Share

2. Pernikahan

Author: Anita Kim
last update Huling Na-update: 2024-07-19 09:52:10

Pagi ini, Shafa nampak begitu gugup dan tidak tenang. Pasalnya hari ini dia akan dipertemukan dengan calon suaminya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dan mereka akan langsung menikah. Shafa bertanya-tanya, akankah calon suaminya adalah seorang pria tua. Memikirkan hal itu, Shafa rasanya ingin kabur. Namun, tentu saja dirinya tidak tega melakukan hal itu karena sudah bisa dipastikan ayahnya akan langsung segera dijebloskan ke penjara.

Shafa hanya bisa berdoa dalam hati, bahwa siapa pun calon suaminya nanti adalah pria yang baik.

“Shafa, kita sudah sampai,” Malik menepuk lembut tangan Shafa, membuatnya tersadar dan segera ikut turun dari mobil jemputan yang diberikan oleh Nalani untuk keluarganya pagi tadi.

Mata Shafa membulat tak percaya begitu melihat bangunan di depannya. Rumah yang tampak megah dan elegan, menunjukan status sosial calon suaminya yang begitu kaya dan berkuasa. Shafa menelan ludah dengan berat, namun berusaha untuk tampak tenang.

Wajah Naura, kakak tirinya terlihat begitu bahagia sejak pagi, karena tahu bahwa Shafa lah yang diminta menggantikan dirinya. Meskipun pria yang akan dinikahi adalah pria kaya, namun status istri kedua dan cacat membuat Naura merasa enggan dan meminta Fariha untuk menumbalkan Shafa.

Begitu masuk ke dalam ruang tengah, mereka semakin terkagum. Interior dan furniture mewah dapat dilihat di setiap sudut rumah. Para pelayan menyapa mereka dengan penuh keramahan.

“Kalian sudah sampai? Selamat datang di kediaman Dewananda,” sambut Nalani. Suaranya terdengar begitu lembut dan ramah, namun juga terdengar berwibawa. Malik dan Fariha langsung begitu rendah diri dihadapannya dan membungkuk hormat.

“Mari kita dukuk!” Mereka kemudian duduk di ruang makan yang sudah tersaji begitu banyak hidangan.

“Jadi, kamu adalah Shafana?” tanya Nalani.

Shafa mengangguk dan terlihat senyum lembut dari Nalani. Tak lama kemudian terdengar suara roda memasuki ruangan.

Mata Shafa langsung terpaku pada sosok pria yang duduk di kursi roda itu. Seorang pria yang terlihat begitu tampan dan berwibawa. Rahangnya yang tegas dan sorot mata yang tajam menambah pesona pria itu. Shafa bahkan tak percaya jika pria itu buta, jika tidak diberitahu oleh keluarganya.

Sayangnya meskipun pria itu nampak sempurna, Shafa merasa aura pria itu begitu mengintimidasi dirinya. Dibelakang pria itu, nampak seorang wanita cantik dan elegan yang mendorong kursi roda. Wajahnya menunjukan raut tidak suka begitu bertatapan dengan Shafa.

“Ini adalah Dewa. Dewa ini adalah Shafa, calon istrimu.” Nalani mengenalkan.

Dewa nampak diam tidak menunjukan ekspresi apa pun.

“Tinggalkan kami. Aku ingin berbicara berdua saja dengannya.” Suara berat Dewa membuat semua orang di ruangan menahan nafas.

Hanya Nalani yang akhirnya berani membuka suara, “Baik, kalau begitu mari kita keluar dulu. Mungkin Dewa ingin mengenal Shafa sebelum menikah sebentar lagi.”

Satu per satu dari mereka meninggalkan ruangan. Membuat Shafa semakin merasa cemas karena kini hanya tinggal dirinya bersama dengan Dewa.

“Dengar, saya tahu kamu dijual oleh keluargamu untuk mengganti rugi karena ayahmu telah menggelapkan uang perusahaan. Jadi jangan berharap banyak pada pernikahan ini!” Suara tegas Dewa awalnya membuat Shafa takut, namun mendengar tuduhan pria itu pada ayahnya, membuat Shafa merasa tidak senang.

“Ayahku tidak menggelapkan uang perusahaan. Ia dijebak dan seharusnya kalian dapat mengeceknya dengan benar,” tegas Shafa. Dewa menarik sudut bibirnya. Baginya, Shafa cukup menarik, karena seumur hidup Dewa tidak ada yang berani membantah ucapannya.

