"Istriku hanya kamu Isna. Hayati dan aku menikah hanya karena tanggung jawab bukan karena cinta. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya," ungkap Rama.
Isna menoleh pada Hayati dan menatap untuk memperhatikan detail wajah dan tubuh Hayati. Meskipun sedang menunduk, wajah Hayati terlihat jelas cantik alami khas orang melayu. Dengan hidung yang mancung, bibir yang berwarna pink, terlihat jelas belum tersentuh perawatan dengan bahan tidak alami apalagi operasi plastik. Yang paling penting adalah Isna bisa melihat dari tubuh Hayati jika perempuan itu masih gadis.
"Yakin kamu tidak akan tergoda?"
"Tidak akan," jawab Rama dengan yakin.
"Kalau begitu, tidak ada ada masalah Nak. Hubungan kalian tidak akan goyah dengan kehadiran Hayati karena Rama memang tidak tertarik dengannya, pernikahan mereka murni karena tanggung jawab akan kesalahan yang sudah Rama lakukan."
Hayati ingin segera percakapan itu berakhir. Hatinya terasa semakin sakit mendengar pernyataan ibu mertuanya. Bagaimana mungkin beliau yang sesama perempuan sangat tidak menghargai dan menjaga perasaan Hayati.
"Kamu, jangan panggil aku Mbak, panggil aku Nona Isna. Untuk memastikan bahwa Mas Rama benar tidak tertarik dengan kamu dan menghindari kalian bertemu di belakangku, kamu akan menjadi asisten aku dan ikut kemana pun aku pergi. Jangan pernah mengaku bahwa kamu istri siri Mas Rama," tutur Isna penuh titah pada Hayati.
"Nak Isna, apa kamu yakin dengan ide ini. Bagaimana jika hal ini malah membuat status mereka terungkap," ujar Zahida dengan khawatir.
"Yakin sekali, tenang saja bu. Dengan dia berada dekat denganku justru akan aku pastikan hal ini hanya diketahui oleh kita. Rama, segera cari keberadaan Ibunya, aku juga tidak mau berlama-lama punya madu."
“Aku akan minta orang kepercayaanku untuk mulai mencari keberadaan Ibu dari Hayati. Kamu tenang saja sayang, sebisa mungkin hal ini tidak akan menyulitkan dan menyusahkanmu,” ungkap Rama.
“Kalian sebaiknya istirahat, Isna baru saja pulang. Rama, ajak istrimu ke kamar,” titah Zahida.
Rama mengangguk, “Ayo sayang,” ucapnya setelah berdiri dan mengulurkan tangan. Isna dengan senyum manis menggenggam tangan itu lalu mereka meninggalkan ruangan dengan Rama merangkul bahu Isna.
Hayati melihat jelas momen itu, hatinya terasa bagai tercabik. Meskipun tidak ada rasa cinta untuk Rama, tapi melihat pria berstatus suaminya mesra dengan wanita lain membuatnya merasa sakit.
Nona Isna bukan wanita lain tapi istri pertama Mas Rama, istri yang dicintainya. Justru akulah orang ketiga, batin Hayati.
“Hayati, jangan berharap kamu akan mendapatkan sedikitpun perhatian dari Rama. Rama dan Isna sudah berpacaran sejak mereka kuliah jadi tidak mungkin Rama bisa berpaling dari Isna. Sebaiknya kamu istirahat, mereka besok akan pulang ke rumah keluarga Adam. Kamu harus bersiap,” nasihat Zahida.
Hayati mengangguk, setelah berpamitan dia pun melangkah menuju kamarnya dengan perasaan dan langkah yang luar biasa berat. Kedua mata Hayati terbelalak saat melihat Isna dan Rama berada tepat di depan pintu kamar mereka. Hal yang membuat Hayati terkejut adalah mereka sedang memagut bibir.
Tidak lama kemudian Rama mengurai pagutannya, Isna tertawa lalu mengajak Rama masuk kamar dengan menggoda Rama. Hayati melihat jelas lirikan sinis Isna saat Rama sudah masuk ke dalam kamar diikuti oleh Isna.
“Mudah-mudahan, kamarnya kedap suara jadi aku nggak perlu mendengarkan suara-suara aneh,” ujar Hayati lalu mendorong pintu kamarnya.
***
Esok pagi. Hayati terkejut mendengar pintu kamarnya di ketuk. Dia baru saja selesai dengan aktifitas pagi hari. “Iya Mbak,” ujar Hayati ketika melihat Isna di depan pintu kamarnya.
Isna yang hanya mengenakan bathrobe dengan rambut yang digulung handuk kecil, kedua tangannya dilipat didada. “Jangan panggil aku Mbak, panggil Nona Isna.”
“Maaf, Nona Isna.”
“Ikut aku, bantu keringkan rambut juga siapkan keperluan kami,” titah Isna lalu meninggalkan Hayati.
Hayati akhirnya berjalan mengikuti Isna. Dia merasa kurang nyaman berada di kamar Rama dan Isna, apalagi sempat melihat Rama yang masih bergelung dengan selimut. Tubuh bagian atas pria yang juga berstatus suaminya itu tanpa atasan hingga mengekspos tubuh pelukablenya.
“Keringkan, tapi pelan-pelan nanti rusak hasil perawatan rambut aku,” ujar Isna yang sudah duduk di depan meja rias. Hayati mengeringkan rambut Isna menggunakan hair dryer dengan berdiri di belakang tubuh Isna.
Karena suara yang dikeluarkan oleh pengering rambut Isna, Rama akhirnya terbangun. “Pagi sayang,” sapa Isna.
Rama menatap aneh karena ada Hayati di sana. “Pagi,” jawab Isna. “Kamu mandi dulu, sayang. Kalau perlu berendam, pasti capek ‘kan? Tapi aku suka dengan kegiatan kita semalam,” ucap Isna tanpa sungkan seakan tidak ada Hayati di sana.
Rama hanya berdeham, dia menyibak selimut lalu beranjak menuju kamar mandi. “Kamu siapkan pakaian Mas Rama, lengkap sampai dengan pakaian dalam.”
Hayati sudah berada di dalam walk in closet, dia bingung memilihkan pakaian untuk Rama. Tidak terlalu memperhatikan jelas bagaimana gaya Rama berpakaian kerja. Seringnya Hayati menonton drama Korea saat masih di kampung membuat ide melintas di benaknya. Memilihkan pakaian yang akan dikenakan Rama sesuai dengan gaya CEO yang biasa muncul sebagai tokoh drama.
“Kalau sudah, kamu boleh keluar. Ingat, setiap pagi kamu harus lakukan hal ini. Kecuali aku yang melarangnya.”
“Baik, Nona Isna.”
“Kemasi barang-barang kamu. Siang ini kamu ikut kami pulang ke rumah keluargaku.”
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo