“Saya ingin Neina menjadi istri ke-2 untuk cucu saya, Bu Lela,” ucap pria yang duduk di seberang kursi kayu yang diduduki oleh Bu Lela, nenek Neina.
Bu Lela yang mendapati permintaan tak masuk akal dari pria yang disegani di seberang tempatnya duduk itu terkejut. Bu Lela menatap tak percaya ke arah pria yang tak lain adalah Daniswara.
Pria terhormat yang disegani di kalangan pemilik bisnis hebat. Daniswara Sakti, dikenal sebagai pendiri DS Company, yang merajai bisnis di dalam dan luar negeri.
“Apa maksud Bapak?” tanya Bu Lela tak percaya.
Daniswara mengangguk, dengan senyuman yang sangat tipis. “Ya, saya ingin meminang cucu anda, Neina Zalika, untuk menjadi istri kedua dan calon istri satu-satunya cucu saya, Dipta Kaindra.”
Daniswara sangat yakin dengan keputusan yang memang sudah ia rencanakan sejak Neina masih kecil.
Bu Lela masih begitu syok dengan keinginan tak masuk akal untuk orang sepertinya ini. Ya, Bu Lela yang hanya bagai butiran debu, mendapat permintaan agar cucunya menikah dengan orang yang luar biasa yang ia kenal.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa memutuskan. Soal jodoh Neina, saya serahkan sepenuhnya pada anak itu sendiri. Saya tidak ingin ikut campur.”
Bu Lela tentu saja tahu, jika Keandra, cucu Daniswara sudah beristri. Jika ia menerima permintaan Daniswara. Itu sama artinya, membuat kehidupan cucunya menjadi istri ke-2 dari keluarga Daniswara Sakti.
“Anda tenang saja Bu Lela. Saya tahu, jika anda cemas, sebab Neina akan menjadi istri ke- Keandra. Saya bisa jamin, jika kehidupan Neina akan sangat baik dan saya pastikan jika cucu anda akan bahagia.” Sebuah janji yang Daniswara lakukan untuk kehidupan Neina.
Ia tak akan membiarkan Neina dalam kesulitan dan memastikan jika Neina akan mendapatkan hak yang jauh lebih baik dari istri pertama Keandra.
Suara salam memecah pembicaraan menegangkan di antara Bu Lela dan Pak Daniswara. Neina yang datang sepulang kerja dan mendapat sambutan senyum dari orang-orang yang ada di ruang tamu sederhana tersebut.
“Pak Daniswara,” ujar Neina terkejut yang mendapat anggukan dan senyum ramah dari orang tersebut.
“Baru pulang, Nak?” tanya Daniswara ramah pada Neina.
“Iya, Pak. Bapak datang–”
“Saya kebetulan lewat di sekitar sini. Maka, saya mengajak Pak Aji untuk bersilaturahmi ke sini.” Tatapan mata Daniswara tertuju pada seorang pemuda di belakang Neina.
Neina mengikuti arah tatapan mata tamunya, dan ia pun mengenalkan Raka pada Pak Daniswara.
“Ini Mas Raka. InsyaAllah, dalam waktu dekat kami akan segera menikah,” ucap Neina pada Daniswara.
Neina mengenalkan Raka sebagai calon suaminya pada tamunya. Daniswara tidak terkejut atas kabar yang Neina beri untuknya itu. Sebab ia sudah tahu semua kehidupan yang terjadi pada wanita muda yang ingin ia jadikan cucu menantunya itu.
Raka mengenalkan diri, tak lama ia pun pamit sebab tak ingin mengganggu urusan pria yang sedang bertamu ke rumah kekasihnya.
Setelah memastikan Raka menghilang dari rumah Neina. Daniswara menatap teduh dengan senyum penuh arti pada Neina yang sudah ikut bergabung duduk bersama mereka. Ia pun kembali mengutarakan niatnya yang dengan sengaja datang ke rumah sederhana Neina ini.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya sudah punya kekasih dan saya juga tidak akan menjadi wanita pengganggu di pernikahan Pak Keandra dan istrinya,” tolak Neina penuh ketegasan.
Bukan tanpa alasan Neina melakukan itu. Apa kata semua orang di kantor. Jika sampai ia menikah dengan Keandra, sama artinya membuktikan tuduhan buruk yang selama ini terjadi padanya.
“Tapi saya tidak menerima penolakan, Nak. Saya menuntut balas budi darimu. Kamu jangan lupa untuk semua hal yang sudah saya lakukan untukmu dari sejak kamu usia 5 tahun.”
“Saya akan bayar dengan bekerja seumur hidup di tempat anda, Pak,” tegas Neina dengan keputusannya.
“Tapi saya tidak butuh itu. Saya hanya butuh kamu sebagai cucu menantuku. Bukan yang lain.”
Jika Neina bersikeras dengan keputusannya yang menolak permintaan Daniswara. Daniswara pun sama, ia bersikukuh untuk mendapatkan keinginannya.
Malam ini, menjadi malam terburuk sepanjang hidup Neina. Ia tak mampu memejamkan mata. Sama sekali tidak menyangka, jika dirinya akan mendapatkan persoalan yang sangat rumit meski ia telah menolak mentah-mentah. Tapi selembar surat sertifikat rumah yang menuntut bayar, sebab ia masih menunggak. Justru sudah beralih atas nama dirinya. Dan Neina tidak mau menerima.
Neina bingung harus melakukan apa. Dirinya terhimpit dalam keputusan yang begitu rumit. Hingga pagi, Neina sama sekali tak mampu memejamkan mata untuk beristirahat. Ia segera bersiap sepagi mungkin, sebab ada urusan penting yang akan ia lakukan sebelum pergi ke kantornya.
“Apa kau yakin tidak ingin mempertimbangkan lagi keputusanmu, Nak?” tanya sang nenek penuh kecemasan. Karena, yang mereka hadapi saat ini bukanlah orang sembarangan. Mereka dapat melakukan hal terburuk sekalipun demi memenuhi keinginannya.
“Neina yakin, Nek. Nenek tenang saja, yang penting nenek tidak keberatan jika kita hidup lebih sederhana lagi setelah keluar dari tempat ini ya.” Neina meyakinkan neneknya, jika mereka akan baik-baik saja.
Neina sudah bulat dengan penolakan yang dia putuskan. Lagi pula, ia akan segera menikah dengan Raka. Maka tak mungkin jika dirinya harus mengecewakan pria yang sepenuhnya telah mengisi hatinya.
“Nenek tak masalah untuk hal itu. Nenek hanya mencemaskanmu saja,” ungkap Bu Lela mendukung apapun yang Neina lakukan. Biar bagaimanapun, ia tidak bisa memaksa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan sang cucu.
Neina merasa lega, ia pun pamit menuju ke sebuah komplek elit dengan pemeriksaan ketat saat akan memasuki kawasan tersebut. Neina menunjukkan id card perusahaannya, setelah satpam melihat. Neina dipersilahkan untuk masuk ke kawasan tersebut.
Neina dipersilahkan masuk menuju ke mansion mewah yang baru dilihatnya untuk pertama kali. Di antar seorang pengawal untuk bertemu Daniswara pagi-pagi sekali.
“Apa kamu sudah sarapan, Nak?” tanya Daniswara penuh perhatian. Bahkan, Neina tetap memilih berdiri meski sudah diminta duduk oleh sang pemilik rumah.
“Saya ingin mengembalikan ini, Pak. Maaf, saya tidak bisa menerimanya.”
Neina mengulurkan sebuah map yang berisi sertifikat rumah. Menaruh di atas meja, menolak pemberian rumah kontrak tempat Neina tinggal yang diberikan oleh Daniswara semalam.
Daniswara tetap pada sikap tenangnya. Ia yang duduk bersebrangan dengan Neina itu pun menjawab, “itu milikmu. Haram bagi saya, menerima kembali sesuatu yang sudah saya beri untuk orang lain.”
“Tapi kami tidak bisa menerimanya. Saya dan nenek memutuskan akan keluar dari rumah itu sesegera mungkin,” jawab Neina bersikeras dengan penolakannya.
Ia tak akan goyah dengan keputusannya. Harta yang diberi oleh Daniswara tak akan mampu membeli keputusannya.
“Urusan saya sudah selesai. Saya mohon pamit.”
Baru saja Neina beranjak beberapa langkah. Suara Daniswara mampu menghentikan kembali langkahnya.
“Jadi itu keputusanmu?” suara berat Daniswara menggema pelan, tapi berwibawa. “Kau menolak tawaran pernikahan dengan Keandra?”
Neina berbalik dan menatap Daniswara yang mulai tak bersahabat wajahnya. “Saya tidak bisa, Pak. Saya tidak akan masuk ke dalam pernikahan orang lain yang rumah tangganya baik-baik saja. Hati saya menolak.”
