Home / Romansa / Istri Kedua Naik Takhta / Bab.2 Kecelakaan yang direncanakan

Share

Bab.2 Kecelakaan yang direncanakan

Author: Anak Pertama
last update Last Updated: 2025-06-24 09:33:48

Beberapa saat sebelum Annisa datang.

"Mas awas Mass!!!!"

"Minggir! Ada mobil Mas!" Teriak Pak Latief.

Sebuah mobil melaju kencang ke arah lelaki muda yang belum dia kenal, wajahnya begitu tampan dengan pakaian rapi dan terlihat mahal.

Sebenarnya suara Pak Latief sudah kencang, namun entah mengapa lelaki muda pemilik nama Liam itu seperti tak mendengarnya.

Sedangnya jarak antara mobil dan Liam makin dekat, hingga akal sehat Pak Latief tak dia gunakan lagi, ketika melihat seseorang sedang terancam bahkan orang tersebut sama sekali belum dia kenal.

Motor yang seharusnya masih dia kendarai untuk melanjutkan misi mencari calon menantu dia tanggalkan begitu saja, bahkan tanpa sempat mematikan mesinnya juga.

Pak Latief berlari dengan sempongan menuju tempat Liam berdiri, dia mendorong pemuda itu agar tak tertabrak mobil yang melaju.

Dan kecelakaan akhirnya tak bisa terhindarkan, tubuh renta itu tak mampu ikut menghindar. Kencangnya laju kuda besi yang seharusnya menghantam Liam tampaknya salah sasaran, hingga membuat Pak Latief terkapar kerena kerasnya benturan.

Bagaimana tidak? Pak Latief seolah menjadi garda terdepan dan membiarkan tubuhnya menjadi tameng agar Liam tak menjadi korban kecelakaan yang seolah sudah direncanakan.

"Pak Latief." Ucap Lelaki yang berada di belakang kemudi. "Sial." Entah siapa lelaki itu, karena dia berlindung dibalik masker hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya.

Rencana yang disusun sedemikan rupa ternyata gagal karena Pak Latief datang sebagai pahlawan.

Waktu seperti berhenti sejenak sebelum akhirnya Liam menyadari bahwa dia telah di dorong oleh seseorang. Matanya menyisir ke arah kanan, di depannya terlihat lelaki tua penuh darah dan luka sedang merintih kesakitan.

"Ada apa ini?" Sepasang mata itu akhirnya menyadari. ada sebuah mobil Jip yang berada tepat di depan lelaki yang bebera saat mendorongnya tadi.

Liam buru-buru berdiri, karena suara mobil meraung hendak melarikan diri. Ternyata bukan hanya melarikan diri, mobil Jeeb yang dikendarai orang tidak dikenal itu kembali melaju ke arah Liam.

"Sialan." Untungnya Liam bisa menghindar.

"Tolong." Teriak kencang oleh Liam.

Mobil itu kembali gagal beraksi, namun sayang sebelum orang-orang berhasil menghenikannya, mobil tersebut sudah tancap gas pergi. Namun Liam sudah menandai mobil itu dengan melempar batu ke kaca belakang.

Netra tajamnya menyipit, merekam dalam ingatan plat nomor mobil yang hampir mencelakai dirinya.

Beberapa orang yang mendengar langsung berlari, ada yang mengejar mobil tersebut dan sebagian membantu Liam yang sedikit terkena goresan.

"Pak Liam, apa yang terjadi? Apa Bapak terluka?"

"Aku tidak apa-apa, tetapi sepertinya Bapak itu terluka parah." Jawab Liam dengan napas terengah-engah.

Mendengar hal itu beberapa pekerja yang menolong Liam lalu menolong Pak Latief segera. Tak terkecuali dengan Liam, dengan dibantu salah satu temannya, dia dibawa mendekat ke lelaki tua yang tak banyak bicara namun masih terlihat sadar.

"Bapak, apa Bapak bisa mendengar saya?" Tanya Liam, tubuh tinggi itu sedikit menunduk. mendekatkan kepala ke tubuh Pak Latief.

Pak Latief mengangguk.

Dalam diam Liam berpikir, hatinya sungguh merasa iba atas apa yang menimpa lelaki tua yang tidak mengenalnya.

Jelas - jelas mobil jeep tadi sengaja ingin mencelakainya, akan tetapi lelaki tua ini justru dengan rela menyelamatkan dia sehingga membuat dirinya sendiri celaka.

Hatinya bergemuruh, jika tidak ada bapak ini mungkin sekarang Liam sudah berada di alam yang berbeda.

"Bapak, apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan Bapak?"

Sejenak suasana menjadi hening, karena Liam seperti menjadi orang lain saat berbicara dengan orang asing ini. Tak seperti biasa, dingin, tegas angkuh dan terkesan sombong saat di depan para pekerja.

"Apa pun yang bapak minta akan saya berikan, sebagai ucapan terima kasih karena bapak telah menyelamatkan nyawa saya."

