pria tua bangka yang semalam berada di kamar hotel bersamanya.
Meskipun pria yang sudah membayarnya tidak meminta uangnya kembali, tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa tenang dan terus kepikiran dengan Alya.
“Alya dibawa pergi oleh manajer hotel? Rasanya tidak mungkin, tapi bagaimana kalau itu memang benar? Ah … kenapa jadi seperti ini, sih? Kenapa dia selalu beruntung?” erang gadis itu sembari melempar bantal ke sembarang arah.
Merasa tidak tenang setelah mendapat kabar tentang Alya, wanita itu segera bergegas turun dari tempat tidur sambil menyambar tasnya yang ada di atas nakas. Ia harus pergi menemui seseorang dan menceritakan tentang kejadian tadi malam.
“Aku harus memberitahu mereka soal ini,” ucap wanita itu seraya keluar dari rumah kontrakan yang selama ini ditempatinya.
Waktu sudah menunjuk di angka tujuh pagi saat Alya sampai di depan gerbang rumah orang tuanya. Mata gadis itu menyipit begitu ia melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di halaman rumah tersebut.
“Mona,” ucap Alya. “Kebetulan banget dia di sini, aku harus bicara dengannya soal semalam.” Dengan terburu-buru, Alya segera keluar dari taksi setelah membayar ongkosnya.
Melihat pintu rumah yang sudah terbuka, Alya langsung masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Karena ia sudah tidak sabar ingin mendengar penjelasan dari sang paman dan juga sahabat yang semalam sudah menjebaknya.
Sesampainya di ruang tamu, langkah Alya langsung terhenti saat ia tak sengaja mendengar gelak tawa seseorang yang berasal dari ruang tengah.
Gadis itu pun segera bersembunyi di balik tembok yang membatasi antara ruang tamu dan ruang tengah. Ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan oleh paman, bibi dan juga sahabatnya.
“Om, Tante, sekarang bagaimana? Apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau manajer hotel yang semalam menolong Alya, jatuh hati padanya? Secara, Alya ‘kan, cantik. Aku nggak mau itu sampai terjadi,” ujar Mona sambil merengek pada Ratih.
“Kamu tenang saja, Mona. Tante pastikan bahwa itu tidak akan terjadi, karena kamu satu-satunya keponakan yang paling Tante sayang.” Ratih tersenyum sambil mengelus lengan wanita muda yang ia sebut sebagai keponakan.
“Apa …? Jadi, Mona keponakannya Tante Ratih?” Alya terperangah setelah mengetahui satu kebenaran tentang sahabatnya.
Sekarang ia jadi mengerti kenapa selama ini paman dan bibinya selalu bersikap baik pada sahabatnya itu, ternyata ini alasan mereka. Alya juga baru tahu jika mereka bertiga bekerja sama untuk menghancurkan dirinya.
Merasa sudah tidak sanggup mendengar apa yang dibicarakan oleh tiga orang yang berada di ruang tengah, Alya akhirnya memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Berjalan dengan sangat hati-hati agar ketiga orang tersebut tidak menyadari kehadirannya.
Sesampainya di luar rumah, Alya berlari menuju jalan raya, mengabaikan penjaga rumah yang terus memanggilnya. Gadis itu merasa syok dan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Banyak hal yang selama ini dirahasiakan oleh paman dan bibinya, termasuk soal kematian kedua orang tuanya.
“Akh … kenapa kalian jahat banget sama aku? Terutama kamu, Mona. Aku udah percaya sama kamu, aku juga udah anggap kamu seperti saudara, tapi kenapa kamu tega banget sama aku? Kenapa …?” erang Alya sambil menatap foto sang sahabat di layar ponselnya.
Sopir taksi pun kaget mendengar teriakan penumpangnya, tetapi ia tidak ingin ikut campur dan lebih memilih membiarkannya. Setelah sampai di tempat tujuan, sang sopir menoleh ke kursi belakang dan mendapati penumpangnya sudah tertidur.
“Nona, kita sudah sampai. Nona,” panggil sang sopir sambil menyembunyikan klakson mobil.
Alya terperanjat dan segera membuka matanya, kemudian bergegas keluar saat melihat kendaraan itu sudah berhenti sesuai dengan alamat yang ia berikan.
“Terima kasih, Pak. Ambil aja kembaliannya,” ujar Alya sambil menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna merah kepada sopir taksi.
“Wah! Terima kasih, Nona.” Mata sang sopir langsung berbinar setelah melihat nominal uang yang ada di tangannya.
Awalnya Alya merasa ragu untuk kembali ke tempat itu, tetapi saat ini ia sudah tidak punya pilihan lain. Persetan dengan harga diri, yang terpenting ia bisa membalaskan rasa sakit hati atas pengkhianatan yang dilakukan oleh anggota keluarga dan juga sahabatnya.
Alya tampak mondar-mandir sambil menggigit ujung jarinya di depan salah satu unit apartemen mewah milik seseorang yang baru dikenalnya. Tangannya terasa sangat berat untuk menekan tombol yang berada di samping pintu.
Sementara sang pemilik apartemen itu sudah melihat kedatangan Alya, ia pun tersenyum dan segera beranjak menuju pintu.
Alya kaget melihat seseorang membukakan pintu. “Anda,” ucapnya dengan gagu.
“Kamu, kok di sini? Kenapa? Ada barang yang ketinggalan?” tanya Yudha.
Alya menggeleng pelan, kemudian ia berlutut di hadapan Yudha. “Saya bersedia menerima syarat dari Anda. Asalkan, Anda mau membantu saya. Ayo, kita menikah!” ucapnya dengan mata terpejam.
“Apa …?” Kedua bola mata Yudha membulat sempurna setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Alya.
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Merasa tidak tenang dengan kepergian Alya yang terburu-buru, Pak Didi pun bergegas keluar dari ruangannya untuk menyusul wanita itu. Semua karyawan Laluna Enterprise merasa penasaran apa yang terjadi antara direktur perusahaan dengan karyawan baru itu, tetapi mereka tidak punya keberanian hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Bahkan, termasuk Amanda selaku orang yang cukup berpengaruh di perusahaan itu. Ia sendiri hanya bisa diam saat melihat Alya keluar dari ruangan direktur dan bergegas pergi meninggalkan perusahaan tanpa berbicara apapun padanya. “Bu Amanda, apa yang terjadi? Kenapa anak baru itu pergi terburu-buru?” salah satu karyawan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah memastikan direktur perusahaan sudah tidak bisa mendengarnya. “Saya juga tidak tahu,” jawab Amanda sembari berlalu meninggalkan salah satu rekan kerjanya. Karena ia memang tidak tahu menahu apa yang terjadi pada Alya dan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sementara Alya sampai di parkir
“Sekarang Mama sudah tenang setelah mengetahui latar belakang istrimu, tapi Mama belum puas sebelum kamu mengumumkan ke publik tentang pernikahanmu. Kapan kamu akan mengadakan konferensi pers dan memperkenalkan istri kamu kepada semua orang?” tanya Nyonya Indriana. “Jangan, Ma. Yudha belum bisa melakukan itu, belum untuk sekarang.” Yudha langsung menolak permintaan ibunya. “Kenapa, Yudha? Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? ” tanya Tuan Mahendra sambil membuka kacamatanya. “Iya, tapi masalahnya tidak sesimpel itu, Pa. Sebelum menikah, kami sudah membuat kesepakatan. Alya tidak ingin ada yang tahu kalau dia sudah menikah sebelum dia berhasil mengambil alih perusahaan keluarganya yang saat ini sudah dikuasai oleh Pak Pandu,” ujar Yudha. “Oh, iya. Pandu itu adik sepupunya Regina, ‘kan?” tanya Nyonya Indriana. “Iya, Ma. Dia juga yang merupakan dalang dibalik kecelakaan yang dialami Om Frans bersama Nyonya Regina,” ungkap Yudha. Sontak saja apa yang disampaikannya membuat Tuan Mah
Tentu saja Tuan Mahendra akan kaget ketika ia mendengar nama Frans Atmadja. Karena orang tersebut dulunya sangat berjasa bagi keluarga Kusuma, terutama bagi Yudha. “Iya, Pa. Alya adalah putri beliau. Papa tentu belum lupa apa peran Om Frans Atmadja dalam keluarga kita. Bukan hanya perusahaan keluarga Kusuma yang beliau selamatkan, tapi nyawa Yudha juga. Seandainya tidak ada Om Frans pada waktu itu, mungkin saat ini Yudha sudah tidak ada di sini bersama Papa,” tutur Yudha dengan sendu. “Jangan bicara seperti itu, Yudha. Papa tidak mau mengingat kejadian buruk itu lagi,” tandas Tuan Mahendra. Darahnya mendidih tatkala mengingat apa yang pernah dialami putranya beberapa tahun silam. “Om Frans mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yudha waktu itu, Pa. Tapi di saat dia meninggal, Yudha malah tidak bisa mengantar beliau ke peristirahatan terakhir.” Yudha meraup wajahnya dengan gusar, ia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri acara pemakaman almarhum Frans Atmadja. “Apa kam
“Akh!” Yudha menjerit tertahan saat sikut Alya tak sengaja menghantam benda pusakanya. Secepat kilat Alya bangkit dari pangkuan pria itu. “Om apa-apaan, sih?” gerutunya sambil menatap Yudha dengan raut wajah kesal. “Maaf,” ucap Yudha. Ia tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. “Sudahlah. Saya mau ke kamar,” ucap Alya, tapi langkahnya terhenti lagi saat Yudha kembali bersuara. “Tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” kata Yudha. Alya memutar bola matanya. “Apa lagi yang mau Om bicarakan?” tanyanya. Belum sempat Yudha menjawab pertanyaan Alya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Dilihatnya nama sang ayah yang sedang menghubunginya, maka dengan sigap pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja lalu menjawab panggilan dari ayahnya. “Iya, Pa.” Suara Yudha terdengar begitu lembut saat bicara dengan orang tuanya. “Yudha, Papa perlu bicara sama kamu. Papa tunggu di rumah malam ini,” kata Tuan Mahendra. “Harus malam ini, Pa? Apa nggak bisa lain waktu?” tanya Yudha sa