Share

4. Bertemu Dengannya

"Nami, bagaimana kabarmu?" sapa Iko, teman dekat Nami. Iko memeluknya. Dia sangat rindu pada Nami.

Hari ini Nami berkunjung ke rumah Iko. Tapi mereka berdua bertemu di jalan. Kebetulan Iko baru saja membeli surat daftar riwayat hidup di toko.

Nami dan Iko janjian untuk mencari kerja bersama.

"Oh Nami aku sangat rindu. Selama ini kamu pasti sangat menderita. Maafkan aku yang tidak ada di masa sulitmu," Iko memeluk erat.

"Aku sudah mendengar kabar kematian Ayahmu. Kenapa kamu tidak mengabariku?" Iko mengelus punggung Nami menenangkan.

Nami merapatkan bibirnya. Andaikan Iko tau apa yang sudah Nami alami, apakah Iko masih mau berteman dengannya? Nami berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah.

"Nami, jangan merasa sendirian. Aku di sini ada untukmu," Nami terenyuh mendengar kalimat manis dari mulut Iko.

Nami membalas pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Nami. Nami menangis. Dia luruh ke bawah, namun di tahan oleh Iko sehingga Nami tidak jatuh ke lantai.

"I-iko... N-nami sudah kehilangan semuanya," Nami memeluk erat tubuh Iko. Dia menangis sesenggukan. Meluapkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam.

Iko hanya mengetahui tentang kematian ayahnya saja tanpa mengetahui jika Nami sudah dijual oleh mantan ibu tirinya. Meski Nami tidak memberitahukannya pada Iko, tapi sebagai sahabat satu-satunya, Iko merasakan ada sesuatu yang Nami sembunyikan.

Belakangan ini, Iko mencari Nami tapi hasilnya nihil. Nami selalu tidak ada di rumah. W******p yang selalu aktif pun nampak tidak aktif dalam waktu lama. Iko sangat mengkhawatirkan Nami.

Iko melepas pelukannya. Dia menangkup wajah Nami. "Nami, aku tau ada yang kamu sembunyikan dari aku."

Nami menggigit bibir bawahnya. Nami tidak ingin menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya, hanya saja Nami belum siap Iko mengetahui semuanya.

Nami menggeleng pelan. "Tidak ada, Iko. Nami baik-baik saja."

"Mulutmu bilang baik-baik saja, Nami. Tapi matamu tidak bisa berbohong. Kita sudah berteman lama, aku harap kamu menjadikan aku tempat ceritamu," pinta Iko.

Iko akan menjadi sahabat yang gagal jika dia tidak ada di saat Nami susah.

Nami menarik napas dalam. Hanya Iko yang dapat dia percaya. Nami pun mengangguk. "Baiklah Iko, aku akan menceritakannya padamu."

Iko sedang mendengarnya. Dia menawarkan sebuah ide. "Bagaimana kalau kita ke kafe dulu?"

Nami mengerutkan keningnya. "Kafe?"

"Pokoknya kamu harus memberitahu aku semua masalahmu. Kita tunda dulu cari pekerjaan, jadi ayo sekarang kita ke kafe," ajak Iko. Nami setuju.

Nami dan Iko berada di salah satu kafe dekat jalan raya. Lumayan jauh dari rumah Iko. Iko yang merekomendasikan tempat ini. Nami sedikit khawatir biaya makanannya, tapi Iko bilang dia mentraktirnya, Nami sedikit lega.

Nami memberanikan diri untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya tak ingin ia ceritakan kepada siapapun pada Iko, sahabatnya.

Iko mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya tak bisa dikondisikan. Keningnya berkerut. Matanya menyala menyiratkan sebuah amarah. Apalagi saat Nami cerita jika Piranda sudah menjebak dirinya dan menjadikannya tumbal, hingga akhirnya tidur bersama seorang pria tak dikenal.

Rahang Iko menegas. Dia tidak terima sahabatnya diperlakukan sangat buruk oleh dua orang itu. Tangan Iko mengepal kuat. Dia menggebrak meja kafe. Semua orang menoleh. Nami dan Iko menjadi pusat perhatian.

Nami terjingkat kaget. "Iko!!" peringatnya menarik Iko duduk.

"DASAR TIDAK TAU MALU!" teriak Iko kesal. Nami menoleh memperhatikan para pengunjung yang lain. Mereka menatap sengit ke arah Nami dan Iko.

"Iko, jangan seperti ini!"

"Habisnya aku emosi. Bisa-bisanya mereka memperlakukanmu seperti itu, Nami!" emosinya meledak sampai air matanya ikut keluar.