"Pak Liam? Bapak yakin?" Tanya salah teman yang masih memapahnya.

"Permisi, permisi." Suara wanita meringsek masuk ke kerumunan. Bahkan sebelum pertanyaan Tama sempat dijawab oleh Liam.

Beberapa orang yang coba menolong Pak Latief memberi jalan agar Annisa bisa mendekat.

"Ya Ampun Pak Latief." Teriak Annisa lalu menutup bibirnya.

Matanya menggenang cairan bening, setelah melihat kondisi Pak Latief yang cukup memilukan.

"Mbak kenal Bapak ini?" Tanya Tama.

Annisa segera mengangguk.

"Pak Latief kenapa bisa seperti ini?" Tangisan Annisa pecah.

"Ceritanya panjang, ayo kita bawa Bapak ini ke Rumah Sakit dahulu."

Liam memotong, hampir dia beranjak dari posisinya sekarang namun tangan penuh luka dan terasa dingin menggenggamnya. 

"Tidak usah Mas, antarkan aku pulang saja!" Ucap lirih Pak Latief.

"Tetapi Pak." Tolak Liam.

"Tolong." Pak Latief memohon.

"Tetapi kondisi Bapak seperti ini? Apakah tidak sebaiknya Bapak dibawa berobat dahulu."

Sama seperti Liam, Annisa pun melakukan hal yang sama. Sayangnya, ajakan Annisa juga ditolak Pak Latief, dia bersikeras untuk diantar kembali ke rumah saja.

****

Dengan di bantu Annisa sebagai penunjuk jalan, Pak Latief diantar pulang oleh Liam dan beberapa temannya.

Dan tak berapa lama, motor yang di kendarai Annisa sampai juga di rumah Pak Latief diikuti mobil yang dikemudikan oleh Tama.

Tampak beberapa orang yang datang ke hajatan ternyata belum enggan pulang. Seolah menyambut kedatangan Liam yang mengantar Pak Latief pulang.

"Mengapa banyak orang begini?" Tanya Liam kepada Tama.

Ketika dia sadar bahwa di rumah Pak Latief terhampar tenda dengan hiasan bunga dan janur yang membuat Liam sedikit bertanya.

Tama hanya bisa mengedikkan kedua bahunya. "Entahlah."

"Ayo kita masuk!" Ajak Annisa, karena sesampainya di sana, mereka tak kunjung turun dari mobil.

Pikir Adistia, mobil tersebut membawa rombongan besan dan Prabu, sehingga dia bergegas keluar untuk menyambutnya.

Namun kenyataan jauh dari bayangan, ketika dia melihat Ayahnya dipapah dua orang dengan kondisi bersimbah darah, tubuh Adistia pun langsung lemas seketika.

"Bapak, apa yang terjadii?" Tawa berubah jadi tangis.

Bukan cuma Adistia, beberapa tamu pun ikut menangis saat melihat kondisi Pak Latief. Dalam waktu yang hampir bersamaan nasib tak baik bertubu-tubi menerpa keluarga ini, hingga para sanak saudara dan tetangga ikut merasakan kesedihan mereka.

Mesti tak semua memiliki empati, ada juga yang terlihat tertawa dan bahkan menyinyir seperti manusia tak punya hati.

Kedatangan Pak Latief yang diantar Liam beserta kawan-kawan mengundang berbagai tanya, terlepas dari apa yang menimpa Adistia sebelumnya.

"Tolong bawa aku ke dalam rumah saja!" Ucap Pak Latief terbata.

Sesuai keinginan Pak Latief, dia pun di bawa ke dalam rumah. Akan tetapi ada yang aneh dari permintaan Pak Latief, dia meminta hanya Liam dan Adistia saja yang masuk ke dalam rumah, dan selebihnya diminta untuk menunggu di luar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.11 Menanggung resiko sendiri

    Esok hari.Adistia bersiap seperti yang di perintahkan Liam, mengenakan baju rapi dengan sedikit riasan. Dia duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Liam dengan penuh rasa cemas.Lutut Adistia terus bergerak tak beraturan, coba menetralkan rasa gugub yang mulai menjalar keseluruh badan. Tangannya mulai berkeringat, memikirkan tentang hal yang belum jelas dilakukan oleh Liam."Kamu sudah siap?" Diantara silaunya cahaya matahari suara berat laki-laki datang memecah keheningan.Pagi itu seperti yang dia katakan kemarin, Liam datang ke rumah untuk menjemput Adistia. Dia mendekati Adistia netranya menyisir di sekitar melihat dengan seksama wanita yang sekarang telah menjadi istri keduanya, namum netra tajam Liam tak melihat koper ataupun tas besar yang siap untuk dibawa."Apa kamu tidak akan membawa apa-apa?""Memangnya kita akan kemana?"Tangannya menarik tatanan rambut yang tak terlalu panjang itu ke belakang, menyamarkan rasa kesal karena Adista tidak juga merasa paham."Kemasi barangmu

