Pintu kaca ruang kerja Neina terbuka mendadak, menghasilkan decitan pelan yang memecah kesunyian pagi. Neina, yang sejak tadi tenggelam dalam kebingungan akibat pesan misterius di ponselnya itu pun tersentak.Pandangannya beralih dari layar yang menyala ke siluet seseorang di ambang pintu. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena terkejut, melainkan karena gejolak tak menentu yang sudah bercokol di benaknya sejak subuh."Kamu sudah di sini, Neina? Pagi sekali." Suara familiar itu terdengar, sedikit serak khas orang yang baru bangun tidur, namun tetap tegas. Felix, asisten pribadi Keandra, atasannya, melangkah masuk. Rambut cokelat gelapnya sedikit acak-acakan, kemejanya belum sepenuhnya rapi, menandakan ia juga terburu-buru datang. Aroma kopi hitam samar-samar tercium dari tubuhnya.Neina memaksakan seulas senyum tipis. "Ah, Pak Felix. Ya, aku hanya ingin memastikan jadwal Pak Keandra hari ini sudah rapi atau belum. Ada beberapa hal yang perlu dicek ulang." Tangannya tanpa sad
"Baiklah," ucap Keandra akhirnya, nadanya datar. Ia beranjak dari kursi, meninggalkan Bibi Raras yang masih berdiri cemas. "Siapkan sarapan untukku. Dan, tolong jangan beritahu Neina bahwa aku menanyakan hal ini." Bibi Raras mengangguk patuh, merasa sedikit lega karena Keandra tidak bertanya lebih jauh. "Baik, Den."Keandra berjalan kembali ke kamarnya, pikirannya dipenuhi Neina. Ada perasaan aneh yang menjalari dadanya. Rasa terima kasih? Mungkin. Rasa bersalah karena telah membuat Neina repot? Bisa jadi. Rasa kesal? Sangat mungkin.Tapi yang jelas, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang ia tidak tahu persis apa. Ia harus memastikan sendiri. Ia harus berbicara dengan Neina. Dan tidak akan lagi membiarkan wanita itu berbuat di luar batasan. Keandra tak akan suka disentuh. Siapapun. Selain Olivia, istrinya. Di dalam kamar miliknya. Ia segera mencari keberadaan ponsel miliknya. Nomor pertama yang iia carai adalah nomor Olivia-istrinya. Ia menunggu kabar Olivia dengan harapan bes
"Aku pergi dulu, Bu!" Neina berteriak dari ambang pintu, suaranya sedikit terburu-buru. Ia tak ingin berlama-lama di rumah, apalagi sampai berpapasan dengan Keandra. Sarapan yang disediakan oleh Bibi Raras pun baru beberapa suap masuk ke mulutnya. Pagi ini, rasanya canggung sekali membayangkan harus bertemu mata dengannya setelah kejadian semalam. Ingin segera menghilang dari rumah adalah tujuan utamanya. Bibi Raras, dengan sigap menghampiri, "Jangan buru-buru, Non. Sarapan dulu, nanti masuk angin. Ini belum dihabiskan loh." Wanita paruh baya itu selalu saja penuh perhatian. Neina merasa tenang berada di rumah yang selalu menanamkan permusuhan dengannya. Neina menggeleng, tangannya sudah memegang gagang pintu, "Nggak usah, Bu. Banyak kerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Nanti telat." Padahal, alasan utamanya adalah menghindari tatapan Keandra. Ia yakin, wajahnya pasti masih memerah mengingat bagaimana ia merawat pria itu semalam. Bahkan ia sangat berharap, Keandra t
Napas Neina tercekat. Udara dingin dini hari seolah ikut membeku dalam paru-parunya. Suara parau itu, pertanyaan singkat itu, "Siapa... kau?"—menggema di benaknya, melumpuhkan setiap sel dalam tubuhnya. Itu adalah suara Keandra, suaminya, yang kini terbaring di bawahnya, mata sayu itu baru saja terbuka, menatapnya dengan tatapan asing.Lalu, secepat kilat, kelopak mata itu kembali menutup. Keandra terlelap lagi, napasnya kembali teratur. Kelegaan yang membanjiri Neina terasa begitu besar hingga hampir membuatnya pingsan. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Rasa takut yang begitu mencekam tadi kini berganti dengan rasa mual yang melilit perut.Dengan hati-hati, Neina melepaskan cengkeraman Keandra yang masih melingkar longgar di pinggangnya. Tangan suaminya terasa hangat, kontras dengan dinginnya keringat yang membanjiri tubuh Neina. Ia beringsut mundur, menjauh dari tubuh Keandra, berusaha seminimal mungkin menimbulkan gerakan. Setiap ototnya me
Ia berlutut di sisi ranjang, tangannya kembali ragu-ragu terulur. Perlahan, ia meraih resleting celana Keandra. Jemarinya sedikit gemetar, berhati-hati agar tidak menyentuh terlalu banyak. Dengan nafas tertahan, ia menarik resleting itu ke bawah. Suara deritnya terasa begitu nyaring di keheningan malam. Ia lalu meraih kancing celana, membukanya dengan susah payah.Ketika celana itu akhirnya longgar, Neina merasakan sensasi aneh. Campur aduk antara rasa lega, sedikit malu, dan ada pula sekelebat perasaan yang tidak bisa ia definisikan. Tapi, ia tak lanjut membuka celana suaminya.“Aku tidak mungkin melakukannya. Biar saja begini,” putus Neina pada akhirnya. Ia masih memiliki batasan untuk tidak membuat Keandra semakin murka dengannya nanti jika terbangun dari tidurnya. Neina kembali merasa pipinya menghangat. Ia dengan cepat menyingkirkan celana itu, lalu meraih handuk bersih dan baskom air hangat yang tadi ia siapkan.Ia mencelupkan handuk ke dalam air hangat, memerasnya perlahan.
Hening. Hanya desiran angin pendingin ruangan yang menembus kulit Neina yang tak tertutup oleh piyama tidurnya. Membelai gorden tipis di kamar megah itu. Felix telah pergi, langkah kakinya memudar di balik pintu kamar yang menjulang tinggi di kamar mewah milik Keandra dan Olivia. Bibi Raras juga, setelah meninggalkan baskom berisi air hangat dan sepasang handuk bersih di nakas, ikut lenyap bersama bayangan Felix. Kini, Neina sendirian. Di kamar yang terasa begitu asing, begitu megah, dan begitu mengintimidasi. Kamar yang baru pertama kalinya Neina mampu menelisik dengan benar setelah penghuni kamar tak mampu mengintimidasi. Matanya menelusuri setiap sudut, berhenti sejenak pada lukisan abstrak di dinding, lalu beralih pada foto pernikahan dengan senyum merekah di atas kepala ranjang yang menatap sepi. Semua terasa seperti dunia lain, dunia yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya. Dan di tengah dunia asing ini, terbaring Keandra. Pria itu, su