"Kamu dijebak, semua uang hasil kerja kerasmu dirampas, kamu di usir sama mereka, aku sakit hati!!" Iko menepuk dadanya pelan.

Iko yang mendengar saja merasakan betapa pedihnya. Lalu bagaimana dengan Nami yang mengalami itu?

Iko tidak bisa bayangkan. Jika dirinya yang ada di posisi Nami, pasti Iko memilih bunuh diri. Iko menangis sesenggukan. Dia menutup matanya. Nami menghela nafas pelan. Nami mengelus lengan Iko.

"Iko..., aku baik-baik saja."

Iko menggeleng kuat. "Tidak, Nami. Aku tau kamu sangat menderita," Iko mengusap air matanya pelan. Dia menggenggam kedua tangan Nami.

"Nami, sekarang kamu tinggal di mana?" Iko takut jika Nami tidur di tempat kumuh.

Nami menampilkan senyuman lebar. "Kamu tenang saja, aku tinggal di rumah bibiku," Nami tidak mau membawa Iko ke dalam masalahnya terlalu dalam.

"Kamu tidak bohong, kan?"

"Tidak, Iko. Nami jujur," seutas senyuman tersungging di bibir Nami. Berharap Iko percaya padanya.

Iko lega mendengarnya. "Jika kamu tidak betah tinggal di sana, kamu bisa tinggal di rumahku, Nami," ucapan Iko mendapat anggukan dari Nami.

"Iko?"

"Iya? Ada apa Nami?"

Nami meneguk ludahnya. Menatap Iko dengan tatapan sedih. "A-apa Iko masih mau berteman dengan Nami?" tanya Nami hati-hati.

Iko yang mendengarnya tertawa keras. "Apa kamu pikir aku akan meninggalkan sahabatku setelah tau permasalahannya?"

Nami mengangguk jujur.

Iko geleng-geleng kepala. "Tidak, Nami. Aku akan selalu ada di sampingmu."

Nami mengulas senyum. "Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Iko,"

Iko mengangguk. "Nami, ayo antarkan aku ke makam Ayah."

Ayah yang dimaksud oleh Iko adalah ayah Nami. Iko sudah menganggap Martio seperti ayah kandung sendiri. Iko sudah pernah berkunjung ke makam ayah Nami, tapi rasanya seperti ada yang kurang jika tidak datang bersama Nami.

Di saat mereka berdua keluar dari kafe menuju makam, Nami tidak sengaja bertubrukan dengan pria bertubuh besar yang berjalan sambil menatap ponsel tanpa melihat ke depan.

"Aduh," Nami mengaduh kesakitan saat kepalanya terbentur dada bidang pria itu.

"Nami, kamu tidak papa?" tanya Iko khawatir. Nami menganggukkan kepala tanda ia baik-baik saja.

Tapi saat ia mendongak ke atas, bola matanya terbelalak. Bagaimana tidak? Nami melihat seseorang lelaki brengsek tidak tau diri itu di depannya.

Lelaki yang sudah merenggut kesuciannya. Lelaki yang sudah bekerja sama dengan saudari tirinya.

Lelaki yang sudah membuat Nami kehilangan semuanya dan lelaki itu berani memunculkan wajahnya di depan Nami?

Memang tidak tau diri!

"Brengsek!!" Nami menampar pria itu. Membuat semua orang yang melihatnya terkejut bukan main termasuk Iko.

Sedangkan pria itu menerima tamparan dari Nami. Pria itu tau jika Nami melampiaskan kekesalannya karna kejadian kala itu.

Pria itu memegang pipinya. "Kenapa kamu menamparku, Nona?"

"Apa karna kamu merindukanku?" tanya lelaki itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Gila! Memang sudah gila!

Nami menggertakkan giginya. "Siapa yang akan merindukan lelaki brengsek seperti anda? Tidak ada!"

Nami menunjuk lelaki itu dengan jarinya. "Sebaliknya, saya sangat muak melihat wajah anda!"

Andai saja Nami tau siapa orang ini, dia tidak akan berani berkata demikian. Karna pria ini adalah pria yang sangat disegani oleh banyak orang. Ya, dia adalah Steven De Gerrard--CEO di perusahaan milik Kakek Steven.

Nami mendengar cacian yang para pengunjung lontarkan padanya. Nami tidak peduli. Karna Nami sangat muak melihat orang ini. Nami juga tidak peduli padanya.

"Saya harap tidak bertemu dengan anda lagi, Tuan!"

Steven tersenyum miring. "Semoga kita bertemu lagi, Nona kecil."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status