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.10 Garda terdepan

    Suara itu tidak asing di indera pendengaran Adistia, namun dia tidak yakin apakah itu orang yang sama dalam pikirannya."Kau butuh berapa? aku akan membayarnya."Liam datang tanpa permisi, saat senja pergi dan berganti malam dia datang seolah menjadi dewa penolong bagi Adistia.Hanya saja tawaran Liam tak lantas diiyakan begitu saja oleh Bibi Marni, matanya mengeryit menatap lelaki yang sekarang menjadi suami keponakannya itu. Sorot mata meremehkan jelas tersirat kala kulit keriput di sekitar mata Bibi Marni menyipit."Kamu mau membeli rumah ini?""Memangnya kamu mampu?"Bukan cuma Bibi Marni saja yang ragu, Adistia juga merasa begitu. Status Liam memang suaminya, tapi dia belum tahu latar belakang keuangannya sehingga wajar jika gadis berparas ayu itu juga ragu jika Liam mampu.Untuk saat ini sebagai seorang suami Liam memang belum bisa memberikan cinta kepada Adistia, namun Liam bisa mengganti hal lain dengan membantu mengembalikan rumah ini kepada pemiliknya yaitu Adistia.Tak mau

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.9 Adistia diusir

    Ketika terbangun Adistia mendapati dirinya tengah berada di sebuah tempat yang tak asing bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa begitu kaku, bahkan hanya sekedar untuk digerakkan saja Adistia merasakan sakit.Sejenak dia terdiam membiasakan diri dengan rasa tidak nyaman ini, sembari menatap langit-langit serta dinding dengan foto dirinya bersama Prabu waktu masih pacaran dulu.Rasa sakit di seluruh tubuh tiba-tiba saja hilang digantikan rasa sakit hati yang masih membekas hingga kini. Memikirkan hal menyakitkan itu membuat tenggorakan Adistia terasa sakit, mungkin lebih tepatnya karena Adistia terlalu lama menangis hingga tenggorokannya terasa kering.Dengan tertatih dia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun tangannya menggantung, kala hendak membuka gagang pintu kamar. Adistia mendengar suara perdebatan, suara gemuruh yang berasal dari ruang tengah sangat jelas terdengar dan begitu menyakitkan."Adistia akan tinggal bersama kita."Pernyataan Paman Syam la

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.8 Kehilangan

    Adistia membatu di ambang pintu tak kala menyaksikan sang Ayah yang tengah terkapar tak berdaya. Dokter yang sedang berusaha keras menyadarkan Pak Latief dengan alat kejut juga tak luput dari pandangannya.Dia tahu ini pertanda buruk, perasaannya semakin tak karuan saat sang Ayah tak merespond sedikitpun usaha yang dilakukan oleh Dokter itu.Di ruangan itu semua terlihat sibuk, berjalan kesana kemari, bergantian mengambil sesuatu demi hal baik yang dia tahu untuk menyelamatkan nyawa.Namun Adistia tak melihat harapan itu ada, karena wajah menyesal dan putus asa jelas tergambar diantara para Dokter dan perawat yang menangani Ayahnya.Walau mereka mencoba dan mencoba lagi, pada akhirnya hasilnya tetap sama.Sampai suara samar terdengar dan hal itu seperti tamparan bagi Adistia. "21.10." Waktu kematian, ucap salah seorang Dokter.Tak lama setelah Pak Latief dinyatakan benar sudah tiada. alat bantu pernapasan dan segala yang menempel di tubuh lelaki paruh baya itu dilepas satu persatu. S

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.7 Akhirnya Adistia tahu

    Dalam perjalanan pulang, kepala Liam dipenuhi bayangan Pak Latief saat menyelamatkan dirinya dari kecelakaan siang tadi. Ingin rasanya dia melupakan, tapi sisi kemanusiaan dalam diri menyeruak kembali. "Asss sial, kenapa harus minta menikahi anaknya." "Harusnya dia minta untuk diobati dan imbalan uang saja." Liam terus mengoceh menyalahkan diri sendiri dan Pak Latief sepanjang perjalanan. Hingga disebuah persimpangan dia menghentikan laju mobil yang dia kemudikan, lalu tanpa berfikir panjang Liam kemudian berbalik arah menuju tempat dimana istri kedua dan mertuanya dirawat. --- Rumah Sakit. "Akhirnya kamu datang juga." Terlihat sekali kelegaan diraut wajah Tama. Sebenarnya dia ingin mendaratkan genggaman tangannya ke muka tampan atasan serta sahabatnya ini, hanya saja Tama berusaha menahannya. "Dimana mereka?" Telunjuk tangan Tama mengarah pada salah satu ruangan. Detik setelahnya Liam sudah menghilang dari pandangan Tama, perasaan tidak nyaman menuntunnya untuk segera mene

  • Istri Kedua Naik Takhta   Bab.6 Saya Suaminya

    Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status