“Rama,” panggil Isna saat melihat suaminya di pintu keluar Bandara. Rama merentangkan kedua tangannya agar Isna datang ke dalam pelukannya.
“Miss you so bad,” ujar Rama.
“Gombal,” jawab Isna. Mengurai pelukannya lalu Rama meraih trolly berisi koper dan tas milik Isna. Berjalan beriringan sambil sesekali tertawa, menuju mobil yang akan membawa mereka pulang. Rama memindahkan koper dan tas-tas milik Isna sedangkan pemiliknya sudah duduk manis di samping kemudi.
“Langsung pulang?” tanya Rama.
“Iya, aku sudah lelah mau berendam air hangat.”
“Nggak kangen aku, sayang,” goda Rama sambil mulai melajukan mobilnya meninggalkan area bandara.
“Bangetlah.”
“Oke, siap-siap aja nanti malam kita lembur,” ucap Rama.
“Siapa takut.”
Saat menjejakkan kakinya di rumah, Rama merangkul bahu Isna. Dilema memutuskan akan menyampaikan sekarang atau menundanya. Setelah Isna enyapa mertua dan berbasa-basi, mereka melanjutkan percakapan sambil menikmati makan malam.
“Isna, ada yang ingin aku bicarakan setelah ini,” ujar Rama.
Melihat tatapan wajah Rama yang serius dan tidak biasa, Isna mengira jika hal yang dimaksud Rama adalah hal yang sangat penting.
“Oke,” sahut Isna.
Kini Rama beserta Isna juga kedua orangtua Rama sudah berada di ruang keluarga, “Ada apa sih, kok kelihatan tegang sekali?”
Zahida dan Yaksa saling tatap tapi tidak mampu menjawab. Tidak lama datanglah Hayati yang dipanggil oleh salah satu asisten rumah tangga sesuai perintah Rama. Isna yang baru melihat gadis yang sedang berdiri dihadapannya menoleh pada Rama seakan bertanya, siapa dia?
“Duduklah Hayati!” titah Yaksa.
Rama mulai membuka suara menceritakan saat dia dalam pengaruh alkohol, tertidur di apartemen temannya dan hendak pulang termasuk insiden tabrakan yang dilakukannya.
“Posisi aku jelas bersalah. Jika tidak dengan jalan damai, tuntutannya bisa sampai sepuluh tahun. Korban menawarkan jalan kekeluargaan,” terang Rama.
“Kenapa aku merasa penawaran Bapak itu ada hubungannya dengan gadis ini,” ujar Isna sambil menunjuk Hayati dengan dagunya. Zahida dan Yaksa masih bungkam, membiarkan Rama yang menyampaikan semuanya. Hayati hanya bisa menunduk, bukan masalah ini yang menjadi beban pikiran tapi ingin segera keluar dari jerat hubungan yang tidak jelas dan hanya membuatnya menderita dengan menyandang sebagai istri muda dari Rama Prasetya.
“Bapak Radit meminta aku menikahi putrinya.”
“Lalu, kamu terima, kamu nikahi dia?” tanya Isna dengan nada yang cukup tinggi.
“Sabar sayang, dengarkan dulu apa yang aku jelaskan,” ucap Rama mencoba menenangkan Isna.
Isna menatap sinis pada Hayati. “Sudah berapa lama kalian menikah?”
“Belum ada dua minggu,” jawab Rama.
“Hey, gadis pelakor. Apa kamu bahagia menikah dengan suamiku? Apa kamu senang menjadi orang ketiga diantara kami?”
“Isna, tenanglah, dengarkan aku dulu,” bujuk Rama mencoba menenangkan Isna yang sudah beranjak berdiri menghardik dan menunjuk Hayati.
“Kamu minta aku tenang, tapi dihadapan aku ada maduku,” teriak Isna.
"Nak Isna, Ibu mengerti kamu pasti sangat kecewa. Tapi tolong pahami situasi yang Rama alami," ujar Zahida.
Hayati merasa sangat bersalah berada di situasi saat ini. Tidak bisa membayangkan jika dia yang berada pada posisi Isna. Mendapati suaminya menikah lagi tanpa persetujuannya sudah pasti akan membuat neraka pada rumah tangganya.
"Kamu harus tenang, sayang. Aku murni menikahi Hayati karena janji pada mendiang Ayahnya, juga sebagai penyelesaian agar aku tidak berada di balik jeruji besi."
"Mbak Isna tidak perlu khawatir, aku tidak akan menjadi orang ketiga di rumah tangga kalian. Mas Rama, bisa talak aku sekarang," pinta Hayati lalu mengusap air matanya. Tidak pernah sekalipun terbesit jika dia akan menikah siri sebagai istri kedua.
"Bapak sudah tidak ada, aku tidak akan menuntut apapun."
"Hayati! Sebagai seorang laki-laki, janjiku adalah harga diriku. Aku sudah berjanji akan menceraikan kamu ketika kamu sudah bertemu dengan Ibumu atau ada pria yang benar-benar mencintai kamu."
"Itu urusan aku, Mas. Janjimu pada Bapak sudah selesai, jadi...."
"Cukup!" Sela Yaksa. "Jangan berdebat tapi temukan solusi. Ayah paham hal ini berat untuk kalian semua tapi ini adalah kenyataan harus kita hadapi bersama."
"Bagaimana kalau dia punya anak dari kamu? Kamu akan ceraikan aku?" tanya Isna.
"Tidak akan. Hayati tidak akan hamil anakku karena aku tidak pernah menyentuhnya," ujar Rama.
Hayati menunduk, merasa semakin terhina. Menjadi istri kedua dan suaminya enggan menyentuhnya dan tidak akan menganggapnya sebagai seorang istri.
"Apa maksud Mas Rama?"
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo