“Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya.
“Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.
Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.
“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya.
Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar ucapan Alya. “Oke. Saya bersedia menikahi kamu, tapi jangan menyesal saat nanti kamu melihat wajah saya.”
Alya menelan saliva dengan susah payah setelah mendengar apa yang dikatakan Yudha, ia lupa jika laki-laki di hadapannya saat ini belum pernah memperlihatkan wajahnya.
Yudha kembali tersenyum melihat reaksi yang ditunjukkan Alya. Ia semakin tidak sabar ingin segera memperlihatkan wajahnya pada gadis itu.
“Bagaimana? Apa kamu tetap mau menikah sama saya? Kamu masih bisa merubah keputusan sebelum saya mengucapkan ijab kabul di depan penghulu,” kata Yudha.
Alya kembali mendongakkan kepalanya, menatap Yudha dengan lekat. “Saya akan tetap menikah dengan Anda,” jawabnya dengan suara bergetar.
Keputusan yang diambilnya kali ini bukan hal yang mudah bagi Alya. Karena ini menyangkut masa depannya, ia tidak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki yang baru satu hari dikenalnya.
Apalagi laki-laki itu terpaut usia yang sangat jauh dengan dirinya, tetapi Alya sudah tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Yudha, karena ingin membalas semua yang telah dilakukan oleh paman, bibi dan sahabatnya.
“Baiklah, silahkan masuk! Kita bicara di dalam,” kata Yudha sembari berjalan masuk ke dalam unit apartemennya.
Dengan langkah berat dan tertatih, Alya mengikuti langkah pria itu. Ia berharap ini semua hanya mimpi buruk yang saat nanti dia terbangun semuanya akan menghilang, tetapi sayangnya ini adalah suatu kenyataan yang harus ia terima.
“Tuhan … kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Engkau terus saja memberikan cobaan kepadaku? Kenapa?” tanya Alya sembari menyeka kasar air matanya.
Yudha menghela napas panjang saat tak sengaja mendengar Alya bergumam, lalu ia menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu meneteskan air matanya.
Dalam hatinya ia berjanji tidak akan membiarkan netra indah itu kembali menangis, tak akan ada lagi air mata yang keluar meski hanya setetes, kecuali air mata kebahagiaan.
“Kamu istirahat saja dulu, nanti kita bicarakan soal pernikahan. Banyak hal yang harus kamu lakukan sebelum kita menikah,” ujar Yudha.
Alya hanya mengangguk pelan, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar yang tadi malam ia tempati. Sementara Yudha memilih duduk di sofa sambil mengotak-atik ponselnya.
Pria itu tampak menghela napas berat sambil meletakkan ponsel pintarnya di atas meja, lalu ia pun membuka masker yang selalu menjadi penutup wajahnya.
“Semoga Mama bisa menerima keputusanku kali ini,” ucap Yudha sembari meraup wajahnya dengan gusar.
***
Sore harinya. Alya menggeliat dan perlahan membuka netra indahnya, kemudian tatapannya langsung tertuju pada jam dinding yang ada di kamar itu.
“Astaga … aku ketiduran sampe jam segini lagi,” ucap gadis itu sembari bangun dari tempat tidur, lalu bergegas keluar kamar dengan langkah tergesa-gesa. Karena stres akan masalah yang tengah dihadapinya dan juga kelelahan, Alya sampai tertidur dalam waktu yang sangat lama.
Setelah sekian tahun lamanya, ini pertama kalinya gadis cantik yang memiliki mata biru itu bisa tidur siang dengan nyaman tanpa gangguan. Biasanya jangankan untuk tidur siang, waktu makan pun terlalu sering ia lewatkan.
“Sudah bangun?” Suara bariton seseorang yang sedang duduk di sofa, seketika mengejutkan Alya.
“Maaf, saya tidurnya kelamaan. Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Alya dengan wajah tertunduk.
“Tidak ada. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa,” jawab Yudha seraya melirik sekilas ke arah Alya.
“Tapi, saya tidak terbiasa berdiam diri seperti ini. Katakan saja, apa yang harus saya lakukan? Saya akan melakukannya dengan senang hati,” ujar Alya, ia tetap memaksa untuk melakukan sesuatu seperti yang biasa dia lakukan di rumahnya.
Yudha meletakkan surat kabar yang sedang dibacanya di atas meja, lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Alya.
“Kamu mau melakukan sesuatu, ‘kan? Kalau gitu, ayo ikut saya!” seru Yudha sambil meraih pergelangan tangan Alya. Hal itu pun secara refleks ia lakukan, karena biasanya pria itu paling tidak suka bersentuhan dengan perempuan kecuali sama ibu dan saudara perempuannya.
“Eh, mau ke mana?” tanya Alya sambil mengikuti langkah Yudha, karena pria itu terus menarik pergelangan tangannya.
“Ikut saja,” jawab Yudha sembari berjalan keluar dari apartemen.
Alya tak ingin membantah dan lebih memilih untuk menuruti semua yang dikatakan oleh Yudha, meskipun ia tidak tahu ke mana pria itu akan membawanya.
