LOGINTubuh Pak Latief terlihat lemas, menahan sakit di sekujur tubuhnya. Hanya saja, masih ada satu kewajiban yang harus dia selesaikan sebelum ajal datang.
"Nak Liam, tadi kamu bilang akan mengabulkan semua permintaanku bukan?"
"Iya. katakan saja, Pak Latief mau apa?" Tanpa menaruh curiga.
Karena sejauh ini dia tak berpikir macam-macam akan permintaan Pak Latief nantinya, yang dia bayangkan hanya sejumlah uang yang pasti akan di minta darinya.
Hingga sebuah permintaan yang membuat Liam mengangkat wajahnya lalu memandang gadis cantik yang sedari tadi menangis di samping lelaki yang telah menyelamatkan dirinya.
"Apa? Bapak bilang apa tadi?"
"Iya, tolong nikahi anak saya sekarang!" Tangan Pak Latief meraih tangan Adistia.
Ini bukan sekedar permintaan imbalan atas apa yang telah Pak Latief lakukan kepada Liam. Lebih tepatnya sebuah permohonan agar Liam mau menyelamatkan nama baik dan harga diri anak semata wayangnya yang hampir gagal menikah sekarang.
"Apa, apa Bapak gill." Suara Liam menggantung.
Wajah penuh rasa bersalah seketika berubah jadi marah, setelah mendengar permintaan yang tidak masuk akal.
Begitu pula dengan wanita cantik yang sedari tadi menangis di samping Pak Latief, tangisan Adistia seketika terhenti saat mendengar permintaan Ayahnya.
"Kenapa Bapak bilang seperti itu? Mas Prabu sebentar lagi pasti datang, jadi Bapak tidak perlu menyuruh Mas ini menikahi Adistia."
DEG
'Aku pun juga tidak mau menikah denganmu.' Ucap Liam dalam hati saat mendengar penolakan Adistia.
"Prabu tidak akan datang Adistia."Sanggah Pak Latief.
Tangisan Adistia kembali pecah, perkataan Pak Latief benar-benar mematahkan hatinya. Ingin dia meyakinkan kembali bahwa Prabu akan datang setelah ini tapi sepertinya itu mustahil.
"Jadi bagaimana nak Liam? Apa pernikahan bisa segera kita langsungkan?"
Dengan suara berat dan nafas terengah, Pak Latief kembali kepada topik utama.
Mesti tadi dia sudah berjanji akan menuruti semua permintaan Pak Latief, namun jika hal itu untuk menikahi Adistia sepertinya Liam enggan mengabulkan.
"Apa harus dengan cara seperti ini?"
Wajah tampan Liam kembali merah padam, ketika orang yang menolongnya tiba-tiba meminta imbalan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Hingga terbesit sebuah pemikiran, bahwa dia sedang dimanfaatkan sekarang. Sialan, rasa iba dan kasihan seketika pudar.
Tangan Liam mengepal, meski rasa kesal mulai memenuhi hati tapi bayangan saat Pak Latief menyelamatkan dirinya beberapa waktu lalu kembali menghantui. Membuat rasa kemanusiaan dalam diri kembali meronta.
Harusnya tadi aku tidak berjanji untuk mengabulkan semua permintaan Pak Latief, kalau sudah seperti ini Liam sendiri yang kerepotan.
"Bapak mohon nikahi Adistia Nak Liam." Rengek lelaki paruh baya dengan beberapa luka di tubuhnya lagi.
"Bapak tahu Liam tidak mencintai dia tapi tolong demi kehormatan Adistia, Bapak tidak akan meminta imbalan lain selain hal ini."
"Tetapi Pak." Sanggah Liam. "Aku lebih baik memberi sejumlah uang dalam jumlah besar, daripada harus menikahi anak Bapak. Bukankah ini permintaan konyol?" Mimik wajah Liam terlihat menyebalkan. Sifat aslinya tanpa dia sadari keluar sendiri.
"Saya mohon Liam." Sekarang tangan penuh darah kering itu menggenggang erat tangan Liam, seoalah meminta agar permohonannya segera dikabulkan.
Hati wanita mana yang tak teriris ketika sebuah penolakan didengar langsung di hadapan, belum usai rasa sakit ditinggal Prabu pada hari pernikahan, kini hinaan kembali dia dapatkan dari lelaki yang diminta Bapaknya demi dalih menyelamat kehormatan dirinya.
"Cukup Pak." Adistia angkat bicara. "Jangan mengemis lagi!"
Sekarang netra Adistia menatap tajam ke arah Liam. "Memang kami orang tidak punya, tetapi bukan berarti anda bisa menyamakan saya dengan materi. Jika tidak ingin menikahi saya, cukup tolak dengan kata-kata yang baik saja." Ucap Adistia sambil menahan tangis.
Sudah miskin, galak, sombong pula, pantas saja calon pengantin prianya lari. Wajah Liam memerah ketika ada seorang wanita yang berani menyanggahnya, berbeda sekali dengan istrinya.
Liam menertawakan keadaan Adistia dalam hati.
"Adistia jangan seperti itu."
"Nak Liam, tolong maafkan anak saya." Mohon Pak Latif dengan napas terengah.
Meski Adistia dengan tegas mengungkapkan penolakannya, tetap saja Pak Latief bersikeras memohon agar Liam mengabulkan permintaannya.
"Saya mohon Liam, saya ingin menitipkan anak perempuan satu-satunya yang saya miliki kepada kamu sebelum saya pergi." Kata-kata Pak Latief makin tidak enak didengar.
'DEG'
Tanpa sengaja netra Liam dan Adisti langsung saling menatap, ada debar yang menggerakkan detak jantung mereka lebih cepat dari sebelumnya, tetapi entah karena apa? Mungkin mereka memikirkan hal yang sama.
"Bapak, mengapa Bapak bilang seperti itu?"
"Pak Latief, Pak Latief pasti sembuh. Dari pada berdepat masalah seperti ini lebih baik Bapak saya bawa ke Rumah Sakit saja." Bujuk Liam.
"Betul Pak, ayo kita ke rumah sakit saja sekarang!" Ajak Adistia juga.
Tetapi lelaki paruh baya itu kembali menolak niat baik mereka. Karena sejatinya yang Pak Latief inginkan bukanlah uang ataupun pengobatan melainkan pengganti pengantin laki-laki untuk sang putri.
Liam menundukkan sejenak kepalanya yang terasa berat, mencerna dan memikirkan masak-masak perihal perjodohan sepihak yang ditujukan untuknya oleh orang yang terkapar tak berdaya karena telah menolongnya.
Manik hitam Liam menoleh ke arah gadis lugu yang sedari tadi menunduk tak berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap wajah judes yang sejak awal Liam tampilkan di depan Adistia. Mesti tadi dia sempat membantah perkataan Liam, pada akhirnya Adistia menundukkan wajahnya lagi.
Sedangkan di sudut lain, ada Pak Latief yang makin terengah napasnya seperti menunggu ajal menjemput yang bisa datang kapan saja. Tatapannya mulai kosong, antara menahan sakit dan khawatir menunggu kepastian.
Sedih, kecewa, marah, kasihan bergemuruh jadi satu. Ketika harapan besar diserahkan Pak Latief di pundak Liam untuk menikahi putri semata wayangnya Adistia.
Lalu apakah Liam akan setuju dengan permintaan terakhir Pak Latief? sedang jauh di sana ada seorang wanita sudah yang menjadi tanggung jawabnya menanti kepulangan Liam Mahesa Wicaksana.
Meski janji sudah telanjur dia ucapkan, kendati begitu tetap saja batin Liam sulit untuk mengiyakan.
Namun jika dipikirkan kembali, sebuah pernikahan tidaklah sebanding dengan nyawa yang telah diselamatkan, hanya saja Liam sudah memliki istri yang sangat dia cintai. Sehingga permintaan ini seperti senjata makan tuan.
Beberapa menit berlalu, di dalam rumah masih saja belum menemukan titik temu.
Keheningan tanpa sebuah kesepatakan justru makin besar membayang. Padahal waktu seperti enggan menunggu di mana napas Pak Latief makin terasa berat, dan tangis Adistia makin terdengar terisak.
Liam berdiri, lalu berjalan mondar mandir tanpa tujuan, sesekali dia memijit keningnya yang mulai terasa pening. Kemudian langkahnya terhenti ketika pertanyaan kembali terlontar.
"Bagaimana Nak Liam?"
