Kedatangan Ayah Aryan ke perusahaan miliknya bukan hanya ingin berkunjung saja, tetapi juga Ayah Aryan ingin menemui teman kerjanya dibagian Divisi keuangan. Sudah lama sekali keduanya tidak bertemu.
Sudah beberapa menit lamanya mereka mengobrol. Amirudin Kusuma, pekerja sekaligus teman Ayah Aryan selama di sini. Dibandingkan dengan pekerja lain, Ayah Aryan sangat dekat dengan Pak Amir."Kau terlihat sedang ada masalah Amir," ujar Ayah Aryan.Pak Amir mengangguk. Akhir-akhir ini dia ada sedikit masalah di rumahnya, berhubung Ayah Aryan adalah teman dekatnya, Pak Amir tidak segan untuk bercerita."Iya, kau benar Pak Aryan. Aku sedang dihadapkan masalah ekonimi. Aku pusing karena tidak memiliki uang untuk membiayai kuliah anakku," jawab Pak Amir.Ayah Aryan merasa iba. Selama berteman, Ayah Aryan tentu saja kenal dengan anaknya Pak Amir, yang tak lain dan tak bukan adalah Shanaya. Seorang gadis yang dulunya ia siapkan untuk Farraz, tapi putranya sudah menikah."Anakmu sudah lulus kuliah?""Ya, dia anak yang pintar, bahkan Shanaya menjadi lulusan terbaik di Universitasnya. Sebagai seorang Ayah, aku sangat bangga mempunyai anak seperti Shanaya. Aku ingin, dia melanjutkan kuliah hingga ke S2, agar dia memiliki banyak pengetahuan diusianya yang masih muda," ujar Pak Amir."Kenapa tidak kau nikahkan saja dengan anakku, Farraz? Kebetulan, aku sangat ingin memiliki cucu," kekeh Ayah Aryan.Inilah sebabnya Ayah Aryan merasa takjub dengan Pak Amir dan Shanaya, jika saja Farraz belum menikah, sudah dia jodohkan mereka."Jangan ngada-ngada Pak Aryan, anakmu Farraz sudah menikah. Aku pun tidak mau memaksa Shanaya untuk segera menikah, soal pria, aku serahkan pada anakku saja.""Sangat disayangkan sekali. Padahal, aku ingin mempunyai menantu seperti anak gadismu itu. Sudahlah Amir, kau tidak perlu banyak pikiran, kau bisa datang padaku jika butuh bantuan."Pak Amir hanya mengangguk singkat, dia merasa tidak enak hati jika meminta bantuan pada Ayah Aryan karena kesulitan ekonominya. Demi sang putri, Pak Amir akan berusaha bekerja keras.Diusia Shanaya yang sudah dewasa, ada banyak sekali dari kalangan pembisnis maupun pengusaha muda yang berniat meminang Shanaya. Hanya saja, belum ada yang pas dengan putrinya.***Sekembalinya Farraz dari rumah sakit, ia tidak langsung mengerjakan pekerjaan kantornya. Melainkan menjernihkan pikiran terlebih dahulu. Sebab, ia tidak akan fokus bekerja jika banyak pikiran seperti ini.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil menyandarkan punggungnya, dengan tergesa ia melepaskan jas yang melekat di tubuhnya seraya mengurut pangkal hidungnya yang terasa pusing.Akhir-akhir ini ia memang sibuk mengurus pekerjaan setiap waktu, jadi tidak memperhatikan istrahat dan pola makan. Tetapi hal itu ia lakukan guna melupakan bayang-bayang istrinya agar ia tidak selalu teringat.Terlebih jika di luar kota, jika sudah teringat, Farraz tidak akan segan untuk kembali ke Jakarta. Aryan—sang Ayah juga sangat kesal, lantaran Farraz tidak bisa menghadiri meeting dengan klien penting. Putra semata wayangnya itu suka abai jika sudah menyangkut Grisella."Permisi Pak Farraz, Pak Aryan akan masuk ke ruangan ini," ucap Radit—sekretaris Farraz di kantor.Jika di perusahaan lain sekretaris adalah seorang wanita, tapi tidak berlaku di perusahaannya, Farraz memilih Radit sebagai sekretarisnya. Dia juga tidak minat memperkejakan wanita, apalagi ini sekretaris."Persilahkan masuk, siapkan kopi untuk Ayahku," titah Farraz seadanya.Radit mengangguk dan pamit undur diri. Sekretaris kepercayaan Farraz itu membuka pintu dan menyapa atasannya yang tampak gagah dan berwibawa di usianya yang sudah menginjak kepala lima."Selamat siang Tuan Aryan!" sapa Radit, sedikit membungkukan badan sebagai bentuk penghormatan.Pria paruh baya itu mengangguk dan berdehem, lalu melenggang masuk ke dalam ruangan yang dulunya menjadi tempatnya. Sekarang usianya sudah tidak lagi muda, ia serahkan tugasnya kepada sang putra.Sebenarnya ia mempunyai anak tiri dari istrinya yang sekarang, Prayoga Dewantara namanya. Yang kini berusia 30 tahun, umurnya tidak jauh beda dengan sang putra, hanya berbeda 2 tahun saja.Alasan ia tidak menyerahkan kepemimpinan ini pada Prayoga, karena ia masih ragu dengan kinerja putra tirinya dan juga secara keturunan, Prayoga bukan anak kandungnya. Dan tentu, hanya Farraz yang berhak mendapatkan semua warisannya.Meski Prayoga bukan anak kandungnya, ia tidak membeda-bedakan, ia sangat menyayangi kedua putranya."Pekerjaanmu masih menumpuk. Apakah ini kinerja kerjamu selama memimpin? Hanya bersantai seperti ini?" Farraz terdiam ketika suara sang Ayah semakin mendekat.Farraz membalikkan kursinya untuk menatap pria yang sudah membesarkannya itu."Ayah tenang saja, akan aku selesaikan hari ini," ucap Farraz.Tumben sekali sang Ayah datang ke kantornya. Ingin memantau mungkin. Sudah lama juga pria paruh baya itu tidak datang ke tempat yang ia bangun dengan kerja kerasnya."Ayah bangga, karena kau sudah menjadi pengganti Ayah. Itu bagus. Pertahankan kinerja kerjamu, Farraz. Pastikan perusahaan ini semakin berkembang, agar kita bisa memperluas cabang," papar Ayah Aryan.Putra semata wayangnya berdehem. Tanpa Ayahnya suruh pun ia pasti akan mempertahankan perusahaan ini. Mau bagaimana pun juga, perusahaan sang Ayah merupakan tanggung jawabnya juga.Selama ia menjadi pemimpin selama 5 tahun silam, Arsawijaya Copration semakin berkembang pesat, itu karena kerja keras Farraz selama di perusahaan ini."Ya aku paham. Tanpa Ayah perintahkan aku akan melakukannya. Ayah tahu sendiri, bukan? Selama aku memimpin, perusahaan ini berkembang," Farraz tertawa kecil, membanggakan hasil kerja kerasnya selama ini.Jika di bandingkan dengan sang Ayah, mungkin tidak ada apa-apanya. Karena Farraz hanya jadi penerus, sementara sang Ayah orang yang paling berjasa, sudah membangun perusahaan Arsawijaya Copration dari nol."Ya, Ayah akui jika kau memang pria hebat dan bertanggung jawab. Kau semakin sukses di usiamu masih muda, pasti banyak wanita di luar sana yang ingin menjadi pendamping hidupmu," ujar Ayah Aryan. Pria itu mendudukan bokongnya di sofa, sembari menatap ke arah Farraz yang langsung terdiam.Bibir Farraz mengatup rapat, mencerna apa yang di katakan oleh Ayahnya tadi. Tidakah Ayahnya lupa jika dirinya sudah memiliki istri?"Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti," pungkas Farraz.Ayah Aryan tidak menjawab, tetapi malah tertawa meremehkan. "Bahkan orang cerdas sepertimu pun tidak mengerti hal demikian."Farraz tergugu, setelah ia mencerna ucapan Ayahnya, sekarang ia tahu apa maksud pria paruh baya itu.Tangan Farraz terkepal. Selalu saja menyuruhnya untuk menikah lagi, padahal sudah berkali-kali ia tolak."Kenapa kau terus membicarakan wanita lain kepadaku? Ayah pun tahu, jika aku sudah memiliki istri. Apa Ayah tidak mengerti?" gerutu Farraz mulai terbawa emosi.Raut wajah keduanya langsung berubah