Hayati berjalan mengikuti Isna yang melangkahkan kaki di kediaman yang lebih besar dari kediaman keluarga Rama.
Setelah Rama berangkat ke kantor, Isna mengajak Hayati menuju tempat tinggal keluarga besarnya. "Non Isna apa kabar?" tanya asisten rumah tangga yang terlihat sangat rapih.
"Baik Bu. Ah iya, Bu Lena kenalkan ini Hayati asisten aku yang baru. Tolong siapkan kamar untuk dia," titah Isna. Bu Lena mengangguk patuh lalu mohon diri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Isna.
"Aunty Isna," panggil Aska bocah 5 tahun putra dari Rangga yang berlari ke arah Isna.
"Hai Aska, kok masih pakai piyama sih?" tanya Isna.
"Aku sakit, aunty," jawab Aska dengan wajah memelas. Hayati tersenyum pada bocah yang memandangnya sambil mengerjapkan matanya.
"Dia siapa Aunty?"
"Oh, dia asisten Aunty." Bocah yang bernama Aska itu hanya mengangguk lucu membuat Hayati kembali tersenyum gemas menatap wajah bocah itu.
"Aska, ayo kembali ke kamar." Seorang pria dengan perawakan tinggi tegap dengan rahang tegas dan wajah tampan mirip sekali dengan sang bocah menatap Hayati lalu mengernyitkan dahinya.
Hayati menunduk karena tatapan mata pria itu sungguh menusuk seakan menelanjangi membuat Hayati tak punya nyali untuk balas menatap.
"Aska sakit apa Kak?"
"Demam. Siapa dia?" tanya pria itu.
"Asistenku."
"Nona Isna, kamar untuk Hayati sudah siap," ucap Bu Lena.
"Dia akan tinggal di sini?"
"Iya. Hayati dia kak Rangga abangku," ujar Isna. Hayati mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Tapi pria bernama Rangga hanya diam dengan wajah masih menelisik pada Hayati lalu mengangkat Aska ke dalam gendongannya.
"Bye aunty," ujar Aska. Isna tersenyum lalu meninggalkan ruangan. Hayati melambaikan tangan pada Aska yang menatapnya dan membalas lambaian tangan.
“Hayati,” panggil Isna. “Ikut aku,” titahnya.
Hayati pun mengikuti langkah Isna, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dan ternyata adalah kamar Isna dan Rama. Terpajang foto pernikahan mereka dengan ukuran yang cukup besar terpampang di dinding kamar. Ranjang dengan ukuran king size dan desain kamar terkesan modern dan berkelas.
Entah mengapa Hayati merasa iri, jangankan pernikahan dengan gaun mewah bahkan foto yang mengabadikan moment tersebut juga tidak ada dan lebih parahnya dia adalah istri yang tidak diharapkan. Hayati menghela nafas untuk menghilangkan sesak di dadanya.
“Walk in closet di sebelah sana, kamu bisa persiapkan kebutuhan aku dan Mas Rama di sana. Tapi setelah aku panggil. Karena aku harus mengkondisikan dahulu keadaan kami, jangan sampai kamu masuk saat kami sedang bermesraan apalagi bercinta,” tutur Isna dengan penuh penekanan seakan mengejek dan meyakinkan jika Rama memang hanya untuk dirinya.
“Jangan pernah membahas pernikahan kalian dengan keluarga ini. Apalagi berharap Mas Rama akan menganggap kamu sebagai seorang istri sejati. Nikmati saja pekerjaanmu sekarang, hanya seorang asisten dari istri suami kamu,” ejek Isna membuat hati Hayati perih seakan tersayat-sayat oleh perkataan Isna.
Hayati terus mengucap sabar agar bisa menghadapi pahitnya kehidupan. Berdoa agar segera datang pertolongan juga kejelasan di mana Ibunya berada agar dia bisa segera pulang ke asalnya.
“Paham kamu?” tanya Isna.
Hayati mengangguk. “Jawab, kamu tidak bisu ‘kan?”
“Iya Nona, saya paham.”
“Ya sudah keluarlah,” ujar Isna. Hayati pun akan meninggalkan ruangan tapi Isna kembali memanggilnya.
“Hey, bawakan aku es jeruk. Minta saja ke dapur,” titah Isna.
‘Jadi Asisten atau pembantu, sepertinya sama saja. Hanya istilahnya saja yang berbeda,’ batin Hayati. Hayati kembali ke ruangan tadi, lalu menoleh ke kiri dan kanan, di mana arah dapur dia tidak tau. Mau bertanya tapi tidak ada orang.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Rangga pada Hayati yang terlihat kebingungan.
“Maaf Tuan Rangga, saya mau ke dapur tapi tidak tau arahnya.”
Rangga berteriak memanggil salah satu asisten rumah tangga. “Antar dia ke dapur lalu kenalkan dengan keadaan rumah ini. Jangan sampai dia tersesat,” titah Rangga lalu meninggalkan Hayati.
“Mari, saya antarkan.”
Hayati membawa baki dengan gelas berisi es jeruk. Pintu kamar Isna belum tertutup sempurna saat Hayati ingin mendorongnya terdengar suara Isna yang sedang bicara.
“Iya, aku juga rindu kamu sayang. Secepatnya aku akan atur agar kita bisa bertemu lagi.” Hayati memastikan telinganya tidak salah mendengar.
“Mas Rama sudah berani kurang ajar denganku, aku jadi makin punya alasan untuk kita mengkhianatinya.”
Hayati menutup mulutnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap memegang baki. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar. ‘Apa aku tidak salah dengar, Nona Isna mengkhianati Mas Rama,’ batin Hayati.
Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna. “Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada. *** Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak. Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan. Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya. “Tergantung apa yang harus dikerjakan," j
“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”“Sehat,” jawab Aska.“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska. “Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.“Aska,” panggil Rangga.Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.Ra
Rama menghela nafas karena geram. Hari ini sudah lumayan berantakan, karena berkas yang dibutuhkan untuk rapat malah tertinggal. Menerima panggilan telepon pada ponsel Isna yang mana ada suara laki-laki mengucapkan sayang lalu mengakhiri panggilan ketika Rama bertanya siapa. Rama belum membahas hal ini dengan istrinya, karena kejadian itu pada saat Isna berada di kamar mandi.Ditambah dengan wajah Hayati yang terlihat muram dan sembab, jelas sekali jika kesedihan menyambangi gadis itu. "Tidak akan," jawab Rama dengan tegas tanpa ragu-ragu. Hayati baru akan membuka mulutnya akan menjawab tapi kembali disela Rama. "Cukup. Pagiku sudah berantakan, jangan tambahkan lagi dengan masalahmu." Hayati meninggalkan Rama dengan kembali ke kamarnya. "Dasar egois, tidak punya perasaan, aku sumpahin kamu ... aku hanya minta kata talak dari mulut kamu, Mas," ujar Hayati seakan ada Rama di sana dan mendengar apa yang diucapkan. ***Hari sudah sore saat Rangga yang baru saja tiba di rumah, kembali m
“Rania Hayati Malik,” ucap Rangga membaca kartu identitas milik Hayati, mengabadikannya menggunakan kamera ponsel lalu menatap lekat wajah gadis dihadapannya. Hayati merebut kartu identitas dan dompet miliknya.“Kamu masih muda, tapi menggunakan cara yang salah untuk hidup enak,” ejek Rangga sambil melipat kedua tangan di dada dengan pandangan tetap fokus pada Hayati.“Pak Rangga nggak tau apa-apa tentang saya, jadi jangan membuat kesimpulan yang salah.”Rangga terbahak, “Kamu pikir saya bodoh, banyak wanita seperti kamu. Menggunakan cara cepat agar bisa hidup enak.”“Maksud Pak Rangga?”“Menjadi simpanan, istri muda, selingkuhan bahkan sugar baby. Banyak juga yang menjadi pe-la-cur,” ucap Rangga. “Kamu bertemu dengan orang yang salah, aku sangat tidak mentolerir yang namanya orang ketiga,” tambahnya lagi.Jantung Hayati berdetak lebih kencang dari biasanya, mendengar kalimat Rangga. Statusnya saat ini adalah salah satu kriteria yang tidak disukai Rangga. Entah apa yang akan pria itu
“Oke,” jawab Rama. “Aku akan penuhi permintaanmu, tapi lepaskan dulu pisau itu,” bujuk Rama pada Hayati.Hayati menurunkan pisau dari lehernya, Rama merebut dan melemparnya agar jauh dari Hayati. Pria itu kemudian mengucapkan kalimat yang menyatakan bahwa mulai saat ini Rama dan Hayati bukan lagi pasangan halal sebagai suami istri. "Lebih baik Mas Rama keluar," titah Hayati. "Hayati," ucap Rama. "Keluar!"Rama pun mengabulkan permintaan Hayati, "Jangan berbuat yang akan merugikan dirimu sendiri," nasihat Rama sebelum menutup pintu kamar Hayati. Tubuh Hayati seakan lunglai, dia jatuh duduk lalu menangis. Kedatangannya ke Jakarta membuatnya merasakan banyak kedukaan. Mulai dari kehilangan Bapak sampai dengan menjadi istri kedua lalu sekarang dia resmi menjadi janda. Entah harus senang sudah terbebas dari hubungannya yang rumit dengan Rama dan Isna atau meratapi nasibnya yang cukup menyedihkan. Rama menghampiri kedua orangtuanya lalu menyampaikan jika dia sudah menalak Hayati. Wajah
Hayati serasa frustasi membayangkan jika dia akan terus berada dalam unit apartemen itu. Rangga benar-benar tidak membiarkan Hayati keluar. Entah apa tujuannya, bahkan Hayati tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan hubungannya dengan Rama telah berakhir.Sudah lebih dari satu minggu Hayati berada di apartemen yang kemungkinan adalah milik Rangga. “Bu Ida, saya mau keluar. Boleh?” tanya Hayati pada asisten rumah tangga yang memang tinggal di unit tersebut.“Maaf Non, tidak boleh. Bapak bilang Non Hayati tidak boleh keluar,” jawab Bu Ida.“Tapi saya jenuh Bu. Apa Ibu nggak tahu ini namanya penculikan. Kalau saya laporkan Ibu juga bisa dihukum,” ujar Hayati menakuti Bu Ida tapi Bu Ida hanya tersenyum.***Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman orangtua Rama. Sejak kepergian Hayati setelah ditalak oleh Rama, kedua orangtuanya merasa lega karena Hayati bukan lagi orang ketiga di rumah tangga anaknya. Berbeda dengan orang tuanya yang senang karena Rama saat ini hanya memiliki I
Hayati berjalan mengekor langkah Rangga. Sesuai dengan ucapannya kalau mereka akan berbelanja kebutuhan persediaan makanan untuk di apartemen, saat ini mereka sudah berada di supermarket. “Pak Rangga,” panggil Hayati. Rangga pun menoleh masih dengan langkah lebarnya.“Saya nggak akan ada tenaga untuk jalan Pak, ini luas banget dan sudah pasti yang mau Bapak beli banyak.”Rangga mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud perkataan Hayati. “Saya mau sarapan dulu,” ujar Hayati malu-malu. Rangga menghela nafasnya, dia lupa tadi sudah berjanji akan memberikan Hayati sarapan sebelum mengikutinya berbelanja.Rangga akhirnya berbelok, “Makan di situ, aku harus ke toilet,” ucap Rangga. Hayati menganggukkan kepala. “Jangan berusaha kabur, ada anak buahku di sini kamu tidak akan bisa melarikan diri.”“Mau kabur kemana Pak, ponsel saya masih di Bapak. Dompet juga nggak dibawa,” jawab Hayati.***Hayati membawa beberapa kantong belanja, begitupun dengan Rangga. Lift yang mengantarkan m
“Isna, jangan mencari kambing hitam untuk masalah kita.” Isna mendengus kesal, “Kita ada masalah?” tanyanya heran pada Rama. Berjalan memutar meja dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Rama. “Sangat wajar jika dalam rumah tangga ada permasalahan,” ujar Rama. “Masalahnya ada pada kamu, kamu menyesal karena sudah menalak Hayati.” Rama menghela nafasnya, mengalihkan atensi menatap Isna. “Masalah rumah tangga kita tidak ada hubungannya dengan Hayati. Sejak aku menikahinya sampai dengan menalaknya tidak ada yang masalah yang disebabkan oleh Hayati. Aku tidak mencintainya dan tidak pernah menyentuhnya. Masalah kita adalah kamu sibuk dan aku juga sibuk,” jelas Rama tanpa mengatakan persoalan sebenarnya. “Aneh, kenapa kamu baru permasalahkan sekarang. Kamu menikahi aku karena kita sudah menjalin hubungan sebelumnya bukan karena perjodohan apalagi seperti beli kucing dalam karung yang tidak mengenalku sama sekali. Kamu tahu kesibukanku seperti apa, kenapa baru protes sekarang?” t