“Loh, kok ke sini? Mau ngapain?” tanya Alya setelah mereka sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang berada di dalam kawasan apartemen. Sebuah mall yang cukup besar dan lengkap, berada di lantai dua bangunan bertingkat itu.
“Sekarang kamu masuk ke dalam toko itu dan pilih pakaian mana yang kamu suka!” perintah Yudha sambil mengarahkan jari telunjuknya ke salah satu toko pakaian yang berada di hadapannya.
Alya menggeleng cepat, menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh Yudha. Meskipun ia terlahir sebagai putri dari seorang pengusaha ternama dan sukses dalam berbisnis, tetapi kedua orang tua Alya memang tidak pernah memanjakan putri mereka terlalu berlebihan.
Terlebih lagi sejak ayah dan ibunya meninggal, hidup Alya semakin menderita dan sangat memprihatinkan. Namun, gadis cantik itu tidak pernah mengeluh meski begitu berat kehidupan yang harus ia jalani.
“Nggak, saya nggak mau.Saya tidak membutuhkan pakaian itu, karena baju-baju saya sudah banyak dan semuanya masih layak pakai. Di sini pasti harganya mahal-mahal,” ujar Alya.
Yudha menggeleng pelan sambil mengulas senyum mendengar apa yang dikatakan Alya. “Kamu memang unik,” gumamnya dengan sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
“Sudahlah, Om. Lebih baik kita pergi dari sini,” kata Alya, bersiap untuk pergi dari tempat itu. Namun, pergelangan tangannya kembali ditarik oleh Yudha.
“Mau ke mana? Kamu belum membeli apapun, apa kamu akan menggunakan pakaian ini lagi?” tanya Yudha.
Alya langsung terdiam dengan wajah yang tertunduk, ia lupa jika dirinya keluar dari rumah hanya membawa pakaian yang dikenakannya saat ini.
“Baiklah. Om. Saya akan beli satu set pakaian untuk nanti malam, besok pagi saya akan pulang dan mengambil baju-baju saya yang ada di rumah. Saya mau beli satu set piyama yang itu,” tunjuk Alya ke arah salah satu toko yang bersebelahan dengan toko yang ditunjukkan oleh Yudha.
“Jangan di toko itu!” kata Yudha yang langsung melarang Alya agar tidak pergi ke toko tersebut.
“Loh, kenapa? Om kenal sama pemilik toko itu?” tanya Alya dengan kedua alis yang nyaris bertaut.
Yudha terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Di saat dia sedang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Alya, tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri mereka berdua.
“Yudha, kamu di sini? Lalu, ini siapa?” tanya orang itu sambil menatap Alya.
“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya. Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu. Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik. “Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara. “Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya. “Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis. Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama se
Ibu dan anak itu pun menoleh ke arah sumber suara. Yudha langsung tersenyum melihat sosok yang sudah beberapa hari ini tidak ia kunjungi. “Papa.” Yudha segera menghampiri sang ayah sambil merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk memeluk ayahnya. Namun, langsung ditepis oleh Tuan Mahendra Kusuma. “Hei, Anak Muda. Kamu jangan coba-coba mengalihkan perhatian Papa. Apa yang barusan Papa dengar memang benar adanya, atau itu hanya trik kamu untuk menolak perjodohan?” tanya seorang pria lansia yang masih terlihat sehat dan bugar di usianya. “Pa, kali ini Yudha serius. Orangnya juga sudah ada di sini,” jawab Yudha sembari menoleh ke arah ruang tamu. Di sana tampak Reno bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna peach, yang membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik dan anggun. “Tuan, Nyonya.” Reno membungkukkan badan di hadapan kedua orang tua atasannya. “Halo!” Alya ikut membungkukkan badan, menghormati pasangan suami istri yang terus memp
“Mama!” Yudha berteriak tatkala melihat ibunya terkulai lemas. Beruntung Tuan Mahendra dengan sigap menahan tubuh istrinya.Nyonya Indriana sampai jatuh pingsan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Yudha. Menikah dalam waktu dua hari. Apa itu masuk akal? Pernikahan seperti apa yang ingin dijalani oleh seorang pewaris Kusuma Group dalam waktu yang sangat singkat seperti itu. “Astaga, Mama … baru dengar berita seperti itu saja Mama sudah pingsan,” ucap Tuan Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Nyonya Indriana hanya berpura-pura pingsan karena ia ingin melihat reaksi Yudha. Beliau berharap putranya itu mau merubah keputusan dan membatalkan rencana pernikahannya dengan gadis muda yang lebih pantas menjadi putrinya. Namun, sayangnya niat dan tekad Yudha sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memberi restu meskipun hatinya belum bisa menerima kehadiran Alya dalam keluarga Kusuma. Tuan Mahendra juga tidak ak
“Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?” tanya Alya penasaran. “Bukan siapa-siapa. Ini hanya telepon dari orang yang nggak penting,” jawab Yudha sembari mematikan ponselnya, lalu memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jasnya. Alya mencebik bibir seraya mengedikkan kedua bahunya. Ia bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yudha. Jika memang tidak ada apa-apa kenapa ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kaget begitu ia mendapat panggilan telepon dari seseorang. Namun, Alya tidak ingin ikut campur terlalu jauh dengan urusan laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati sebelum melangsungkan pernikahan, keduanya harus menghargai privasi masing-masing. Di dalam surat perjanjian itu tertulis: Setelah menikah mereka akan menjalani kehidupan layaknya sebagai pasangan suami istri pada umumnya. Namun, itu mereka lakukan hanya di depan keluarga Yudha. Mereka berdua memang tinggal satu atap dan
Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Alya tiba-tiba berteriak. Terutama Yudha, dari wajahnya terlihat jelas ada kekhawatiran yang sedang dirasakan pria itu saat ini. “Nona, Nona tenanglah.” Dokter langsung mendekati Alya dan berusaha menenangkannya. “Dokter, apa yang terjadi sama saya? Lalu, siapa yang menggantikan pakaian saya?” tanya Alya sambil menatap dokter dengan lekat. Perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih itu pun menoleh ke arah Yudha, meminta jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ayla. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang telah menggantikan pakaian wanita muda itu. “Tolong tinggalkan kami!” pinta Yudha sembari menatap dokter dan juga asisten pribadinya. “Baiklah, saya permisi. Nona, Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu stres.” Dokter tersenyum sambil mengelus pipi Alya dengan lembut. “Terima kasih, Dok,” ucap Alya yang dibalas anggukan kepala oleh sang dokter. “Saya juga permisi, Pak Bos, Bu Bos.” Reno ikut keluar bers
Yudha terkejut atas apa yang dilakukan oleh Alya, tetapi anehnya ia selalu merasa nyaman saat disentuh oleh wanita itu. Selama ini ia tidak pernah berinteraksi fisik pada wanita lain kecuali sama ibu dan saudara perempuannya. Sebagai seorang pengidap germaphobia, tentu saja Yudha selalu menghindar dan menolak berinteraksi secara fisik dengan siapa pun yang baru dikenalnya. Namun, berbeda dengan Alya. Meskipun baru mengenal wanita itu, tetapi Yudha sama sekali tidak merasa jijik atau khawatir akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri saat berdekatan dengannya. “Apa yang kamu lakukan? Ini bertentangan dengan kontrak kita,” ujar Yudha sambil tersenyum kecil. Cepat-cepat Alya melepas pelukannya dan segera menjauh dari Yudha. “Maaf, saya terlalu senang. Jadi lupa,” ucapnya sambil cengar-cengir. “Kamu jangan senang dulu,” cetus Yudha.“Maksudnya?” tanya Alya sambil menatap Yudha dengan dahi berkerut. “Saya memang mengizinkan kamu bekerja, tapi kamu akan bekerja di perusahaan saya. Ki
Dengan bekerja di perusahaan ini bukan hanya penghasilan yang akan Alya dapatkan, tetapi ia juga bisa belajar demi mewujudkan impian almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi seorang pebisnis, menggantikan posisi sang ayah di Atmadja Enterprise. Tekad Alya semakin kuat untuk mengambil alih perusahaan keluarganya dari tangan Pandu. Ia yakin dan percaya dengan bantuan Yudha Kusuma, semua keinginannya akan segera terwujud.“Iya. Kenapa? Apa kamu tidak senang? Saya menerima kamu karena saya pikir kamu mampu melakukan pekerjaan ini, walaupun kamu hanya lulusan SMA.” Wanita yang berprofesi sebagai Human Resources Development (HRD) menatap Alya dengan tatapan tak terbaca. “Saya senang banget, tapi saya tidak menyangka akan langsung diterima. Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan bekerja dengan baik,” ucap Alya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah wanita berusia 19 tahun itu. “Oke, hari ini kamu sudah bisa bekerja! Selamat bergabung di pe
Tanpa menunggu si penelepon menyelesaikan kalimatnya, Pak Didi sudah lebih dulu mengakhiri percakapan mereka dan segera bergegas keluar dari rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Yudha tampak gelisah setelah mendapat kabar dari Pak Didi, ia tidak tahu kejadian apa yang dimaksud oleh orang kepercayaan ayahnya itu. “Sebenarnya apa yang ingin Pak Didi bicarakan sama saya? Kenapa beliau tidak bisa menceritakannya lewat telepon?” gumam Yudha sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tak lama kemudian, tampak sebuah mobil yang sudah tidak asing di matanya memasuki halaman cafe. Yudha yang sudah tidak sabar segera menyusul orang tersebut ke parkiran. “Tuan Muda,” ucap Pak Didi saat melihat Yudha mendatanginya. “Kejadian apa yang Bapak maksud?” tanya Yudha langsung to the point. “Kita bicara di dalam mobil saja, Tuan Muda. Biar tidak ada yang mendengar apa yang kita bicarakan,” kata Pak Didi mengusulkan. “Oke,” sahut Yudha seraya m