Esok hari.Adistia bersiap seperti yang di perintahkan Liam, mengenakan baju rapi dengan sedikit riasan. Dia duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Liam dengan penuh rasa cemas.Lutut Adistia terus bergerak tak beraturan, coba menetralkan rasa gugub yang mulai menjalar keseluruh badan. Tangannya mulai berkeringat, memikirkan tentang hal yang belum jelas dilakukan oleh Liam."Kamu sudah siap?" Diantara silaunya cahaya matahari suara berat laki-laki datang memecah keheningan.Pagi itu seperti yang dia katakan kemarin, Liam datang ke rumah untuk menjemput Adistia. Dia mendekati Adistia netranya menyisir di sekitar melihat dengan seksama wanita yang sekarang telah menjadi istri keduanya, namum netra tajam Liam tak melihat koper ataupun tas besar yang siap untuk dibawa."Apa kamu tidak akan membawa apa-apa?""Memangnya kita akan kemana?"Tangannya menarik tatanan rambut yang tak terlalu panjang itu ke belakang, menyamarkan rasa kesal karena Adista tidak juga merasa paham."Kemasi barangmu
Suara itu tidak asing di indera pendengaran Adistia, namun dia tidak yakin apakah itu orang yang sama dalam pikirannya."Kau butuh berapa? aku akan membayarnya."Liam datang tanpa permisi, saat senja pergi dan berganti malam dia datang seolah menjadi dewa penolong bagi Adistia.Hanya saja tawaran Liam tak lantas diiyakan begitu saja oleh Bibi Marni, matanya mengeryit menatap lelaki yang sekarang menjadi suami keponakannya itu. Sorot mata meremehkan jelas tersirat kala kulit keriput di sekitar mata Bibi Marni menyipit."Kamu mau membeli rumah ini?""Memangnya kamu mampu?"Bukan cuma Bibi Marni saja yang ragu, Adistia juga merasa begitu. Status Liam memang suaminya, tapi dia belum tahu latar belakang keuangannya sehingga wajar jika gadis berparas ayu itu juga ragu jika Liam mampu.Untuk saat ini sebagai seorang suami Liam memang belum bisa memberikan cinta kepada Adistia, namun Liam bisa mengganti hal lain dengan membantu mengembalikan rumah ini kepada pemiliknya yaitu Adistia.Tak mau
Ketika terbangun Adistia mendapati dirinya tengah berada di sebuah tempat yang tak asing bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa begitu kaku, bahkan hanya sekedar untuk digerakkan saja Adistia merasakan sakit.Sejenak dia terdiam membiasakan diri dengan rasa tidak nyaman ini, sembari menatap langit-langit serta dinding dengan foto dirinya bersama Prabu waktu masih pacaran dulu.Rasa sakit di seluruh tubuh tiba-tiba saja hilang digantikan rasa sakit hati yang masih membekas hingga kini. Memikirkan hal menyakitkan itu membuat tenggorakan Adistia terasa sakit, mungkin lebih tepatnya karena Adistia terlalu lama menangis hingga tenggorokannya terasa kering.Dengan tertatih dia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun tangannya menggantung, kala hendak membuka gagang pintu kamar. Adistia mendengar suara perdebatan, suara gemuruh yang berasal dari ruang tengah sangat jelas terdengar dan begitu menyakitkan."Adistia akan tinggal bersama kita."Pernyataan Paman Syam la
Adistia membatu di ambang pintu tak kala menyaksikan sang Ayah yang tengah terkapar tak berdaya. Dokter yang sedang berusaha keras menyadarkan Pak Latief dengan alat kejut juga tak luput dari pandangannya.Dia tahu ini pertanda buruk, perasaannya semakin tak karuan saat sang Ayah tak merespond sedikitpun usaha yang dilakukan oleh Dokter itu.Di ruangan itu semua terlihat sibuk, berjalan kesana kemari, bergantian mengambil sesuatu demi hal baik yang dia tahu untuk menyelamatkan nyawa.Namun Adistia tak melihat harapan itu ada, karena wajah menyesal dan putus asa jelas tergambar diantara para Dokter dan perawat yang menangani Ayahnya.Walau mereka mencoba dan mencoba lagi, pada akhirnya hasilnya tetap sama.Sampai suara samar terdengar dan hal itu seperti tamparan bagi Adistia. "21.10." Waktu kematian, ucap salah seorang Dokter.Tak lama setelah Pak Latief dinyatakan benar sudah tiada. alat bantu pernapasan dan segala yang menempel di tubuh lelaki paruh baya itu dilepas satu persatu. S
Dalam perjalanan pulang, kepala Liam dipenuhi bayangan Pak Latief saat menyelamatkan dirinya dari kecelakaan siang tadi. Ingin rasanya dia melupakan, tapi sisi kemanusiaan dalam diri menyeruak kembali. "Asss sial, kenapa harus minta menikahi anaknya." "Harusnya dia minta untuk diobati dan imbalan uang saja." Liam terus mengoceh menyalahkan diri sendiri dan Pak Latief sepanjang perjalanan. Hingga disebuah persimpangan dia menghentikan laju mobil yang dia kemudikan, lalu tanpa berfikir panjang Liam kemudian berbalik arah menuju tempat dimana istri kedua dan mertuanya dirawat. --- Rumah Sakit. "Akhirnya kamu datang juga." Terlihat sekali kelegaan diraut wajah Tama. Sebenarnya dia ingin mendaratkan genggaman tangannya ke muka tampan atasan serta sahabatnya ini, hanya saja Tama berusaha menahannya. "Dimana mereka?" Telunjuk tangan Tama mengarah pada salah satu ruangan. Detik setelahnya Liam sudah menghilang dari pandangan Tama, perasaan tidak nyaman menuntunnya untuk segera mene
Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan







