Angela masih tertidur lelap, tapi Alvaro sudah turun untuk menyiapkan sarapan. Dia membuat secangkir kopi dan setangkup roti bakar sendiri karena pembantu di rumahnya sedang izin pulang kampung.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi saat dia sedang asyik menyantap roti bakarnya. Alvaro pun segera beranjak ke depan untuk membuka pintu. "Mama?"
Wanita yang dipanggil mama oleh Alvaro itu langsung masuk ke rumah. Dia sengaja datang pagi-pagi karena ingin mengantar makanan untuk putra kesayangannya itu. "Sarapan apa kamu pagi ini? Kopi dan roti lagi?"
Alvaro tidak menjawab karena sejak dua hari kemarin hanya kopi dan roti bakar yang dia santap saat pagi.
"Istrimu masih tidur?"
Lagi-lagi Alvaro terdiam. Sekarang masih terlalu pagi bagi Angela untuk bangun. Istrinya baru bangun sekitar jam sembilan atau sepuluh pagi.
Mama menghela napas panjang. Wanita berusia akhir empat puluh tahun itu sudah tahu kalau menantunya itu pasti sedang tidur. Angela tidak bisa mengurus Alvaro dengan baik karena terlalu sibuk mengejar karirnya sebagai model. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar dari pada di rumah hingga kurang memperhatikan Alvaro.
Mama merasa kasihan. Dia pikir setelah menikah dengan Angela, hidup Alvaro akan lebih terurus. Namun, ternyata malah sebaliknya. Setiap hari Alvaro mengurus sendiri semua keperluannya. Sungguh sangat disayangkan seorang Alvaro Dinata menikah dengan model pemalas dan manja seperti Angela.
"Istri macam itu? Seharusnya dia sudah bangun dan menyiapkan semua keperluanmu sebelun berangkat ke kantor." Mama mulai lagi mengomel. Wanita itu tidak tega melihat Alvaro menyiapkan semua keperluannya sendiri padahal sudah memiliki istri.
"Sudahlah, Ma. Angela masih butuh istirahat."
Mama memutar bola mata karena Alvaro terus membela Angela. "Kamu itu terlalu memanjakan, Angela. Coba dulu kamu menikah dengan wanita pilihan Mama. Setiap hari pasti ada yang menyiapkanmu sarapan."
"Sudahlah, Ma. Angela itu istri Alvaro, bukan pembantu," desah Alvaro menahan kesal. Entah kenapa sejak menikah Mama selalu saja menjelek-jelekkan Angela. Dia menikahi Angela bukan sekadar untuk menyiapkan sarapan dan mengurus semua keperluannya, dia menikahi Angela murni karena mencintai wanita itu.
"Cepek ngomong sama kamu. Terus, kapan kamu mau ngasih Mama cucu."
Alvaro meletakkan sendoknya. Nafsu makannya mendadak hilang karena Mama mulai membahas cucu. "Mama, please. Sudah berapa kali Alvaro katakan, tolong jangan membahas cucu apa lagi di depan Angela."
"Sudah satu tahun lebih kalian menikah. Apa kalian tidak ingin memiliki anak?"
Alvaro terdiam. Jujur, sebenarnya dia ingin ada seorang anak di tengah keluarga kecilnya. Namun, Angela tidak mau hamil karena karir modelnya sedang berada di atas puncak. Angela mengancam akan meminta cerai jika dia nekat menginginkan anak darinya. Akhirnya dia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan wanita itu.
"Mama tidak akan menyerahkan perusahaan mendiang ayahmu kalau kalian tidak segera memberi Mama cucu."
"Tidak bisa begitu dong, Ma." Alvaro berdecak kesal. Padahal sebelum meninggal sang ayah sudah berjanji akan memberikan perusahaan itu pada dirinya. Lagi pula dia sudah membuat Dinata Group berkembang pesat seperti sekarang.
"Mama beri waktu kalian satu tahun. Kalau tidak? Mama akan berikan perusahaan itu ke orang lain."
"Mama!" Kedua mata Alvaro sontak membulat. Waktu satu tahun terlalu cepat. Lagi pula Angela tidak mau hamil. Dia tidak mungkin bisa memberi Mama cucu dalam waktu satu tahun.
"Keputusan Mama sudah bulat," ucap Mama mengabaikan wajah kesal Alvaro. Sesekali Alvaro dan Angela memang perlu digertak agar mau menuruti permintaannya.
"Mama, Alvaro mohon. Apa tidak ada cara lain?" Alvaro mencoba membuat penawaran.
"Tidak ada." Mama menggelang tegas. "Menghamili istri itu bukan tindakan kriminal, Alvaro. Cepat buat Angela hamil maka Mama akan segera memberikan Dinata Group padamu. Selamat berjuang, Sayang." Mama mengusap pipi Alvaro sekilas sebelum beranjak pulang.
Alvaro mengusap wajah kasar. Sanggupkah dia mengabulkan permintaan Mama?
***
[ Bersambung ]
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di