LOGIN"Bagaimana Mas Liam?" Tanya Adistia dengan suara sedikit bergetar.
Suara itu membuat mata tajam Liam menoleh ke sumber suara. Adistia yang awalnya menolak permintaan Bapaknya, sekarang hanya bisa pasrah tak berani melawan. Perasaannya sudah tidak karuan, ketika mendengar ucapan Pak Latief beberapa waktu lalu. Yang dia takutkan bukanlah gagal menikah lagi, melainkan kenyataan pahit jika Ayahnya benar-benar akan pergi meninggalkan dia seorang diri. Sehingga tanpa rasa malu sekarang dia juga mengejar Liam. Bahkan penolakan lelaki yang baru saja dia temui sekarang tak sedikitpun membuat dia gusar. Keadaan sang Ayah yang makin melemah membuatnya merintih, hingga butiran air bening terus mengalir meski Adistia sudah coba untuk menghentikan. "Baiklah, aku setuju." Jawab Liam singkat. Sebuah jawaban tak dinyana keluar begitu saja dari lisan lelaki tampan dengan tatapan yang sebenarnya membuat Adistia Latief merasa tidak nyaman. Pak Latief lega, kedua sudut bibirnya terangkat setelah mendengar hal yang membuatnya bahagia. Namun berbeda halnya dengan Adistia, sesungguhnya dia tidak suka akan hal ini. Netra teduh itu menatap lekang kepada lelaki tampan yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, menggantikan Prabu yang sekarang entah berada di mana rimbanya. "Tetapi ada syaratnya." Setelah keheningan sesaat, akhirnya Liam mengajukan kesepatan atas permintaan Pak Latief yang dia setujui. 'Ada apalagi ini?' Guman Pak Laief dalam hati. "Syarat, apa syaratnya Liam?" Liam mendekati Pak Latief dan juga Adistia. Senyum bahagia yang terukir di bibir Pak Latief seketika dia tarik kembali, pasalnya persyaratan yang diajukan Liam seperti memberartkan dirinya. Dia termenung sejenak dalam diam, memikirkan kembali persyaratan yang diajukan oleh Liam. "Bagaimana Pak?" Tanya Liam. "Ya, saya setuju." Jawab Adistia tanpa menunggu persetujuan Pak Latief. "Tapi Adistia." "Sudah Pak, kita jalani ini saja duhulu. Masalah bagaimana nanti, tidak ada yang pernah tahu." Akhirnya sebuah kesepakatan antara Liam, Adistia dan Pak Latief mereka setujui. Walau gurat kekecewaan tersirat di wajah Pak Latief tetapi Adiastia tetap ingin melanjutkan. Setelah beberapa saat, Liam keluar dan memanggil Tama. Sedangkan Adistia mencari Paman dan penghulu yang bertugas menikahkan dia dengan Prabu seharusnya beberapa waktu lalu. ---- Pernikahan tertutup di dalam rumah yang hanya di saksikan oleh Tama, Paman Syam dan juga penghulu pun akan segera mereka langsungkan. Tama tertegung sesaat, setelah Liam mengajaknya masuk dan menyampaikan sebuah maksud yang membuat bibirnya mengatup. "Kamu cukup diam, dan jadi saksi pernikahanku saja." Kata-katanya penuh penegasan. Pak Latief dan Adistia berbenah, mesti ini di luar keinginan tetapi ini sebuah pernikahan sehingga selayaknya mereka merapikan diri untuk menghargai pernikahan ini. Namun hal itu tak berlaku untuk calon mempelai pria sang pemilik nama Liam Mahesa Wicaksana. "Aku tidak perlu berganti baju, cukup seperti ini saja." Ucap Liam ketus. Adistia pun hanya bisa mengangguk karena dia tak punya kuasa apa-apa. Seharusnya pernikahan yang disaksikan banyak tamu undangan dan resmi baik secara agama dan negara adalah pernikahan yang diinginkan oleh Pak Latief. Namun karena satu dan lain hal, pernikahan yang sah secara agama saja baru bisa Liam dan Adistia langsungkan. Mengingat semua serba dadakan sehingga segala persyaratan tidak mungkin bisa Liam berikan. Meski demikian, saat paman Adistia masuk bersama Pak Penghulu, para tamu undangan yang masih ada di luar langsung beranggapan bahwa pernikahan akan tetap dilangsungkan, hanya saja mereka menyimpan banyak pertanyaan. Mulai dari siapa yang menjadi mempelai prianya? Karena ada dua lelaki asing yang masuk ke rumah Pak Latief tadi. Kemudian bagaimana keadaan Pak Latief sekarang? Dan banyak pertanyaan yang tentunya membuat beberapa tetangga penasaran. Beberapa kerabat yang kasihan akan nasib keluarga Pak Latief hanya bisa mendoakan dari luar, namun tak jarang beberapa tetangga seolah menertawakan akan nasib buruk yang menimpa Adistia secara bertubi-tubi. 'Pantas saja Prabu kabur pada hari pernikahan, mungkin keluarganya sadar jika Adisti itu bawa sial.' Cemooh salah satu tetangga yang kala itu didengar Tama saat dia hendak masuk ke dalam rumah. Jika di luar sedang riuh memperdebatkan pernikahan Adistia, suasana tenang berselimut kesedihan justru tergambar di dalam rumah Pak Latief. Liam yang masih menggunakan baju kotor sisa kecelakaan duduk berdampingan dengan Adistia. Di depan mereka ada Pak Penghulu dan Pak Latief yang duduk sembari menahan rasa sakit akibat kecelakaan. Serta di samping kanan dan kiri meja, ada Tama dan juga Paman Syam bertindak sebagai saksi dari masing-masing mempelai turut menyaksikan pernikahan dadakan ini. "Baiklah semua, apa sudah siap?" Tanya Pak penghulu. Adistia mengangguk, sedangkan Liam terpaku dengan pandangan menerawang entah apa yang dia pikirkan. "Bagaimana Mas Pengantin apakah sudah siap?" Liam tetap tak menjawab, lalu Tama menyenggol lengan Liam untuk menyadarkan lamunannya. "Pak, apa Bapak sudah siap?" Tepukan telapak tangan Tama ke lengan Liam membuat Liam tersadar bahwa jawabannya sedang di tunggu Pak Penghulu. "Iya bagaimana Pak?" "Apa pernikahan ini bisa dilanjutkan?" Raut wajah Pak Penghulu sedikit kesal. Yang pertama dia dibuat menunggu karena Prabu tak kunjung datang, sekarang ada Liam juga sepertinya masih gamang. Bukankah sebuah pernikahan sejatinya hal yang sakral, tetapi mengapa sekarang seperti terkesan ada sebuah paksaan hingga membuat pernikahan seperti sebuah permainan. "Jika masih belum yakin, lebih baik pernikahan ini ditunda dahulu." Wajah Pak Latief seketika jadi pucat kembali, gurat kekhawatiran tak bisa disembunyikan. "Tidak, kami sudah yakin untuk melanjutkan pernikahan ini." Potong Adistia. Tangan lembut dengan jemari runcing elok dipandang mata seketika berpindah untuk menggenggam tangan kekar yang ada di sampingnya. Manik hitam milik Liam lalu menoleh ke arah wanita ayu yang duduk di sampingnya. Liam kaget, dia bahkan mencoba menarik genggaman tangan Adistia, namun Adistai berusaha menahannya. Sebuah permohonan tanpa sebuah kata-kata. Sekarang giliran senyum manis namun palsu Adistia suguhkan di depan Liam, demi sebuah kepercayaan sang Penghulu jika pernikahan mereka lawak di lanjutkan. "Ayo Pak, kita lanjutkan." Adistia menjatuhkan harga dirinya, namun demi Pak Latief dia tidak peduli. Demi melihat senyum sang Ayah kembali, sebelum lelaki tampan yang ada di sampingnya berubah pikiran dan membatalkan pernikahan. Adistia berusaha menyakinkan Liam untuk melanjutkan pernikahan. Tak banyak yang bisa Liam lakukan selain menuruti kesepakatan yang dia buat sendiri. Walau dalam hati rasa bersalah bergemuruh menghantui, namun utang nyawa yang ingin dia bayar tak bisa dia tolak sekarang. Namun wajah Meriska sang istri tercinta seolah terus membayangi, membuat Liam kembali bimbang untuk melanjutkan pernikahan ke duanya dengan Adistia.Esok hari.Adistia bersiap seperti yang di perintahkan Liam, mengenakan baju rapi dengan sedikit riasan. Dia duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Liam dengan penuh rasa cemas.Lutut Adistia terus bergerak tak beraturan, coba menetralkan rasa gugub yang mulai menjalar keseluruh badan. Tangannya mulai berkeringat, memikirkan tentang hal yang belum jelas dilakukan oleh Liam."Kamu sudah siap?" Diantara silaunya cahaya matahari suara berat laki-laki datang memecah keheningan.Pagi itu seperti yang dia katakan kemarin, Liam datang ke rumah untuk menjemput Adistia. Dia mendekati Adistia netranya menyisir di sekitar melihat dengan seksama wanita yang sekarang telah menjadi istri keduanya, namum netra tajam Liam tak melihat koper ataupun tas besar yang siap untuk dibawa."Apa kamu tidak akan membawa apa-apa?""Memangnya kita akan kemana?"Tangannya menarik tatanan rambut yang tak terlalu panjang itu ke belakang, menyamarkan rasa kesal karena Adista tidak juga merasa paham."Kemasi barangmu
Suara itu tidak asing di indera pendengaran Adistia, namun dia tidak yakin apakah itu orang yang sama dalam pikirannya."Kau butuh berapa? aku akan membayarnya."Liam datang tanpa permisi, saat senja pergi dan berganti malam dia datang seolah menjadi dewa penolong bagi Adistia.Hanya saja tawaran Liam tak lantas diiyakan begitu saja oleh Bibi Marni, matanya mengeryit menatap lelaki yang sekarang menjadi suami keponakannya itu. Sorot mata meremehkan jelas tersirat kala kulit keriput di sekitar mata Bibi Marni menyipit."Kamu mau membeli rumah ini?""Memangnya kamu mampu?"Bukan cuma Bibi Marni saja yang ragu, Adistia juga merasa begitu. Status Liam memang suaminya, tapi dia belum tahu latar belakang keuangannya sehingga wajar jika gadis berparas ayu itu juga ragu jika Liam mampu.Untuk saat ini sebagai seorang suami Liam memang belum bisa memberikan cinta kepada Adistia, namun Liam bisa mengganti hal lain dengan membantu mengembalikan rumah ini kepada pemiliknya yaitu Adistia.Tak mau
Ketika terbangun Adistia mendapati dirinya tengah berada di sebuah tempat yang tak asing bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa begitu kaku, bahkan hanya sekedar untuk digerakkan saja Adistia merasakan sakit.Sejenak dia terdiam membiasakan diri dengan rasa tidak nyaman ini, sembari menatap langit-langit serta dinding dengan foto dirinya bersama Prabu waktu masih pacaran dulu.Rasa sakit di seluruh tubuh tiba-tiba saja hilang digantikan rasa sakit hati yang masih membekas hingga kini. Memikirkan hal menyakitkan itu membuat tenggorakan Adistia terasa sakit, mungkin lebih tepatnya karena Adistia terlalu lama menangis hingga tenggorokannya terasa kering.Dengan tertatih dia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun tangannya menggantung, kala hendak membuka gagang pintu kamar. Adistia mendengar suara perdebatan, suara gemuruh yang berasal dari ruang tengah sangat jelas terdengar dan begitu menyakitkan."Adistia akan tinggal bersama kita."Pernyataan Paman Syam la
Adistia membatu di ambang pintu tak kala menyaksikan sang Ayah yang tengah terkapar tak berdaya. Dokter yang sedang berusaha keras menyadarkan Pak Latief dengan alat kejut juga tak luput dari pandangannya.Dia tahu ini pertanda buruk, perasaannya semakin tak karuan saat sang Ayah tak merespond sedikitpun usaha yang dilakukan oleh Dokter itu.Di ruangan itu semua terlihat sibuk, berjalan kesana kemari, bergantian mengambil sesuatu demi hal baik yang dia tahu untuk menyelamatkan nyawa.Namun Adistia tak melihat harapan itu ada, karena wajah menyesal dan putus asa jelas tergambar diantara para Dokter dan perawat yang menangani Ayahnya.Walau mereka mencoba dan mencoba lagi, pada akhirnya hasilnya tetap sama.Sampai suara samar terdengar dan hal itu seperti tamparan bagi Adistia. "21.10." Waktu kematian, ucap salah seorang Dokter.Tak lama setelah Pak Latief dinyatakan benar sudah tiada. alat bantu pernapasan dan segala yang menempel di tubuh lelaki paruh baya itu dilepas satu persatu. S
Dalam perjalanan pulang, kepala Liam dipenuhi bayangan Pak Latief saat menyelamatkan dirinya dari kecelakaan siang tadi. Ingin rasanya dia melupakan, tapi sisi kemanusiaan dalam diri menyeruak kembali. "Asss sial, kenapa harus minta menikahi anaknya." "Harusnya dia minta untuk diobati dan imbalan uang saja." Liam terus mengoceh menyalahkan diri sendiri dan Pak Latief sepanjang perjalanan. Hingga disebuah persimpangan dia menghentikan laju mobil yang dia kemudikan, lalu tanpa berfikir panjang Liam kemudian berbalik arah menuju tempat dimana istri kedua dan mertuanya dirawat. --- Rumah Sakit. "Akhirnya kamu datang juga." Terlihat sekali kelegaan diraut wajah Tama. Sebenarnya dia ingin mendaratkan genggaman tangannya ke muka tampan atasan serta sahabatnya ini, hanya saja Tama berusaha menahannya. "Dimana mereka?" Telunjuk tangan Tama mengarah pada salah satu ruangan. Detik setelahnya Liam sudah menghilang dari pandangan Tama, perasaan tidak nyaman menuntunnya untuk segera mene
Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan







