"Fokus pada pekerjaanmu!"
Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemudian mengangguk. "Baik, Pak." "Saya tidak tuli." Shafana menoleh, dia lagi-lagi terkejut tapi kemudian mengangguk dan mulai mengecilkan suaranya. "Pak, untuk tanah yang ini." Shafana ragu. "Menurut saya, ada beberapa hal yang janggal, lokasinya terlalu strategis, tapi harga jualnya dibawah harga seharusnya." "Kamu belajar ilmu ekonomi?" tanyanya dingin. "Bukan, Pak. Saya kuliah jurusan psikologi." "Jangan melampaui batas, Shafana." "Ba-baik, Pak." Di balik kacamatanya, pria itu menatap Shafana sekilas kemudian menatap berkas yang baru saja dibicarakannya. ** ** "Selidiki itu!" titah Dewa pada Roy. Dia melemparkan salah satu berkas di atas mejanya. Roy tidak banyak bertanya, jika Dewa sudah memberikan perintah seperti itu, biasanya memang ada sesuatu yang janggal. "Pak Roy." Shafana yang baru membuka pintu menyapa. Dia kembali berjalan menghampiri suaminya, meletakan sebuah cangkir keramik di depan Dewananda. "Saya diberitahu Oma kalau Mas Dewa harus meminum herbal ini." "Ini kantor." "Ma-af, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Shafana meruntuki kebodohannya sendiri. Dia belum terbiasa memanggil Dewa dengan dua sebutan berbeda. Setelah duduk di samping suaminya, Shafana masih menatap pria itu, lagi-lagi dia tersenyum, aneh sekali bukan? Dia merasa kalau aura Dewa terlalu kuat. Bahkan dia yang sudah berusaha untuk menghindar pun tidak bisa melakukannya. Dewananda berdehem, mambuat Shafana sedikit terperanjat dan kembali fokus pada laptop di depannya. "Padahal buta, tapi kenapa aku seperti merasa kalau matanya bisa menatap tajam padaku," batin Shafana. ** ** Saat hampir menjelang pulang, pintu ruangan Dewa terbuka begitu saja. Seorang wanita cantik masuk, cara berjalannya, tatapan matanya, persis seperti model yang sedang marah. Tentu saja, siapa yang tidak akan marah kalau suami dan istri keduanya berada di dalam satu ruangan seharian penuh. "Mas!" panggil Rania. Dia mendekati Dewa, merangkul pundaknya dan memberikan kecupan singkat di pipi. "Perhatikan sikapmu, Rania." Wanita itu menghela napas, dia menatap sengit Shafana, wanita yang sengaja menunduk, pura-pura tidak terpengaruh. "Mas Dewa." Rania memanggil dengan suara manjanya. Dewa sebetulnya kesal, sejak malam itu, dia tidak pernah suka Rania menyentuhnya. "Katakan." "Mas, kenapa enggak bilang kalau Shafana kerja sama kamu." "Mbak, saya mohon jangan salah paham kepada Pak Dewa, saya di sini bukan atas kemauannya Pak Dewa, saya diminta Oma untuk menjaga Pak Dewa." "Shut up!" kesal Rania. "Apa aku bicara padamu?" Dewa menarik ujung bibirnya, bukankah dua wanita ini sangat menjengkelkan? Namun, Dewa lebih senang mereka bertengkar, dia hanya ingin tahu, sampai mana mereka bisa pura-pura anggun di depannya. Dewa sangat ingin melihat wujud asli kedua wanita ini. "Mbak, saya mengatakan yang sebenarnya, sa-saya tidak mau Mbak Rani sama Pak Dewa berantem karena salah paham." Mendengar namanya disebut, Rania meradang, dia tidak suka dipanggil seperti itu, Shafana harus memanggilnya lengkap, bukan Rani karena dia bukan pelakor yang merebut suami saudaranya sendiri. Sudut bibir Rania tertarik ke atas. "Takut saya berantem sama Mas Dewa, atau kamu cemburu?" "Cemburu, ma-mana mungkin, Mbak. Saya tidak akan cemburu." Ia gelagapan. Kening Dewa mengerut samar, setelah menyinggungnya dengan mengatakan harus merawatnya, sekarang Shafana secara terang-terangan menghinanya. Dia tidak cemburu, bagimana jika itu Manendra, apa Shafana akan cemburu? "Pulanglah!" kata Dewa. Rania mengangkat bahunya, memberikan isyarat mengejek pada Shafana. "Pulang dulu, Rania. Aku masih harus bekerja." "Ma-s," protes Rania. Dia ingin sekali mendebat Dewananda tapi hal itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. "Oke, aku pulang," katanya dengan nada sedih. Dia menunduk, mengecup bibir Dewa sekilas kemudian keluar dari sana. Pintu ruangan itu tertutup, tapi api di dada Dewa mulai membara. "Shafana!" panggil Dewa. Suaranya sangat rendah tapi begitu mengintimidasi. "Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu kemudian berdiri. Namun, belum apa-apa, Dewa sudah menarik tangannya, pria itu membuat Shafana duduk di atas pangkuan. Bola mata Shafana mulai bergerak gelisah, dia meringis saat lengannya dicengkram erat, membuatnya seperti didekap sangat kuat. Yang lebih parah, tangan kanan Dewa mencengkram rahangnya. Jantung Shafana semakin berdebar, tubuhnya mendadak lemas begitu saja. "Pak De-wa, apa yang Bapak lakukan?" "Kenapa? Kamu takut?" gumam pria itu dingin. Tangan dan kaki Shafana bergetar pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Sakit, lengan dan rahangnya seperti akan remuk jika Dewa tidak segera melepaskannya.Di bawah cahaya lembut yang menari di lantai marmer, langkah tergesa seorang wanita tua melintasi lorong yang sunyi. Oma Nalani, dengan pakaian anggunnya yang berwarna gading, masuk ke dalam kamar Dewa dan Shafana tanpa menunggu aba-aba. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang dalam, kedua matanya langsung tertuju pada sosok perempuan yang tengah terbaring di ranjang king-size.Di samping ranjang, seorang dokter tengah melepas stetoskopnya. Dengan suara tenang, ia menjelaskan kondisi pasiennya."Demamnya sudah mulai turun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya hanya memberikan infus vitamin booster agar kondisinya cepat pulih," ujar sang dokter kepada Dewa. "Nyonya Dewa akan baik-baik saja."Mata Dewa menatap lurus menatap perempuan itu. Sementara itu, Shafana yang mendengar dokter menyebutnya sebagai Nyonya Dewa, menegang. Ia menelan ludah, lalu perlahan memalingkan wajahnya, tidak berani bertemu tatapan suaminya meksipun dia tahu kalau suaminya buta. Ada debar tak biasa dalam dada
Malam itu, Rania mengenakan gaun merah anggun yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya dihiasi riasan yang menonjolkan kecantikannya. Namun, tatapan matanya penuh tipu daya. Masa ovulasinya tiba, membuatnya lebih bersemangat, tapi bukan untuk mendekati suaminya.Dewa, yang duduk di kursi roda dengan wajah dingin tanpa ekspresi, hanya mengangguk kecil ketika Rania pamit dengan alasan pekerjaan dadakan. Dia tahu perempuan itu berbohong, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Saat Rania mencoba mengecup pipinya, Dewa menghindar dengan halus. Sikapnya semakin menunjukkan bahwa hubungan mereka hanya formalitas semata."Aku pergi ya, Mas. Kalau ada apa-apa minta sama Mbak Ima.""Heumm!" Dewa yang kala itu ada di ruang keluarga berpaling. Setelah Rania pergi, suasana rumah kembali hening. Dewa memutar roda kursi rodanya menuju lift untuk naik ke kamar. Ada sesuatu yang membuatnya terusik malam ini. Dia berhenti di depan pintu kamar mandi, mengetuk perlahan.“Shafa,” panggilnya dengan su
Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P
Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe
Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si
Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert