“Pak Rangga,” ucap Hayati setelah mengetahui siapa yang sudah berani meninggalkan jejak di pipinya. Rangga duduk di samping Hayati, “Kenapa? Masih mau lagi?” Hayati berdecak mendengar pertanyaan Rangga. “Pak Rangga mau makan malam di sini?” “Hm.” Rangga fokus ada ponsel di tangannya. Sedangkan Hayati kembali menyimak apa yang sedang dia tonton. “Tuan Rangga, ini makan malamnya sudah siap,” ujar Bu Ida. Rangga berdiri dan melangkah menuju meja makan, mengetahui Hayati tidak mengikutinya dia pun memanggil Hayati. “Hayati,” panggil Rangga. Mendengar ada penekanan dalam panggilannya, Hayati bergegas menuju ke meja makan dan benar saja Rangga menatap tajam ke arahnya. “Kamu pikir aku pulang kesini, untuk apa kalau bukan ingin makan malam bersama kamu,” ungkap Rangga. Setelah menikmati makan malam dalam diam, “Aku mandi dulu, nanti kita bicara,” ujar Rangga. Hayati hanya mengangguk lalu membantu Bu Ida membereskan meja makan. Tiga puluh menit kemudian, Rangga keluar dari kamarnya. Men
“Rangga,” panggil seseorang. Rangga dan Hayati menoleh ke arah suara. Wanita dengan setelan kerja yang terlihat sangat elegan dan cantik. Hayati pernah melihat fotonya di kediaman keluarga Adam. “Renata,” ucap Rangga datar. “Wah, aku tidak menyangka kita bertemu di sini. Siapa dia?” tanya Renata sambil menoleh menatap Hayati. Rangga baru akan menjawab saat Susan datang, “Renata! Tumben ke sini tidak berkabar dan kebetulan sekali ya,” ujar Susan sambil menatap Renata dan Hayati bergantian. “Aku ada acara mendadak, tahu sendiri salah satu desain busana yang nyaman untuk aku ya disini,” jawab Renata. Susan tidak ingin suasana menjadi canggung, apalagi Rangga dan Hayati sedang memilih busana yang akan menyertai akad nikah mereka. “Ikut aku, ada beberapa design baru,” ajak Susan pada Renata. Dalam hati Rangga sangat lega karena Susan pandai cukup memahami situasi. “Kenapa?” tanyanya pada Hayati yang terlihat melamun. “Oh, nggak apa-apa. Perempuan tadi ....” “Iya, dia Mamanya Aska,” j
Rangga mengajak Hayati untuk sekalian makan malam, setelah mendapatkan cincin dan perhiasan juga kebaya untuk pernikahan mereka. "Setelah ini kita langsung pulang, Pak?" tanya Hayati saat mereka baru saja duduk. Rangga sengaja memilih meja yang berada di sudut ruangan agar Hayati merasa nyaman. Rangga tidak percaya jika masih ada perempuan seperti Hayati, yang biasa saja saat diajak berbelanja. Tidak seperti perempuan lainnya yang mungkin akan lupa diri ketika mendapatkan kesempatan berbelanja. "Kamu masih ada yang ingin dibeli? Kebutuhan kamu? Pakaian atau ...." "Tapi tadi Pak Rangga sudah ambil banyak pakaian untuk saya," sela Hayati. "Itu dress dan pakaian resmi. Siapa tau kamu butuh yang lain, sekalian kita masih disini.” Pelayan membawakan buku menu, Rangga menunjuk beberapa menu tanpa bertanya pada Hayati. "Pak Rangga, ponsel saya gimana?" tanya Hayati. "Kenapa dengan ponsel kamu, mau ganti baru?" tanya Rangga pura-pura bodoh. Hayati berdecak, "Bukan ganti baru, aku ingin
Pintu lift akhirnya terbuka, “Loh, kamu temannya Rangga 'kan?" tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari lift. Hayati tersenyum sambil melangkah mundur memberikan kesempatan orang lain lebih dulu menggunakan lift. Karena tidak mungkin Hayati meninggalkan wanita yang baru saja menyapanya. Renata, wanita itu adalah mantan istri Rangga. "Mau kemana?" tanya Renata."Hmm." "Oh, sorry. Harusnya aku nggak tanya, have fun ya," ujar Renata sambil bertanya. Entah apa yang ada dipikiran Renata dengan mengucapkan hal itu pada Hayati.Kini Hayati dan Bu Ida sudah berada di depan pintu sebuah kamar. Entah mengapa Hayati merasa gugup, jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi saat pintu kamar terbuka, seorang pria yang usianya lebih muda dari Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Hayati. Kini Hayati sudah selesai di make up dan mengenakan kebaya pilihan dirinya dan Rangga. Menatap penampilannya di cermin, memastikan tidak ada cela karena tidak ingin mengecewakan Rangga. "Nona
Rangga sudah berdiri di belakang tubuh Hayati, dengan tangan berada di kedua pundak wanita yang saat ini sudah resmi menjadi istrinya. “Biar aku bantu,” ujar Rangga. Kedua tangannya mulai melepaskan satu persatu hiasan di rambut Hayati. Sesekali tubuh Rangga tidak sengaja menempel pada punggung Hayati menimbulkan efek tidak biasa untuk keduanya. Jika Rangga sudah pernah mereguk manisnya malam pertama pernikahan dan sebelumnya sudah terbiasa dengan aktivitas ranjang bersama mantan istrinya berbeda dengan Hayati. Umur yang masih muda tapi dia sudah dua kali melangsungkan pernikahan. Dengan statusnya sebagai janda tapi kondisinya masih suci, tentu saja belum ada pengalaman mengenai kegiatan malam pertama pasangan pengantin. Hayati membersihkan sisa make up di wajahnya sekaligus mengusir rasa canggung. Hayati refleks berdiri karena melihat gelagat Rangga yang semakin merapatkan tubuhnya. “Saya mau mandi dulu, Pak,” ujar Hayati sambil melangkah meninggalkan Rangga yang masih terpaku mema
“Pak Rangga, tunggu dulu,” pekik Hayati. “Kenapa?” tanya Rangga. “Pak, saya ... takut,” gumam Hayati. Bukan hanya karena ini adalah pengalaman pertamanya tapi juga bingung yang melanda hati. Ada rasa ragu dalam diri Hayati, meragukan cinta Rangga untuknya juga apakah dirinya sudah mencintai Rangga atau belum. Rangga mencebik mendengar keluhan Hayati. Mengapa harus takut jika kamu pernah melalui apa yang akan kita lakukan, atau mungkin Hayati takut jika aku akan melakukannya dengan kasar, batin Rangga. "Kamu tenang saja, aku akan melakukannya dengan pelan dan lembut," ujar Rangga mencoba menenangkan Hayati. "Cukup nikmati, karena bisa jadi kamu akan ketagihan dengan sentuhanku," ledek Rangga membuat Hayati refleks memukul pelan dada suaminya. "Sudah siap?" tanya Rangga setelah keduanya mengucap doa dalam hati. Hayati menganggukkan kepalanya pelan, membuat senyum terbit di wajah Rangga. Pria itu melepaskan handuk yang masih menutupi bagian bawah tubuhnya dan melempar entah kemana
Hayati menikmati sarapan sekaligus makan siang lebih awal. Dengan rambut yang masih digulung dengan handuk kecil karena masih basah setelah membersihkan diri. Tidak menggunakan hair dryer karena perutnya yang sudah minta diisi.Rangga yang duduk dihadapan Hayati menatap lekat perempuan yang sudah menjadi wanita seutuhnya. Menyadari berada dalam tatapan Rangga, Hayati pun menoleh.“Pak Rangga, jangan tatap aku begitu dong.”Rangga berdecak, bukan karena dilarang menatap Hayati tapi panggilan Hayati kepadanya belum berubah. “Sampai kapan kamu mau panggil aku Bapak?”“Ya seterusnya, kecuali Pak Rangga sudah tua dan punya cucu. Aku panggil Kakek Rangga,” ejek Hayati lalu terkekeh. Rangga menghela nafasnya mendengar ejekan dari Hayati.“Aku ada pekerjaan yang urgent. Kamu mau ikut atau tetap di sini? Atau pulang ke apartemen?” tanya Rangga. Hayati menatap Rangga memastikan apa yang barusan didengar olehnya adalah benar.“Pak Rangga ajak aku ke kantor?” Rangga hanya mengangguk lalu meraih g
Setelah urusan yang benar-benar tidak bisa diwakilkan oleh Gema, Rangga memutuskan kembali ke Hotel karena Hayati masih menunggu di sana. Dalam perjalanan dia memikirkan niat Isna yang ingin bertemu Hayati, meskipun Rangga menanyakan apa motifnya harus menemui Hayati. Isna juga bertekad akan mencari Hayati dan menemukannya. Wanita itu diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan rumah tangannya bersama Rama. Jika Hayati mendengar usul Isna mungkin dia akan tertawa karena mengetahui jika Isna sudah bermain api dalam rumah tangganya. Rangga sudah memasuki area hotel tempatnya menginap, bahkan sudah memarkirkan mobil pada parkiran basement. Rangga memiliki access card sendiri untuk membuka pintu kamarnya. Tidak menemukan Hayati di living room juga pantry, Rangga akhirnya menuju kamar. Hayati terlihat berbaring telungkup di atas ranjang. Bukan posisinya yang menjadi masalah tapi pakaian yang dikenakan Hayati membuat resah yang melihatnya. Mengenakan gaun tidur yang mana memperlihatkan k