Share

Bab 6 - Kamu Memang Unik

 “Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya. 

“Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.

Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.

“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya. 

Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar ucapan Alya. “Oke. Saya bersedia menikahi kamu, tapi jangan menyesal saat nanti kamu melihat wajah saya.” 

Alya menelan saliva dengan susah payah setelah mendengar apa yang dikatakan Yudha, ia lupa jika laki-laki di hadapannya saat ini belum pernah memperlihatkan wajahnya. 

Yudha kembali tersenyum melihat reaksi yang ditunjukkan Alya. Ia semakin tidak sabar ingin segera memperlihatkan wajahnya pada gadis itu. 

“Bagaimana? Apa kamu tetap mau menikah sama saya? Kamu masih bisa merubah keputusan sebelum saya mengucapkan ijab kabul di depan penghulu,” kata Yudha. 

Alya kembali mendongakkan kepalanya, menatap Yudha dengan lekat. “Saya akan tetap menikah dengan Anda,” jawabnya dengan suara bergetar. 

Keputusan yang diambilnya kali ini bukan hal yang mudah bagi Alya. Karena ini menyangkut masa depannya, ia tidak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki yang baru satu hari dikenalnya. 

Apalagi laki-laki itu terpaut usia yang sangat jauh dengan dirinya, tetapi Alya sudah tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Yudha, karena ingin membalas semua yang telah dilakukan oleh paman, bibi dan sahabatnya.

“Baiklah, silahkan masuk! Kita bicara di dalam,” kata Yudha sembari berjalan masuk ke dalam unit apartemennya. 

Dengan langkah berat dan tertatih, Alya mengikuti langkah pria itu. Ia berharap ini semua hanya mimpi buruk yang saat nanti dia terbangun semuanya akan menghilang, tetapi sayangnya ini adalah suatu kenyataan yang harus ia terima. 

“Tuhan … kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Engkau terus saja memberikan cobaan kepadaku? Kenapa?” tanya Alya sembari menyeka kasar air matanya. 

Yudha menghela napas panjang saat tak sengaja mendengar Alya bergumam, lalu ia menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu meneteskan air matanya. 

Dalam hatinya ia berjanji tidak akan membiarkan netra indah itu kembali menangis, tak akan ada lagi air mata yang keluar meski hanya setetes, kecuali air mata kebahagiaan. 

“Kamu istirahat saja dulu, nanti kita bicarakan soal pernikahan. Banyak hal yang harus kamu lakukan sebelum kita menikah,” ujar Yudha. 

Alya hanya mengangguk pelan, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar yang tadi malam ia tempati. Sementara Yudha memilih duduk di sofa sambil mengotak-atik ponselnya. 

Pria itu tampak menghela napas berat sambil meletakkan ponsel pintarnya di atas meja, lalu ia pun membuka masker yang selalu menjadi penutup wajahnya. 

“Semoga Mama bisa menerima keputusanku kali ini,” ucap Yudha sembari meraup wajahnya dengan gusar.

*** 

Sore harinya. Alya menggeliat dan perlahan membuka netra indahnya, kemudian tatapannya langsung tertuju pada jam dinding yang ada di kamar itu. 

“Astaga … aku ketiduran sampe jam segini lagi,” ucap gadis itu sembari bangun dari tempat tidur, lalu bergegas keluar kamar dengan langkah tergesa-gesa. Karena stres akan masalah yang tengah dihadapinya dan juga kelelahan, Alya sampai tertidur dalam waktu yang sangat lama. 

Setelah sekian tahun lamanya, ini pertama kalinya gadis cantik yang memiliki mata biru itu bisa tidur siang dengan nyaman tanpa gangguan. Biasanya jangankan untuk tidur siang, waktu makan pun terlalu sering ia lewatkan. 

“Sudah bangun?” Suara bariton seseorang yang sedang duduk di sofa, seketika mengejutkan Alya. 

“Maaf, saya tidurnya kelamaan. Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Alya dengan wajah tertunduk. 

“Tidak ada. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa,” jawab Yudha seraya melirik sekilas ke arah Alya. 

“Tapi, saya tidak terbiasa berdiam diri seperti ini. Katakan saja, apa yang harus saya lakukan? Saya akan melakukannya dengan senang hati,” ujar Alya, ia tetap memaksa untuk melakukan sesuatu seperti yang biasa dia lakukan di rumahnya. 

Yudha meletakkan surat kabar yang sedang dibacanya di atas meja, lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Alya.

“Kamu mau melakukan sesuatu, ‘kan? Kalau gitu, ayo ikut saya!” seru Yudha sambil meraih pergelangan tangan Alya. Hal itu pun secara refleks ia lakukan, karena biasanya pria itu paling tidak suka bersentuhan dengan perempuan kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. 

“Eh, mau ke mana?” tanya Alya sambil mengikuti langkah Yudha, karena pria itu terus menarik pergelangan tangannya. 

“Ikut saja,” jawab Yudha sembari berjalan keluar dari apartemen. 

Alya tak ingin membantah dan lebih memilih untuk menuruti semua yang dikatakan oleh Yudha, meskipun ia tidak tahu ke mana pria itu akan membawanya. 

“Loh, kok ke sini? Mau ngapain?” tanya Alya setelah mereka sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang berada di dalam kawasan apartemen. Sebuah mall yang cukup besar dan lengkap, berada di lantai dua bangunan bertingkat itu. 

“Sekarang kamu masuk ke dalam toko itu dan pilih pakaian mana yang kamu suka!” perintah Yudha sambil mengarahkan jari telunjuknya ke salah satu toko pakaian yang berada di hadapannya. 

Alya menggeleng cepat, menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh Yudha. Meskipun ia terlahir sebagai putri dari seorang pengusaha ternama dan sukses dalam berbisnis, tetapi kedua orang tua Alya memang tidak pernah memanjakan putri mereka terlalu berlebihan. 

Terlebih lagi sejak ayah dan ibunya meninggal, hidup Alya semakin menderita dan sangat memprihatinkan. Namun, gadis cantik itu tidak pernah mengeluh meski begitu berat kehidupan yang harus ia jalani.

“Nggak, saya nggak mau.Saya tidak membutuhkan pakaian itu, karena baju-baju saya sudah banyak dan semuanya masih layak pakai. Di sini pasti harganya mahal-mahal,” ujar Alya. 

Yudha menggeleng pelan sambil mengulas senyum mendengar apa yang dikatakan Alya. “Kamu memang unik,” gumamnya dengan sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

“Sudahlah, Om. Lebih baik kita pergi dari sini,” kata Alya, bersiap untuk pergi dari tempat itu. Namun, pergelangan tangannya kembali ditarik oleh Yudha. 

“Mau ke mana? Kamu belum membeli apapun, apa kamu akan menggunakan pakaian ini lagi?” tanya Yudha. 

Alya langsung terdiam dengan wajah yang tertunduk, ia lupa jika dirinya keluar dari rumah hanya membawa pakaian yang dikenakannya saat ini. 

“Baiklah. Om. Saya akan beli satu set pakaian untuk nanti malam, besok pagi saya akan pulang dan mengambil baju-baju saya yang ada di rumah. Saya mau beli satu set piyama yang itu,” tunjuk Alya ke arah salah satu toko yang bersebelahan dengan toko yang ditunjukkan oleh Yudha. 

“Jangan di toko itu!” kata Yudha yang langsung melarang Alya agar tidak pergi ke toko tersebut. 

“Loh, kenapa? Om kenal sama pemilik toko itu?” tanya Alya dengan kedua alis yang nyaris bertaut. 

Yudha terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Di saat dia sedang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Alya, tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri mereka berdua. 

“Yudha, kamu di sini? Lalu, ini siapa?” tanya orang itu sambil menatap Alya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status