"A-apa maksud kamu, Mas? Ada yang pegang kendali perusahaan Papa selain kamu?"Elvan hanya mengangguk. "Ta-tapi bagaimana mungkin? Bukannya kamu anak satu-satunya Papa dan Mama? Ini masalah besar, Mas. Kenapa kamu baru cerita sekarang? Kok tiba-tiba Papa sama Mama jadi gini? Terus sebenarnya dia siapa sih?" sahut Aileen cepat."Ya, aku juga nggak tau kenapa Papa sama Mama bisa percaya banget sama orang itu. Dan tentang identitasnya, aku juga nggak tau dia siapa. Tanda tangan persetujuan darinya yang dikirim ke kantorku atas nama Papa. Sepertinya, Papa dan Mama ingin menyembunyikan identitas orang itu."Aileen menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak, Mas. Ini nggak boleh terjadi. Kamu itu anak satu-satunya mereka. Cuma kamu yang berhak atas semua yang dimiliki orang tua kamu, Mas. Masa tiba-tiba kasih ke orang lain, sih! Nggak lucu deh. Kamu harus protes dong, Mas. Nggak boleh lembek gini!"Elvan mengulum senyum tipis. "Sayangnya aku nggak bisa berbuat banyak. Semua keputusan ada di tang
"Calon penerus, Ma?" gumam Aileen lirih."Ya, dia calon penerus keluarga ini. Jadi, kalian jangan pernah coba-coba buat sakitin dia. Mengerti!""Ma, kenapa Mama lakuin ini? Bukannya Mas Elvan satu-satunya anak Mama? Kenapa harus anak kecil ini yang bukan siapa-siapa malah jadi penerus keluarga, Ma?""CUKUP AILEEN!" bentak Elvan, laki-laki itu pun berniat menarik istrinya untuk masuk ke kamar mereka. Namun, Aileen menolak."Mas, kok kamu malah bentak aku sih? Harusnya kamu mempertahankan apa yang seharusnya jadi hak kamu. Bukan anak kecil nggak jelas itu. Kamu sebenarnya kenapa sih? Kok jadi lembek gini, Mas?""PERGI KALIAN! teriak Vera yang kian tersulut emosi, sembari menatap tajam pada Aileen dan juga Elvan."Ma, kenapa Mama malah usir kami? Keputusan yang Papa sama Mama ambil itu di luar logika."Vera kian sinis menatap Aileen, menahan emosi yang kali ini benar-benar sudah memuncak. "Elvan tolong bawa pergi istrimu dari sini! Mama sedang tidak ingin berdebat sama orang yang nggak t
Elvan diam terpaku melihat wanita yang kini duduk di samping Ilham. Wanita berparas ayu itu, tampak begitu berbeda dengan sosok yang dia kenal dulu. Neya, satu nama yang saat ini masih ada di dalam hatinya dengan segenap amarah dan kebencian. Namun, saat melihat wanita itu sekarang, Elvan bahkan tak bisa mengartikan perasaannya.Amarah itu seakan mengendap begitu saja, berganti dengan berbagai tanda tanya dalam benaknya. Lima tahun telah Elvan lalui dengan penuh amarah dan kebencian pada wanita itu. Dan sekarang, dia hadir kembali, dalam sosok yang terlihat berbeda.Kepolosan dalam dirinya seakan hilang. Neya, kini menjelma menjadi sosok yang begitu anggun dan elegan, hampir saja Elvan tak mengenalinya. Dan semua yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, menjadi kejutan tersendiri bagaikan sebuah bom waktu. Belum lagi, identitas Hazel sebagai sang pewaris, semua itu membuat kepala Elvan seakan hampir saja pecah."Semuanya silahkan duduk!" perintah Ilham pada seluruh dewan direksi yang
Neya masih duduk di kursi kerjanya sembari mengetukkan jemari ke meja. Pertemuannya dengan Elvan kali ini, seakan menguras energi. Bahkan fokusnya saat ini hanya tertuju pada laki-laki itu."Sial!" gumam Neya sembari menyugar rambutnya, hingga tiba-tiba suara dering ponsel membuat wanita itu, mau tak mau harus menjawab panggilan yang ternyata berasal dari Vera. Neya menempelkan ponsel itu ke telinga dan hal yang pertama dia dengar adalah tangisan mertuanya. Seketika, dia pun merasa begitu cemas.[Ma, ada apa? Kenapa Mama nangis?][Hazel, Ney.] jawab Vera yang langsung membuat Neya termenung. Tubuh itu menegang, menunggu detik demi detik jawaban dari mertuanya di ujung sambungan telepon.[Ma, ada apa?] Wanita itu pun kembali bertanya diantara gemuruh di dalam dada.[Ney, Hazel jatuh dari tangga lantai 2.][Nggak ....]Tubuh Neya melemas, diiringi detak jantung yang berdegup begitu kencang. Wanita itu hanya diam sembari menekan ponsel itu agar lebih menempel di telinganya, mencoba mence