Melihat Dewa yang nampak diam, membuat Shafa merasa gugup. Hanya saja dirinya tidak bisa membiarkan orang berpikir bahwa ayahnya melakukan kejahatan itu, di saat sebenarnya tidak.

"Saya tidak perduli. Dan mulai sekarang kamu harus patuh pada setiap perkataan saya.” Tanpa bisa dibantah, Dewa menekankan setiap perkataannya pada Shafa.

Keduanya kemudian dipanggil untuk keluar karena penghulu yang sudah datang. Dalam sekejap acara pernikahan berlangsung. Hanya ijab kabul biasa tanpa pesta atau apa pun itu. Shafana menitkan air mata, dia tidak menyangka kalau hidupnya akan menjadi seperti ini, bersuamikan pria yang sudah memiliki istri, dengan pernikahan seperti dia sudah melakukan aib.

Shafana tak ubahnya seperti seorang simpanan yang menikah karena hamil duluan, dia tidak menyukai hal itu tapi dia juga tidak berdaya. Matanya menatap nanar ke arah Fariha yang memeluk Naura, ibunya nampak begitu bahagia setelah menjadikannya korban.

** ** **

Di dalam kamar pengantin, Shafana terlihat begitu gugup dan takut, padahal, dia tahu suaminya tidak bisa berjalan dan tidak bisa melihat. Selain itu, Dewa juga nampak tidak tertarik padanya. Jadi, seharusnya selama dia diam, Dewa pasti tidak akan melakukan apa-apa.

"Shafana!"

"Iya, Ma-s," jawab perempuan itu gugup. Ekspresi dingin yang ditunjukkan Dewa padanya membuat bulu kuduk Shafana merinding.

"Dalam situasi dan kondisi apapun, jangan pernah membuka cadarmu di depan saya, " kata Dewa dengan suara baritonnya. "Saya tahu saya buta, tidak usah bertanya, lakukan saja apa yang saya minta. Jangan menyentuh saya atau barang-barang saya!"

"Satu lagi," kata Dewa. "Jangan mengadukan hal ini kepada siapapun.”

"Baik, Mas." Shafana mengangguk setuju.

Malam itu, Shafana benar-benar tidak disentuh oleh Dewa. Awalnya dia tidur di sofa, tapi karena Dewa harus tidur dalam ruangan gelap, Shafa yang takut menimbulkan perdebatan memilih untuk pergi ke kamar mandi dan tidur di dalam bathtub, dalam keadaan lampu menyala.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
mungkin shafana bukan anak kandung, makanya itu ibu2 seneng2 ajh anak nya jadi tumbal
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Istri Kedua CEO Buta   33. Menunggu Diceraikan

    Di bawah cahaya lembut yang menari di lantai marmer, langkah tergesa seorang wanita tua melintasi lorong yang sunyi. Oma Nalani, dengan pakaian anggunnya yang berwarna gading, masuk ke dalam kamar Dewa dan Shafana tanpa menunggu aba-aba. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang dalam, kedua matanya langsung tertuju pada sosok perempuan yang tengah terbaring di ranjang king-size.Di samping ranjang, seorang dokter tengah melepas stetoskopnya. Dengan suara tenang, ia menjelaskan kondisi pasiennya."Demamnya sudah mulai turun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya hanya memberikan infus vitamin booster agar kondisinya cepat pulih," ujar sang dokter kepada Dewa. "Nyonya Dewa akan baik-baik saja."Mata Dewa menatap lurus menatap perempuan itu. Sementara itu, Shafana yang mendengar dokter menyebutnya sebagai Nyonya Dewa, menegang. Ia menelan ludah, lalu perlahan memalingkan wajahnya, tidak berani bertemu tatapan suaminya meksipun dia tahu kalau suaminya buta. Ada debar tak biasa dalam dada

  • Istri Kedua CEO Buta   32. Mulai Perhatian

    Malam itu, Rania mengenakan gaun merah anggun yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya dihiasi riasan yang menonjolkan kecantikannya. Namun, tatapan matanya penuh tipu daya. Masa ovulasinya tiba, membuatnya lebih bersemangat, tapi bukan untuk mendekati suaminya.Dewa, yang duduk di kursi roda dengan wajah dingin tanpa ekspresi, hanya mengangguk kecil ketika Rania pamit dengan alasan pekerjaan dadakan. Dia tahu perempuan itu berbohong, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Saat Rania mencoba mengecup pipinya, Dewa menghindar dengan halus. Sikapnya semakin menunjukkan bahwa hubungan mereka hanya formalitas semata."Aku pergi ya, Mas. Kalau ada apa-apa minta sama Mbak Ima.""Heumm!" Dewa yang kala itu ada di ruang keluarga berpaling. Setelah Rania pergi, suasana rumah kembali hening. Dewa memutar roda kursi rodanya menuju lift untuk naik ke kamar. Ada sesuatu yang membuatnya terusik malam ini. Dia berhenti di depan pintu kamar mandi, mengetuk perlahan.“Shafa,” panggilnya dengan su

  • Istri Kedua CEO Buta   31. Kecemburuan Naura

    Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P

  • Istri Kedua CEO Buta   30. Semakin Dekat

    Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe

  • Istri Kedua CEO Buta   29. Hanya Mimpi?

    Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si

  • Istri Kedua CEO Buta   28. Mulai Luluh

    Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert

  • Istri Kedua CEO Buta   27. Kekacauan Yang Dibuat Shafana

    Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang. "Ayah, ini untuk kebutuhan sehari-hari atau modal usaha," katanya dengan suara serak.Malik menatap amplop itu dengan ragu. "Dari mana kau mendapatkan uang ini, Shafa? Ayah tidak ingin menerima uang dari Dewa," katanya tegas, menyebut nama suami Shafana dengan nada penuh kebencian. Malik sudah berusaha untuk tidak menaruh dendam, tapi dia tetap kecewa pada keluarga Dewa setelah mereka merebut Shadana darinya. Shafana menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, ini bukan dari Mas Dewa. Ini hasil jerih payahku sendiri. Aku menulis cerita dan berhasil menjualnya," jawabnya dengan tegas, meski hatinya terasa berat.Malik terdiam, matanya menatap dalam ke mata Shafana yang bengkak. "Menulis? Sejak kapan kau menulis, Nduk?" tanyanya, setengah tidak percaya.Shafana tersenyum pahit. "Sejak aku merasa dunia ini terlalu sempit untuk menampung semua perasaanku, Ayah. Menulis adalah carak

  • Istri Kedua CEO Buta   26. Titik Buta

    "Kenapa masih di sini?" tanya Dewa. Shafana yang tengah duduk di tepian ranjang itu menoleh, menatap suaminya penuh curiga. "Pak- mmas tahu aku di sini?" Jari jemari Arthur mulai bergerak, salahkan dia yang terpancing karena keberadaan istri keduanya. Dia selalu lepas kendali dan tidak bisa bersikap sesuai keinginannya. "Mas Dewa!" Shafana mengibaskan tangannya di depan wajah Dewananda. "Mas udah sembuh?" "Baumu tercium," kata Dewa. Anggaplah ini sebuah alasan yang jelas, tapi pada kenyataannya pun, dia memang bisa membedakan bau Shafana dengan bau orang lain. "Maaf, Mas. Aku memang belum mandi." Dewa memilih untuk tidak perduli. "Mas!" Shafana menahan kursi roda suaminya. "Besok, aku mau ketemu ayah." Ia memperhatikan wajah suaminya. "Boleh?" "Ayahmu?" "Kenpa?" tanya Shafana bingung. "Apa kau masih menganggap mereka keluargamu?" Kelopak mata Shafana terpejam perlahan, lantas, jika bukan keluarganya, dia mau menanggap mereka apa. "Aku hanya meminta izin, Mas. Kalau b

  • Istri Kedua CEO Buta   25. Semua Orang Memiliki Topeng?

    "Bu, sebetulnya jika Bu Rania menyerah sekarang, tidak akan ada yang menyalahkan Bu Rania." "Apa?" kaget Rania. "Menyerah? Sekarang?" Wanita itu tertawa, membuat dokter yang ada di depannya kebingungan. "Bu, sudah 3 tahun kakak Anda koma, saya hanya takut kalau semuanya akan menjadi sia-sia." Rania mengepalkan kedua tangannya. Mata wanita itu memerah tajam. "Pantaskan seorang dokter mengatakan hal itu? Saya merawat kakak saya di sini bayar, Dok." Dokter pria itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Saya mengerti maksud Bu Rania, tapi Bu. Andai semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, saya hanya takut Bu Rania kehilangan segalanya tanpa hasil apa-apa." "Saya tidak perduli," marah Rania. "Kakak saya harus hidup, dia akan melihat apa yang akan saya lakukan, tugas dokter hanya merawatnya dengan baik, cukup lakukan itu." "Maafkan saya, Bu." "Pergilah!" titah Rania. "Tapi, Bu... Pasien sedang...." "Saya tahu kakak saya sedang makan, saya yang akan menunggun

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status