Rasanya tidak lengkap jika pergi ke Korea Selatan tanpa membawa oleh-oleh. Sehari sebelum pulang Alvaro mengajak Cara ke Myeongdong. Di sana banyak berjajar toko-toko mewah yang menjadi tujuan utama wisatawan berkantong tebal untuk berbelanja seperti Alvaro. Salah satunya Lotte Departement Store. Tempat perbelanjaan itu menyediakan barang dari merek kelas dunia seperti Gucci dan Channel.
Alvaro membeli beberapa buah baju yang menurutnya cocok untuk Cara di salah satu butik paling besar yang ada di sana. Cara sebenarnya menolak karena baju yang dijual di butik tersebut dari merek terkenal dan harganya sangat mahal. Namun, Alvaro terus saja memaksanya agar mau menerima.
"Ini terlalu mahal, Tuan," desah Cara menahan kesal.
"Jangan banyak protes dan terima saja barang pemberianku!" tandas Alvaro tidak bisa dibantah. Lalu mengambil sebuah gaun berwarna merah maroon dengan potongan dada yang sedikit rendah untuk Cara.
Seharusnya mereka kembali ke Indonesia pagi tadi. Namun, Alvaro malah asyik berbaring di atas tempat tidur tanpa melakukan apa-apa sejak semalam.Cara tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki itu. Dia terlalu takut untuk bertanya karena suasana hati Alvaro sepertinya sedang tidak baik. Akhirnya dia membiarkan saja Alvaro melakukan apa pun sesuai dengan keinginannya sampai suasana hatinya kembali membaik.Alvaro pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sejak kemarin perasaannya mendadak gelisah dan tidak tenang. Apa lagi saat Cara berada di dekatnya. Setiap gerak-gerik gadis itu selalu berhasil menarik perhatiannya. Dia bahkan tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain.Tanpa Alvaro sadari Cara telah berhasil menarik perhatiannya. Padahal Cara hanya gadis biasa. Sifatnya kekanakan, ceroboh dan sedikit bodoh. Namun, entah kenapa gadis itu berhasil menyita seluruh pikiran juga perhatiannya.
Alvaro bergerak semakin cepat. Erangan dan desahan bergantian keluar dari mulut keduanya. "Oh, Caramell. Kamu begitu hangat ...." Tubuh Cara meremang hebat. Gadis itu sangat suka mendengar desahan yang keluar dari bibir Alvaro. Dia mengecup bibir Alvaro sekilas lalu mengusap peluh yang menetes di kening lelaki itu. Alvaro pun mempercepat gerakannya, membuat gadis yang berada di bawah tubuhnya menggelinjang penuh kenikmatan. "Mmhh ...." Cara merintih, Alvaro pun ikut mendesis. Dia mengisap kulit leher Cara kuat-kuat hingga meninggalkan tanda merah keunguan di sana dan semakin mempercepat tusukannya. Pinggul Cara bergoyang mengikuti gerakan Alvaro. Semakin cepat dan cepat. Gadis itu merasa ada sesuatu yang ingin meledak kembali dari dalam tubuhnya. Ruangan pun semakin terasa panas, padahal sudah ada pendingin di kamar mereka. Tubuh Cara dan Alvaro pun sudah basah dan lengket oleh keringat juga cairan cinta mereka. Tubuh Alvaro mengejang.
Alvaro dan Felix harus pergi kantor setelah selesai sarapan karena jam sepuluh nanti mereka ada rapat dengan klien penting untuk membahas produk terbaru yang akan dikeluarkan oleh perusahaan Dinata. Sementara Cara ingin pergi ke rumah sakit karena sangat merindukan sang ibu."Ingat, kabari aku kalau kamu sudah tiba di rumah sakit," pesan Alvaro sebelum berangkat ke kantor.Cara memutar bola mata malas. "Iya, Tuan Alvaro Dinata yang paling cerewet sedunia. Tuan sudah mengatakan hal itu sebanyak dua puluh kali. Saya pasti mengingatnya!" sungut Cara terdengar kesal.Felix yang sudah duduk di kursi belakang kemudi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Alvaro. Sahabatnya itu berubah 180 derajat setelah menikah dengan Cara. Alvaro yang dulu selalu dingin dan irit bicara pada siapa pun sekarang menjadi leb
"Dokter sudah gila?" Cara refleks berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja lumayan keras karena terkejut mendengar ucapan Kafka barusan. Apa yang istri kedua Alvaro itu lakukan berhasil mengundang perhatian beberapa pengunjung Dialoogi Space And Coffee. Cara pun segera meminta maaf karena sudah mengganggu kenyamanan mereka. "Maaf, kalau saya sudah membuat Dokter malu." Kafka mengangguk. "Aku mengerti, Caramell. Kamu pasti terkejut mendengar ucapanku barusan. Tapi aku sungguh-sungguh ingin menjadikanmu sebagai istriku." Dokter muda itu menatap Cara dengan lekat. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot matanya. "Bukankah Dokter Kafka sudah memiliki tunangan?" "Aku sudah membatalkannya," ucap Kafka dengan santai, tapi berhasil membuat Cara terkejut lagi. Gadis itu benar-benar tidak menyangka Kafka membatalkan perjodohannya dengan Andini. Padahal dokter anak itu memilik
Cara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, napasnya terengah menahan perasaan kesal bercampur gairah yang menunggu untuk dituntaskan. Rasanya dia ingin sekali menampar wajah tampan Alvaro karena sudah mempermainkannya sejak tadi. "I will give anything you want. Say it louder, Baby Girl." Alvaro mengecup bibir Cara dengan penuh sensual. Sementara tangannya tidak pernah berhenti menjamah tubuh molek Cara yang terbaring pasrah di bawahnya. Sentuhan demi sentuhan yang dia berikan berhasil membangkitkan gairah gadis itu. Lenguhan itu kembali lolos dari bibir Cara. Dia sangat menikmati sentuhan Alvaro pada bagian paling sensitif di tubuhnya. Kepalanya terasa pening, pandangan matanya pun berubah buram karena gairah yang sudah berada di ujung tanduk. "I want you fuckin me, Alvaro! Please ...." "Really?" Alvaro kembali mempermainkan Cara. Dia mengusap paha bagian dalam gadis itu sambil sesekali menyenggol bagian yang paling intim. "Iya." Cara terpekik-pekik kecil dibuatnya. Tubuh gadis itu
"Caramell!" Alvaro cepat-cepat membopongCara lalu membaringkan gadis itu di atas tempat tidur. Kepanikan tergambar jelas di wajah tampannya karena wajah Cara terlihat sangat pucat, badannya juga panas. "Caramell, hey ...," ucapnya sambil menepuk kedua pipi Cara pelan. "Emh ...." Cara bergumam lemah karena kepalanya terasa sangat berat. Pandangan matanya berkunang dan perutnya terasa kram. "Apa yang terjadi, Cara? Kenapa kamu bisa tergeletak di lantai? Apa kamu terpeleset saat keluar dari kamar mandi?" tanya Alvaro panik. Cara merasa sangat lelah. Seluruh tubuhnya terasa remuk karena bertempur dengan Alvaro selama dua jam. Dia berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi untuk membersihkan diri sambil berpegangan pada apa pun karena kedua kakinya gemetar. Namun, kepalanya tiba-tiba terasa sangat berat, jantung pun berdetak lebih cepat. Pandangan matanya berkunang dan bumi seolah-olah berputar. Akhirnya
Angela mengerjabkan kedua matanya perlahan karena mendengar ponselnya yang berada di atas meja samping tempat tidur bergetar. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya saat tahu siapa orang yang telah meneleponnya dini hari seperti ini."Siapa?" tanya Allendra dengan suara serak. Dia merasa sangat mengantuk karena baru tidur selama beberapa jam. Dia dan Angela baru saja melewati malam yang sangat panas dan penuh gairah.Aroma tubuhnya dan Angela pun bercampur menjadi satu. Bahkan jejak-jejak cinta mereka semalam masih membekas di tubuh kedua."Alvaro," jawab Angela lirih.Allendra mendengkus kesal lalu membenamkan wajahnya di leher Angela. "Untuk apa saudara kembarku yang bodoh itu menelepon?"Angel mengangkat kedua bahunya ke atas. "Aku tidak tahu.""Apa kau mau menerimanya?""Em ...." Angela tampak berpikir."Jangan diangkat." Alle
Felix mengerutkan dahi melihat Alvaro yang hari ini begitu semangat menyelesaikan pekerjaannya. Padahal biasanya Alvaro selalu meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan menyuruhnya untuk menyelesaikannya. Aneh sekali.Apa mungkin kepala Alvaro baru saja membentur sesuatu? Kenapa sahabatnya itu hari ini bertingkah sangat aneh?Alvaro menekan intercom di atas meja yang terhubung langsung dengan sekretarisnya. "Gabriella, tolong ambil berkas yang ada di ruanganku sekarang lalu berikan pada manager keuangan."Tidak lama kemudian seorang wanita masuk ke ruangan Alvaro untuk mengambil berkas. "Apa Anda ada perlu yang lain, Mr. Alvaro?""Tidak ada, Gabriella. Oh, iya, tolong atur ulang pertemuanku dengan Mr. Mahendra."Gabriella mengangguk. "Baik, Mr. Alvaro," ucapnya sebelum undur diri dari ruangan atasannya itu.Felix menghampiri Alvaro, lantas mendudukkan diri di kursi yang be