Neya duduk termenung, sikunya menyangga di pangkuan dengan kedua tangan yang menutup wajah. Dewa baru saja mengobrol dengan salah satu pengurus Komunitas Rhesus Negatif di Sydney, sedangkan Vera saat ini harus mendapatkan perawatan akibat terlalu syok.Ilham juga saat ini sudah di rumah sakit dan menemani istrinya di salah satu ruang perawatan, sambil terus mencari informasi stok darah. Sebenarnya, dia juga memiliki golongan darah rhesus negatif, tapi kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan donor darah.Mereka berusaha mendapatkan pendonor. Namun, belum ada harapan sama sekali. Dan mereka harus tetap menunggu sembari terus berkomunikasi dengan Komunitas Rhesus Negatif, yang mencoba menghubungi lebih banyak anggota lainnya.Tiba-tiba saja, seorang perawat mendekat, membuat mereka akhirnya mendongak. Di depan mereka saat ini, tampak seorang perawat berdiri sembari memegang satu papan kayu yang menjepit beberapa kertas di atasnya."Keluarga pasien atas nama Hazel Ghavizar
"Maafkan aku, Ney," ucap Elvan dengan suara parau, menyiratkan rasa penyesalan yang tergambar jelas di wajah.Wanita itu tak menjawab, dadanya begitu sesak mengingat lima tahun terakhir yang dia lalui. Bahkan, setelah kejadian itu, Neya harus dibawa ke rumah sakit akibat kontraksi mendadak yang dia alami. Air ketubannya bahkan pecah tak berapa lama setelah Elvan pergi. Kondisi tersebut, mengharuskan Neya untuk melahirkan secepatnya. Dewa pun menghubungi Vera, dan wanita itulah yang mendampingi Neya saat kontraksi di rumah sakit. Dan untungnya, usia kehamilan Neya sudah memasuki waktu yang cukup untuk melahirkan.Ingatan Neya kembali pada beberapa tahun silam, kala itu suara tangis bayi terdengar nyaring menggema di ruang persalinan. Rasa sakit yang begitu dahsyat, serta rasa lelah seakan semua telah sirna saat Neya melihat seorang bayi mungil yang kini sedang dibersihkan oleh beberapa orang perawat yang turut membantu persalinannya. Vera memeluk erat Neya yang masih terbaring lemah
Elvan menoleh pada Neya yang saat ini sedang tersenyum sinis serta menatap ke arah pintu ruang operasi. Elvan pikir, kata maaf yang sudah terucap diantara mereka berdua bisa menghapus segala hal buruk yang pernah terjadi. Namun ternyata, memang tidak semudah itu. Setelah mendengar perkataan Neya, Elvan pun baru menyadari perkataannya beberapa tahun silam, ternyata begitu membekas di hati wanita tersebut. Kata yang terucap dengan segenap emosi dalam diri itu, seakan terpatri dalam relung hati terdalam Neya."Maafkan aku, Ney. Maaf waktu itu aku udah berpikiran buruk sama kamu.""Bukannya aku udah bilang ini semua bukan sepenuhnya salah kamu, Mas? Aku cuma mau mengingatkan kalau Hazel itu adalah anak dari Mas Dewa seperti yang kamu tuduhkan dulu.""Maaf, tapi nggak kaya gitu Ney. Sekarang aku ...." Elvan tak lagi melanjutkan kalimatnya, ketika Neya mulai berjalan menjauhi mereka, wanita itu seolah mengabaikan apa yang dikatakan oleh Elvan."Sudahlah, beri dia waktu. Yang dia butuhkan h
"Elvan, sebenarnya sejak Neya memegang perusahaan kita, banyak yang tidak menyetujuinya karena dia seorang perempuan. Mereka tidak suka dipimpin oleh wanita. Padahal, papa meminta Neya untuk memegang perusahaan tersebut, bukan hanya karena dia menantu papa ataupun ibu kandung dari Hazel. Namun, karena papa tahu dia punya kemampuan.""Punya kemampuan?" sahut Elvan, keningnya mengernyit, awalnya dia pikir keputusan Ilham menyuruh Neya untuk memegang perusahaan tersebut, karena Neya masih berstatus istrinya, sekaligus ibu kandung dari Hazel. Namun, sepertinya tidak hanya sebatas itu semata."Ya, dia memang punya kemampuan. Awalnya, kami menyuruh Neya melanjutkan kuliah, untuk mewujudkan mimpinya yang ingin memiliki pendidikan tinggi, sekaligus agar pikirannya teralihkan, dan tidak terus-menerus merasa depresi. Namun, ternyata dia sangat menonjol. Bahkan, Neya pun menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Ketika papa meminta dia memegang kendali perusahaan, laba perusahaan semakin meningka