Suara hatinya gemetar, tapi mulutnya tetap teguh. Ia tahu resikonya. Menolak perintah Daniswara bukan hanya melawan kekuasaan—tapi juga menginjak utang budi yang sudah melekat sejak kecil.
Daniswara menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya bertaut di atas lengan sofa mewahnya. “Kau tahu, Neina. Saya tidak pernah memaksakan sesuatu tanpa alasan. Kalau aku menyuruhmu menikah dengan Keandra, itu karena aku tahu kau bisa menjadi penyeimbang baginya. Istrinya yang pertama tidak bisa memberinya keturunan. Keandra butuh penerus, dan kau... kau anak yang cerdas, berpendirian, dan—”
“—dan saya bukan boneka.” Suara Neina memotong tajam. “Saya memang berhutang pada anda. Tapi saya tidak bisa membayar utang budi dengan mengorbankan masa depan saya sendiri.”
Dada Daniswara mulai naik turun. Kerut di keningnya mengeras. “Utang budi tidak dibayar dengan uang atau kerja keras semata. Utang budi dibayar dengan budi pula.”
“Dan saya tetap pada janji dan keputusan saya. Maaf, kalau saya lancang,”
“Kau__”
Belum juga Daniswara melanjutkan kalimatnya. Wajah pria tua itu sudah menegang.
Neina yang mendadak panik, “Pak?”
“Aku... tidak...” Daniswara menatap Naina, seolah meminta bantuan dengan tangan kanan memegang bagian dada kirinya.
“Pak Daniswara?!” Neina beranjak mendekat. “Pak! Ada apa? Pak!”
“Pak! Bapak kenapa? Tolong! Siapa pun! Tolong!!”
Neina berteriak di mansion mewah tersebut. Meminta bantuan pada siapa pun yang ada di sana.
Ketika langkah kaki Neina turun dari mobil itu, lantai batu alam yang mengkilap seakan memantulkan suara debaran jantungnya. Rumah itu sangat mewah, terlalu besar dan terlalu asing baginya. Dinding-dinding putihnya berdiri megah, berjendela besar dengan teralis besi hitam bergaya industrial. Tak ada kesan ramah, tak ada sambutan hangat. Rumah itu dingin—dan mencerminkan tuan rumahnya.Beberapa orang pelayan segera datang dari arah pintu utama. Salah satu dari mereka, seorang perempuan berusia empat puluhan, tersenyum ramah. Ia melangkah maju. Raut wajahnya begitu hangat, seolah mencoba menepis dinginnya suasana. “Selamat datang, Nona Neina,” sapanya lembut, suaranya menenangkan. “Saya Bi Raras. Saya yang akan membantu Nona selama di sini. Jika Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan memberitahu saya.”Senyum ramah Bi Raras sedikit meredakan ketegangan yang mendera Neina. Setidaknya, ada satu wajah yang tidak memancarkan permusuhan di tempat ini. Ia mengangguk samar, mencoba membala
"Kebencian bisa berubah menjadi cinta, Neina. Dan cinta bisa melahirkan keturunan," balas Pak Daniswara, matanya menatap tajam, seolah menembus dinding pertahanan Neina. "Kau harus bisa meluluhkan hatinya. Membuatnya melihatmu bukan hanya sebagai anak yatim piatu yang Kakek tolong, tapi sebagai wanita yang pantas mendampinginya. Wanita yang akan memberinya keturunan."Neina merasa mual. Ini bukan tentang cinta, bukan tentang masa depan yang indah. Ini tentang sebuah misi. Sebuah tugas yang diberikan oleh seorang pria sekarat, yang entah bagaimana caranya, telah mengikatnya dalam perjanjian yang tak bisa ia hindari."Tapi kenapa harus Neina, Kek? Kenapa bukan wanita lain? Pak Keandra sudah memiliki istri juga. Pak Keandra bisa mendapatkan itu dari Bu Olivia …”“Itu tidak akan terjadi, Neina. Kau harus menjadi satu-satunya wanita yang menjadi istri Keandra. Bukan wanita lain. Dan kau satu-satunya wanita yang pantas memberi keturunan untuk Keandra. Bukan yang lain.” Pak Daniswara berkat
Sunyi menyelimuti ruangan VIP rumah sakit malam itu. Hanya suara detak jam dinding dan alat bantu pernapasan yang mengiringi percakapan dua insan berbeda generasi. Pak Daniswara terbaring lemah, namun wajahnya tampak cerah saat melihat sosok yang baru saja membuka pintu dan melangkah masuk dengan perlahan."Neina," sapa Pak Daniswara lirih, senyum hangat terukir di wajah tuanya. Meski tubuhnya dibelenggu oleh infus dan selang oksigen, matanya bersinar seperti ada harapan yang kembali menyala.Neina duduk di kursi tunggal di samping ranjang perawatan. Ia tersenyum sopan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang sejak tadi membuncah di dadanya."Pak Daniswara... bagaimana keadaan Bapak sekarang?” tanyanya sopan.Pak Daniswara mengangkat tangannya lemah, lalu menggenggam tangan Neina dengan erat. “Kakek.” “Mulai sekarang, panggil aku... Kakek. Karena kamu sudah menjadi cucuku."Neina tersentak pelan. Ia menarik nafas dalam, mencoba memahami ucapan itu. "Kakek..."Semua yang dilakukan oleh
“Nona Neina sekarang sudah menjadi bagian keluarga Daniswara. Kamu harus mulai belajar menjaga sikap, Felix,” tegur Pak Aji yang mendapati sikap terkejut Felix.Felix tersenyum canggung, menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. “Buat apa kau bawa dia ke sini?” tanya Keandra tajam pada Pak Aji yang datang bersama Neina. Tatapan mata yang sangat tidak bersahabat yang menyambut kehadiran Neina di depan ruang perawatan kakeknya itu. Neina menegakkan tubuh. "Saya datang untuk menjenguk Pak Daniswara.""Dengan alasan apa? Menjenguk? Jangan mengada-ada," sindir Keandra. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Kau pikir aku tidak tahu?"Neina mengerutkan dahi. "Tahu apa, Pak Keandra?""Bahwa kau punya niat tersembunyi. Kau pikir kedekatanmu dengan kakekku bisa memberimu akses ke warisan? Atau jabatan di perusahaan yang lebih tinggi lagi? Kau pikir akan bisa masuk dengan seenaknya di keluargaku. Bahkan, kehadiranmu bagai racun mematikan di keluargaku."Tajam. Sangat tajam setiap kata yang
“Kenapa malam-malam, Pak. Besok pagi saya akan mampir lebih dulu ke rumah sakit, sebelum ke kantor,” tolak Neina yang bahkan dirinya baru tiba di rumahnya sepulang bekerja.“Saya hanya menjalankan tugas, Nona.” Kalimat yang Pak Aji ucapkan baru saja itu seolah tak mampu untuk dibantah kembali. Pria paruh baya itu duduk dengan tenang namun penuh teka-teki dari sorot wajahnya, siluetnya diterpa cahaya lampu yang menyala. Ada sesuatu dalam sikapnya, dalam keheningan yang menyelimuti, yang membuat naluri Bu Lela menjerit."Bu Lela," suara Pak Aji memecah keheningan, rendah dan berat, seolah setiap katanya menanggung beban yang tak kasat mata. "Saya ingin membicarakan sesuatu."Bu Lela merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia meletakkan cangkir tehnya perlahan, bunyi 'klik' porselen itu terdengar nyaring di antara mereka. "Ada apa, Pak Aji?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun ada gemuruh badai di dalam dadanya.Pak Aji, tatapannya bertemu dengan Bu Lela, bergant
Pintu mobil terbuka, dan seorang pria berjas rapi melangkah keluar. Usianya sekitar akhir lima puluhan, rambutnya tersisir klimis, dan sorot matanya tajam namun sopan. Ia tersenyum hangat, saat tatapan matanya bertemu dengan Neina. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang entah mengapa terasa dingin, seperti sapuan angin musim gugur yang membawa serta berita penting yang tak terduga.Langkah pria itu tenang namun penuh wibawa saat ia berjalan mendekat. Neina mengenali wajah itu. Pak Aji. Asisten pribadi Pak Daniswara, pria yang tak pernah absen mendampingi konglomerat itu dalam setiap acara resmi maupun urusan pribadi. Kehadirannya di sini, di ambang pintu pagar rumahnya, adalah anomali yang membingungkan sekaligus mencekam. Apa yang membawa orang sepenting Pak Aji ke tempatnya lagi? Dan kali ini, kehadiran pria itu seorang diri. Tidak bersama Tuannya yang Neina tahu, jika dia sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Bu Lela, yang tadinya sibuk melipat sarung di ruang te