serius. Farraz juga mulai terbawa emosi, karena ia sedang cape dan banyak pikiran."Untuk apa mempertahankan Grisella? Bahkan selama apa pun kau menunggu, kita tidak tahu dia akan hidup atau mati. Lagi pula, Grisella juga tidak bisa memberikan keturunan, bukan? Tidak ada salahnya jika kau menikah dan mencari istri untuk bisa memiliki keturunan."Sudah Farraz duga, jika kedatangan sang Ayah bukan sekedar berkunjung saja, tetapi ada maksud lain. Sepertinya Ayah Aryan sengaja menyusulnya ke sini untuk membahas hal ini.Pembahasan yang membuat Farraz muak dan ia hindari sejak beberapa hari lalu. Semenjak membahas itu, Farraz lebih memilih tinggal di apartemen yang tidak Ayahnya ketahui.Brak.Gebrakan meja membuat Ayah Aryan terlonjak, lantaran Farraz sudah tersulut emosi."Berhenti bicara omong kosong! Sampai kapan pun aku tidak akan menikah lagi, hanya Grisella wanita yang aku cintai! Kau mengerti!" ketus Farraz.Ayah Aryan menyunggingkan senyum. "Ck, bertahun-tahun aku mengajarimu, apakah ini etikamu kepada Ayahmu, Farraz? Hanya karena wanita itu kau sampai membentak Ayahmu.""Wanita yang kau maksud itu memiliki nama, Ayah! Grisella Anastia, dia istriku dan juga menantumu!" tegas Farraz, menatap nyalang ke arah Ayahnya yang seakan memancing amarahnya.Namun, Ayah Aryan bersikap santai walau sebenarnya ia geram pada putra semata wayangnya."Menantu? Cih, jangan harap Ayah menganggap dia sebagai menantu. Dari awal pun Ayah tidak setuju kau menikah dengan wanita yang tidak jelas asal-usulnya," ledek Ayah Aryan. Tidak segan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Grisella—menantunya sendiri."Tidak masalah jika kau tidak merestui kami, tapi yang jelas itu tidak penting bagiku. Dengan atau tanpa restu darimu, aku akan memilih Grisella dari pada siapa pun."Alis Ayah Aryan terangkat. "Sekali pun kau harus kehilangan jabatan dan hidup seperti gelandangan?""Kenapa kau bicara seperti itu? Kau ingin mengancamku?"Beginilah Farraz, setiap kali amarah menyelimuti diri, dia tidak akan memandang bulu. Tidak perduli dia berbicara dengan siapa, ia tidak memikirkan itu."Hei Nak! Aku Ayahmu, panggil aku Ayah. Kau bicara seperti itu seolah Ayah ini musuhmu, Farraz!" Kini Ayah Aryan yang mulai terbawa emosi. Dirinya kesal karena demi wanita itu, Farraz jadi bicara kurang ajar padanya. Kehadiran Grisella sangat berpengaruh bagi putranya."Tergantung situasi, jika kau membuatku emosi. Aku tidak akan segan untuk menghajarmu, meskipun kau adalah Ayahku."Menghela napas kasar, Ayah Aryan menatap bengis ke arah netra Farraz yang sudah memerah menahan amarah."Kurang ajar sekali kau sebagai anak. Begini saja, Ayah akan memberikanmu dua pilihan. Menikah lagi atau seluruh warisan yang Ayah punya Ayah serahkan pada kakak tirimu Prayoga," ancam Ayah Aryan yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya.Sehingga di ruangan yang tadinya sepi kini riuh oleh perdebatan antara anak dan Ayah itu.Kedua mata Farraz membelalak ketika Ayahnya mulai mengeluarkan ancaman itu. Sampai kapan pun, Farraz tidak akan sudi jika warisan Ayahnya jatuh pada Prayoga yang bernotabene sebagai kakak tirinya.Secara garis keturunan, hanya dia yang berhak mendapatkan warisan sang Ayah. Tanpa warisan dan harta Ayahnya, Farraz tidak mungkin menjadi Farraz yang sekarang."Cih, aku tidak sudi harus berbagi dengan anak selingkuhanmu itu! Dia bukan kakakku! Dia orang lain!" sentak Farraz."Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian