“Pak Bos, Nona Alya. Saya permisi ke kamar mandi dulu, ya. Soalnya saya belum cuci muka,” ujar Reno, ia juga sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil.
“Loh, Mas Reno tahu nama saya dari mana? Perasaan, saya belum sempat memperkenalkan diri dari semalam.” Alya cukup kaget saat mendengar Reno menyebut namanya.
“Oh, iya. Soal itu, saya memang sudah tahu. Sudah ya, saya sudah nggak tahan ini.” Reno berbicara sambil mengernyit karena menahan rasa ingin buang air kecil.
Alya masih penasaran dengan siapa sebenarnya orang-orang yang sudah menolongnya, apalagi melihat pria di hadapannya yang terus saja menggunakan penutup wajahnya.
“Oh, ya. Siapa nama kamu?” tanya Yudha.
Alya tersenyum kecut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yudha. “Saya tidak yakin kalau Anda belum mengetahui nama saya,” jawabnya. “Mas Reno selaku bawahan Anda saja sudah tahu siapa nama saya, rasanya sangat tidak mungkin jika Anda belum mengetahuinya.”
Yudha mencebik bibirnya di dalam masker, ia lupa bahwa asisten pribadinya baru saja memanggil nama gadis itu di hadapannya. Baru kali ini seorang Yudha Kusuma kurang teliti dalam penyamaran.
“Oke, baiklah. Saya memang sudah tahu siapa nama kamu,” ujar Yudha berterus terang. Karena sudah tidak ada yang perlu ia tutup-tutupi lagi dari gadis itu.
Alya menjatuhkan sendok yang ada di tangannya setelah mendengar pengakuan Yudha. “Anda sudah tahu nama saya? Tapi bagaimana mungkin? Sejak kapan?” tanyanya tak percaya.
“Ya, saya bahkan sudah lama mengetahui siapa kamu dan juga latar belakangmu. Kamu putrinya almarhum Tuan Frans Atmadja, ‘kan? Alya Namira Atmadja,” kata Yudha dengan tegas dan lantang ia menyebut nama lengkap Alya.
“Ka-kamu sudah tahu soal itu juga? Jangan-jangan, kamu adalah salah satu saingan bisnis almarhum Papa saya. Iya, ‘kan?” tuduh Alya, tetapi Yudha langsung menggeleng cepat.
“Bukan. Kamu salah kalau mengira saya seperti itu,” tangkas Yudha. Karena dia memang bukan saingan bisnis almarhum Tuan Frans Atmadja.
“Lalu, dari mana Anda bisa mengetahui kalau saya adalah putri kandung Pak Frans Atmadja? Saat Papa dan Mama saya masih hidup, mereka tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa saya adalah putri mereka,” ujar Alya.
“Almarhum sendiri yang memberitahu saya,” jawab Yudha. “Saya adalah rekan bisnis beliau, bukan musuhnya.”
“Papa sendiri yang cerita soal aku padanya? Sebenarnya, sedekat apa hubungan Papa sama orang ini? Kenapa Papa sampai memberitahu dia?” Alya bergumam pelan sambil menatap Yudha.
Ia semakin penasaran siapa sebenarnya sosok Yudha Kusuma. Karena sejak kedua orang tuanya meninggal, saat itu pula kehidupan Alya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Gadis malang itu harus menjadi pelayan di rumahnya sendiri.
Alya sudah tidak tahu menahu lagi soal dunia luar, ia hanya diperbolehkan datang ke sekolah dan pergi ke pasar untuk belanja bulanan, itu pun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Paman dan bibinya tidak ingin Alya terlalu banyak berinteraksi dengan orang-orang luar, mereka takut identitas Alya yang merupakan putri seorang pengusaha ternama akan terungkap.
Saat Tuan Frans dan istrinya masih hidup, mereka memang tidak pernah memperkenalkan putri mereka pada rekan-rekan bisnisnya.
Demi melindungi sang putri dari para musuhnya, Tuan Frans dan istrinya terpaksa menyembunyikan buah hati mereka. Orang-orang memang mengetahui jika Tuan Frans mempunyai seorang putri, tapi tak ada satu orang pun yang tahu seperti apa wajah anak itu.
Sampai akhirnya pasangan suami istri itu meninggal, identitas putri mereka tetap tidak diketahui oleh siapa pun kecuali anggota keluarga Atmadja.
“Kamu bicara apa? Jangan berbisik-bisik, katakan saja. Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang keluarga Kusuma?” tanya Yudha.
“Saya sering dengar waktu saya masih SMP dulu, tetapi saya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui tentang mereka lebih jauh. Terlebih lagi setelah kedua orang tua saya meninggal, kehidupan saya berbanding terbalik dengan sebelumnya,” tutur Alya dengan sendu, matanya pun sudah berkaca-kaca.
“Tidak perlu kamu ceritakan apa yang terjadi padamu, karena saya sudah mengetahui semuanya. Saya bisa membantu jika kamu tidak keberatan,” kata Yudha sambil menuangkan kuah sup ke dalam piringnya.
“Membantu saya? Soal apa?” tanya Alya balik.
“Apa saja. Termasuk mengambil kembali seluruh harta kekayaan keluarga Atmadja,” ujar Yudha.
Seperti mendapat angin surga, Alya terlihat sangat senang mendengar apa yang dikatakan Yudha.
“Anda serius mau membantu saya? Gimana caranya? Karena sekarang, semua harta peninggalan almarhum Papa dan Mama saya sudah berpindah tangan menjadi milik Om Pandu. Rumah, villa, mobil dan juga perusahaan, semuanya sudah mereka kuasai,” papar Alya sambil menundukkan wajahnya.
“Itu hanya perkara kecil bagi saya. Semua orang juga tahu bahwa Pak Pandu dan istrinya sama sekali tidak berhak atas semua kekayaan yang mereka saat ini,” ujar Yudha.
“Mereka mengambilnya dengan paksa, seandainya saya tidak menuruti keinginan mereka pada waktu itu, mungkin saat ini saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Saya hanya ingin menyelamatkan perusahaan Papa, karena perusahaan itu dibangun oleh almarhum Kakek saya. Om Pandu seharusnya memang tidak punya hak sama sekali, karena dia bukan saudara Papa.”
Alya menyeka kasar air matanya. Ia tidak ingin menangis dan memperlihatkan kelemahannya di depan orang yang masih asing baginya. Namun, butiran kristal itu menetes dengan sendirinya tanpa bisa ia cegah.
“Saya bisa membantu kamu, tetapi dengan satu syarat.” Yudha tampak menghela napas panjang setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Syarat? Apa syaratnya?” tanya Alya penasaran.
“Menikahlah dengan saya,” jawab Yudha dengan cepat dan tegas.
“Apa …? Me-menikah?” Wajah Alya langsung berubah pucat setelah mendengar syarat yang diajukan oleh Yudha.
“Pak Bos bicara apa? Saya tidak salah dengar, ‘kan?” tanya Reno yang baru saja kembali ke dapur. Pria itu pun sudah berpakaian rapi dan siap untuk segera pergi ke kantor.
Tidak hanya Alya yang kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Yudha. Selaku asisten pribadi, Reno juga sangat kaget dan merasa tak percaya.
“Tolong jangan bercanda, ya, Tuan. Saya harus menikah dengan Anda? Yang benar saja? Anda bahkan lebih pantas menjadi ayah saya, saya juga belum kepikiran untuk menikah. Sekarang saya baru mengerti apa tujuan kalian menolong saya,” ujar Alya sambil berdiri dari tempat duduknya. “Saya ucapkan terima kasih atas niat baik Anda yang ingin membantu saya, tapi syaratnya tidak bisa saya penuhi. Saya permisi,” ucapnya seraya berlalu pergi meninggalkan meja makan.
“Nona Alya,” panggil Reno, berusaha mencegah Alya, tetapi Yudha mengerjapkan mata seraya menggelengkan kepalanya, sebagai isyarat agar membiarkan gadis itu pergi sesuai keinginannya.
Alya masuk ke kamar hanya untuk mengambil tasnya, kemudian gadis itu segera keluar dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang.
“Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. “Saya mau pergi, karena di sini bukan tempat saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di sini semalam,” ucap Alya, gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. “Kamu yakin mau pergi dari sini? Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu masih punya tempat untuk pulang? Oh, iya, Pak Pandu dan istrinya pasti sudah menunggu kedatanganmu. Silahkan kalau kamu mau kembali ke rumah itu lagi. Kita lihat saja nanti,” kata Yudha. Alya terdiam sejenak di tempatnya, tetapi ucapan Yudha tetap saja tidak merubah keputusannya untuk segera pergi dari tempat itu. Alya tidak mau menikah dengan pria asing yang baru saja dia kenal. Bahkan, ia tidak tahu seperti apa rupa pria itu karena wajahnya selalu ditutupi. “Anda tenang saja, saya sudah terbiasa menerima perlakuan buruk mereka.” Tanpa menunggu lama, Alya segera melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu keluar dari apartemen mewah itu. “Reno, sudah tahu ‘kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Yudha
“Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya. “Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya. Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar uca
“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya. Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu. Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik. “Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara. “Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya. “Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis. Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama se
Ibu dan anak itu pun menoleh ke arah sumber suara. Yudha langsung tersenyum melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tidak ia kunjungi. “Papa.” Yudha segera menghampiri sang ayah sambil merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk memeluk ayahnya. Namun, langsung ditepis oleh Tuan Mahendra Kusuma. “Hei, Anak Muda. Kamu jangan coba-coba mengalihkan perhatian Papa. Apa yang barusan Papa dengar memang benar adanya, atau itu hanya trik kamu untuk menolak perjodohan?” tanya seorang pria lansia yang masih terlihat sehat dan bugar di usianya. “Pa, kali ini Yudha serius. Orangnya juga sudah ada di sini,” jawab Yudha sembari menoleh ke arah ruang tamu. Di sana tampak Reno bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna peach, yang membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik dan anggun. “Tuan, Nyonya.” Reno membungkukkan badan di hadapan kedua orang tua atasannya. “Halo!” Alya ikut membungkukkan badan, menghormati pasangan suami istri yang terus memp
“Mama!” Yudha berteriak tatkala melihat ibunya terkulai lemas. Beruntung Tuan Mahendra dengan sigap menahan tubuh istrinya.Nyonya Indriana sampai jatuh pingsan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Yudha. Menikah dalam waktu dua hari. Apa itu masuk akal? Pernikahan seperti apa yang ingin dijalani oleh seorang pewaris Kusuma Group dalam waktu yang sangat singkat seperti itu. “Astaga, Mama … baru dengar berita seperti itu saja Mama sudah pingsan,” ucap Tuan Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Nyonya Indriana hanya berpura-pura pingsan karena ia ingin melihat reaksi Yudha. Beliau berharap putranya itu mau merubah keputusan dan membatalkan rencana pernikahannya dengan gadis muda yang lebih pantas menjadi putrinya. Namun, sayangnya niat dan tekad Yudha sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memberi restu meskipun hatinya belum bisa menerima kehadiran Alya dalam keluarga Kusuma. Tuan Mahendra juga tidak ak
“Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?” tanya Alya penasaran. “Bukan siapa-siapa. Ini hanya telepon dari orang yang nggak penting,” jawab Yudha sembari mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jasnya. Alya mencebik bibir seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yudha. Jika memang tidak ada apa-apa kenapa ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kaget begitu ia mendapat panggilan telepon dari seseorang. Namun, Alya tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati sebelum melangsungkan pernikahan, keduanya harus menghargai privasi masing-masing. Di dalam surat perjanjian itu tertulis: Setelah menikah mereka akan menjalani kehidupan layaknya sebagai pasangan suami istri pada umumnya. Namun, itu mereka lakukan hanya di depan keluarga Yudha. Mereka berdua memang tinggal satu atap dan
Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Alya tiba-tiba berteriak. Terutama Yudha, dari wajahnya terlihat jelas ada kekhawatiran yang sedang dirasakan pria itu saat ini. “Nona, Nona tenanglah.” Dokter langsung mendekati Alya dan berusaha menenangkannya. “Dokter, apa yang terjadi sama saya? Lalu, siapa yang menggantikan pakaian saya?” tanya Alya sambil menatap dokter dengan lekat. Perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih itu pun menoleh ke arah Yudha, meminta jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ayla. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang telah menggantikan pakaian wanita muda itu. “Tolong tinggalkan kami!” pinta Yudha sembari menatap dokter dan juga asisten pribadinya. “Baiklah, saya permisi. Nona, Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu stres.” Dokter tersenyum sambil mengelus pipi Alya dengan lembut. “Terima kasih, Dok,” ucap Alya yang dibalas anggukan kepala oleh sang dokter. “Saya juga permisi, Pak Bos, Bu Bos.” Reno ikut keluar bers
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki