"Mas, mau kemana?"
Sedikit risih dengan suara Adistia, tapi membuat Liam memalingkan pandangan ke wajah ayunya.
"Beri aku waktu lagi."
Lama Liam berdiri sambil sibuk dengan ponsel yang ada di genggaman, wajahnya penuh kekhawatiran karena sedari tadi seseorang yang ingin dia hubungi ternyata panggilannya selalu dialihkan.
Saking kesalnya hampir saja Liam membuang benda itu, hanya saja dia tahan. "Kemana dia sebenarnya?" Umpat Liam lirih.
"Liam." Panggil Pak Latief, saat dia menyadari Pak Penghulu sudah mulai gusar.
Namun Liam sepertinya tidak mendengar, tangannya malah kembali sibuk berselancar di layar ponsel yang dia pegang. Pandangannya tak mau beralih, terus menatap ke layar sembari menunggu jawaban.
Pak Penghulu yang mulai jemu kembali menggelengkan kepala, menghela napas ketika sebuah panggilan tak lagi dihiraukan.
Suasana yang mulai tidak nyaman memaksa Adistia untuk beranjak dari kursi, dengan sedikit tergesa dia mendekati Liam yang berdiri agak jauh dari mereka.
Rasanya memang sedikit aneh, ketika Adistia harus memaksa orang yang baru dia kenal untuk segera menikahinya. Namun semua itu dia tahan demi permintaan Pak Latief.
Sepertinya dia juga ragu, akan tetapi Adistia harus melakukannya.
"Pak Liam." Adistia memejamkan matanya, dia merasa ada yang salah dengan ucapannya. Giginya mengatup, agar suara tak terdengar kencang oleh beberapa orang yang ada disina. Tangannya pun mengepal kuat menahan segala rasa yang tak bisa dia lampiaskan.
"Maksudku Mas Liam."
Tatapan Liam sekarang beralih kepada Adistia, meski sesekali dia masih menatap ke bawah melihat apakah pesan yang dia kirim sudah berubah menjadi centang biru dua.
"Tolong, Pak Penghulu sudah menunggu?" Suara Adisti terdengar penuh penekanan.
Keadaan Liam sudah terkunci, semua tak bisa ditunda lagi. Pilihannya hanya satu yaitu segera menikahi Adistia.
Dia menoleh ke arah tiga lelaki yang sedang duduk di atas kursi, hingga Liam pun mulai tersadar bahwa kehadirannya sangat di tunggu sekarang.
Lalu benda pipih yang ada di tangannya perlahan dia pindahkan ke saku, karena sejatinya pesan yang dia kirim kepada seseorang hingga sekarang tak kunjung mendapat balasan.
Sebelum Pak Penghulu undur diri, Adistia bergegas kembali ke singgasana disusul Liam dengan wajah kusut bak baju yang belum disetrika.
"Tolong senyum sebentar!" Pinta Adistia, sebelum keduanya sampai di depan Pak Penghulu.
Detik setelahnya posisi Liam dan Adistia kembali seperti semula, sebelum dia meminta izin untuk menghubungi seseorang yang katanya sebentar namun pada akhirya cukup lama.
Namun kali ini Adistia kembali melakukan hal di luar prediksi, menggenggam tangan Liam dengan tujuan agar dia tidak lari lagi. Kali ini Liam tak lagi terkejut, dia pasrah dengan keadaan.
Setelah memaksa untuk segera dinikahi, lalu meminta agar Liam tetap tersenyum sekarang giliran dia menggenggam tangan lelaki yang tidak sedikitpun memiliki hati kepada Adistia.
Terlihat memalukan bukan? Tetapi Adisti tampak tidak peduli, walau awalnya penolakan dia utarakan namun demi Ayahnya semua akan dia lakukan.
"Mari Pak kita lanjutkan." Pinta Adistia kemudian menelan salivanya sendiri.
Ijab Qobul yang sempat tertunda beberapa saat lalu akhirnya terlaksana juga. Walau ada sedikit drama, namun pada akhirnya terlaksana.
Kini Liam dan Adistia resmi menjadi sebagai pasangan suami istri. Walau baru sah dalam Agama saja, namun setidaknya pernikahan yang hampir gagal karena Prabu melarikan diri akhirnya tetap terlaksana juga.
Meski dengan pengantin lelaki yang berbeda, setidaknya Adistia tidak jadi bahan pergunjingan tetangga lagi karena gagal menilkah pada hari ini.
Terlihat jelas gurat bahagia di wajah Pak Latief kala itu. Adistia ikut bahagia saat menyadarinya, akan tetapi tidak dengan lelaki di sebelahnya dia justru terlihat membeku.
Adistia sedikit menoleh ke samping untuk melihat keadaan Liam, benar buliran keringat sebesar biji jagung memenuhi wajah halus milik pria tampan itu.
"Baiklah, sekarang kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri secara Agama."
"Adistia, cium tangan suamimu karena mulai sekarang dia akan menjadi Imam dalam hidupmu!"
DEG
Tatapan Liam terlihat tak mengenakan, dipaksa menikah saja sudah seperti dijebak dan membuatnya tidak suka, apalagi sekarang dia harus merelakan punggung tangannya untuk dicium oleh wanita yang tidak dia cinta.
Dengan sedikit gemetar tangan kekar itu diraih oleh wanita cantik pemilik nama Adistia Latief untuk dicium sebagai tanda hormat seorang istri terhadap suami.
Bibir ranum itu mendarat di punggung tangan milik Liam. Waktu seperti berhenti sesaat, tubuh Liam terasa panas darahnya mendesir dan jantungnya pun berdetak dengan irama yang tak biasa.
Nafasnya pun sedikit berat tetapi dia sendiri tidak tahu karena apa?
Liam lalu menarik tangannya segera.
Setelahnya lantunan doa dan wejangan tak lupa Pak Penghulu sampaikan, walau singkat namun benar-benar mengena di hati Liam dan Adistia.
Bagaimana bisa dia menjaga sucinya pernikahan ini, sedangkan Adistia tahu rasa terpaksa dari awal hingga selesai acara pernikahan tak mampu Liam tanggalkan, namun Adistia tak mampu menyalahkan Liam.
Karena Liam terpaksa melakukannya hanya demi membalas budi kepada Pak Latief, di mana beliau rela berkorban demi menyelamatkan nyawa Liam beberapa waktu lalu.
Setelah semua usai dan sebelum siang menjadi sore, Paman Syam mengantar Pak Penghulu untuk keluar.
----
Di dalam rumah.
Ponsel yang ada di saku celana Liam bergetar, mesti deringnya tidak terlalu kencang namun dia bisa merasakan getarannya.
Liam mengambil ponsel itu segera, seperti tidak sabar untuk membaca pesan yang masuk.
Namun entah apa isi pesan tersebut? tiba-tiba saja wajah Liam langsung memerah. Dia menutup ponsel dengan tergesa lalu ijin untuk meninggalkan acara.
"Maaf, saya ada urusan penting. Saya harus segera pergi sekarang!"
"Tetapi Liam!" Cegah Pak Latief. "Kalian baru saja menikah."
Adistia dan Tama nampak kebingungan, candaan apalagi yang akan Liam suguhkan. Belum juga genap satu jam Ijab Qobul diucapkan, kini dia sudah meminta izin untuk pergi.
"Iya saya tahu Pak Latief, tetapi bukankah yang Bapak minta hanya menikahi anak Bapak saja, jadi saya rasa ini sudah cukup!" Bentak Liam kali ini.
Adistia tercekat mendengar Liam membentak Ayahnya.
Padahal baru saja Ayahnya mengulas senyum di bibir, tapi sekarang wajahnya kembali sendu dengan wajah pucat mengkhawatirkan.
Tama menutup bibirnya, akhirnya dia melihat Liam kembali ke sifat aslinya.
Namun rasa iba tak mampu dia tepiskan, ketika melihat Pak Latief makin kesulitan bernafas setelah perkataan Liam yang menyakitkan.
Melihat Ayahnya yang kesulitan bernapas, Adistia langsung mendekat untuk memeluk Ayahnya.
"Bapak." Teriak Adistia.
Tiba-tiba keadaan Pak Latief memburuk lagi, sementara itu Liam tetap bersikap tidak perduli.
Namun langkahnya terjeda ketika Adistia memanggil Liam, sembari menatap tajam dengan penuh permohonan.
Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan
"Mas, mau kemana?"Sedikit risih dengan suara Adistia, tapi membuat Liam memalingkan pandangan ke wajah ayunya."Beri aku waktu lagi."Lama Liam berdiri sambil sibuk dengan ponsel yang ada di genggaman, wajahnya penuh kekhawatiran karena sedari tadi seseorang yang ingin dia hubungi ternyata panggilannya selalu dialihkan.Saking kesalnya hampir saja Liam membuang benda itu, hanya saja dia tahan. "Kemana dia sebenarnya?" Umpat Liam lirih."Liam." Panggil Pak Latief, saat dia menyadari Pak Penghulu sudah mulai gusar.Namun Liam sepertinya tidak mendengar, tangannya malah kembali sibuk berselancar di layar ponsel yang dia pegang. Pandangannya tak mau beralih, terus menatap ke layar sembari menunggu jawaban.Pak Penghulu yang mulai jemu kembali menggelengkan kepala, menghela napas ketika sebuah panggilan tak lagi dihiraukan.Suasana yang mulai tidak nyaman memaksa Adistia untuk beranjak dari kursi, dengan sedikit tergesa dia mendekati Liam yang berdiri agak jauh dari mereka.Rasanya memang
"Bagaimana Mas Liam?" Tanya Adistia dengan suara sedikit bergetar.Suara itu membuat mata tajam Liam menoleh ke sumber suara.Adistia yang awalnya menolak permintaan Bapaknya, sekarang hanya bisa pasrah tak berani melawan. Perasaannya sudah tidak karuan, ketika mendengar ucapan Pak Latief beberapa waktu lalu.Yang dia takutkan bukanlah gagal menikah lagi, melainkan kenyataan pahit jika Ayahnya benar-benar akan pergi meninggalkan dia seorang diri.Sehingga tanpa rasa malu sekarang dia juga mengejar Liam.Bahkan penolakan lelaki yang baru saja dia temui sekarang tak sedikitpun membuat dia gusar.Keadaan sang Ayah yang makin melemah membuatnya merintih, hingga butiran air bening terus mengalir meski Adistia sudah coba untuk menghentikan."Baiklah, aku setuju." Jawab Liam singkat.Sebuah jawaban tak dinyana keluar begitu saja dari lisan lelaki tampan dengan tatapan yang sebenarnya membuat Adistia Latief merasa tidak nyaman.Pak Latief lega, kedua sudut bibirnya terangkat setelah mendengar
Tubuh Pak Latief terlihat lemas, menahan sakit di sekujur tubuhnya. Hanya saja, masih ada satu kewajiban yang harus dia selesaikan sebelum ajal datang."Nak Liam, tadi kamu bilang akan mengabulkan semua permintaanku bukan?""Iya. katakan saja, Pak Latief mau apa?" Tanpa menaruh curiga.Karena sejauh ini dia tak berpikir macam-macam akan permintaan Pak Latief nantinya, yang dia bayangkan hanya sejumlah uang yang pasti akan di minta darinya.Hingga sebuah permintaan yang membuat Liam mengangkat wajahnya lalu memandang gadis cantik yang sedari tadi menangis di samping lelaki yang telah menyelamatkan dirinya."Apa? Bapak bilang apa tadi?""Iya, tolong nikahi anak saya sekarang!" Tangan Pak Latief meraih tangan Adistia.Ini bukan sekedar permintaan imbalan atas apa yang telah Pak Latief lakukan kepada Liam. Lebih tepatnya sebuah permohonan agar Liam mau menyelamatkan nama baik dan harga diri anak semata wayangnya yang hampir gagal menikah sekarang. "Apa, apa Bapak gill." Suara Liam mengga
Beberapa saat sebelum Annisa datang. "Mas awas Mass!!!!" "Minggir! Ada mobil Mas!" Teriak Pak Latief. Sebuah mobil melaju kencang ke arah lelaki muda yang belum dia kenal, wajahnya begitu tampan dengan pakaian rapi dan terlihat mahal. Sebenarnya suara Pak Latief sudah kencang, namun entah mengapa lelaki muda pemilik nama Liam itu seperti tak mendengarnya. Sedangnya jarak antara mobil dan Liam makin dekat, hingga akal sehat Pak Latief tak dia gunakan lagi, ketika melihat seseorang sedang terancam bahkan orang tersebut sama sekali belum dia kenal. Motor yang seharusnya masih dia kendarai untuk melanjutkan misi mencari calon menantu dia tanggalkan begitu saja, bahkan tanpa sempat mematikan mesinnya juga. Pak Latief berlari dengan sempongan menuju tempat Liam berdiri, dia mendorong pemuda itu agar tak tertabrak mobil yang melaju. Dan kecelakaan akhirnya tak bisa terhindarkan, tubuh renta itu tak mampu ikut menghindar. Kencangnya laju kuda besi yang seharusnya menghantam Liam tampa
"Pernikahan Adistia dan Prabu gagal.""Kenapa?""Pengantin pria sampai sekarang belum datang."Ceteluk salah satu tetangga yang sedang duduk tak jauh dari Pak Latief.Hari di mana seharusnya Adistia menjadi ratu sehari, justru menjadi perguncingan tetangga tanpa henti.Pasalnya sampai diwaktu yang ditentukan di mana Ijab khobul harusnya digemakan nyatanya hingga jam di dinding menyentuh angka 12 siang, sang pengantin pria beserta keluarga tak kunjung tampak batang hidungnya.Suasana makin memanas, tatkala sayu terdengar omongan para tetangga bahwa pengantin pria yang memiliki nama Prabu kabur tanpa penjelasan barang sepatah kata saja."Bapak, bagaimana ini?"Raut gelisah mulai tak dapat ditutupi Adistia. Takut sudah tentu pasti, sedih apalagi, namun dia masih coba berprasangka baik dan berharap Prabu akan datang pada hari yang telah mereka berdua sepakati.Namun kesedihan yang coba disembunyikan Adistia tak mampu dia tutupi dari Ayahnya. Hingga memaksa Ayah Adistia pergi."Sebentar, k