Share

Bab 06. Keharmonisan Keluarga

Di tempat yang tak jauh dari meja makan. Farraz berekspresi datar dengan tangan terkepal kuat melihat keharmonisan mereka bertiga. Dari dulu memang Farraz tidak suka dengan Arsinta dan Prayoga. Itulah mengapa, mereka tidak terlalu akrab karena Farraz yang selalu acuh pada keduanya.

Mata merah itu memejam, dengan rahang yang mengeras. Ia tidak suka dengan kebahagian mereka. Ada alasan yang membuat Farraz muak satu atap dengan Ayah Aryan.

Saat Ibunya meninggal, dengan gampangnya sang Ayah mengakui jika dirinya telah berselingkuh bahkan akan mempersunting wanita selingkuhannya, tepat 2 hari setelah kepergian Ibunya. Sangat singkat, bukan?

"Lihatlah Bu, jalang itu masih bisa tertawa diatas penderitaanmu," gumam Farraz.

Rasa sakit di hatinya belum bisa ia sembuhkan. Dimana pada saat dirinya masih berduka dengan kematian Ibunya, sang Ayah malah memilih untuk menikah lagi.

Yang Farraz tahu, bahwa kematian sang Ibu memang karena penyakit yang dideritanya. Ibunya mempunyai riwayat jantung, dulu sakit jantungnya kumat kala dirinya memergoki sang suami tengah bercinta di sebuah hotel megah.

Farraz melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Meski terlihat harmonis, tidak ada niatan sekali untuk bergabung dengan orang sudah merenggut kebahagiannya.

Suara langkah kaki membuat atensi ketiga orang dewasa itu beralih, menatap kedatangan seorang pria bertubuh jangkung dan tampan dengan balutan tuxedo di badannya.

Namun, dibalik wajah tampan itu. Ekspresi Farraz selalu datar, tidak pernah memperlihatkan senyuman ketika sudah berada di hadapan mereka. Yang selalu mereka lihat, hanya tatapan sinis dan sikap dinginnya Farraz.

"Nak Farraz ..." sapa Arsinta, yang tidak dihiraukan oleh Farraz.

Lelaki bertubuh kekar itu mendudukan bokongnya di dekat kursi sang Ayah. Diabaikan seperti itu, Arsinta jadi malu dan kesal, meskipun sudah biasa.

"Ada apa Farraz? Ada yang ingin kau katakan? Atau kau ingin sarapan dulu?" tanya Ayah Aryan. Di dalam hatinya, ia sangat senang karena kehadiran Farraz pagi ini. Sudah lama sekali sang putra tidak ke kediamannya.

Farraz menatap makanan yang tersaji di meja makan, makanan mewah yang dimasak oleh Arsinta tidak membuatnya berselera. Yang ada malah selera makannya hilang.

Dibandingkan harus memakan masakan Ibu tirinya, Farraz lebih suka makan di luar atau makan masakan para maid di kediaman ini. Dari dulu sampai sekarang, Farraz belum pernah merasakan bagaimana rasa masakan sang Ibu tiri itu.

"Tidak perlu. Aku alergi dengan masakan wanita selingkuhanmu itu," tolak Farraz dengan gamblang.

"Jaga ucapanmu, Farraz. Kau harus menghargai masakan Ibumu."

Ayah Aryan melirik ke arah istrinya yang wajahnya sudah merah padam. Tetapi tidak ia hiraukan. Mumpung sang putra datang, dirinya ingin Farraz bercengkrama lebih lama.

"Apa yang Nak Farraz katakan? Memangnya ada yang salah dengan masakan Ibu? Ibu rasa, masakan Ibu enak kok. Ayah dan kakakmu saja suka," Arsinta kembali membuka suara.

"Mereka suka, tetapi aku tidak. Sejak kapan aku punya kakak? Ibuku juga sudah meninggal, dia sudah bahagia di atas sana. Satu-satunya keluarga yang aku punya hanyalah Ayahku, kalian hanya orang asing bagiku," sindir Farraz, Prayoga dan Arsinta semakin geram saja dengan perkataan Farraz yang kurang ajar. Jika tidak ada Ayah Aryan, mungkin mereka sudah meluapkan emosinya secara langsung.

Prayoga memberikan isyarat pada Ibunya agar tenang, sekarang bukan waktu yang pas untuk meledakkan amarah. Mendapat kalimat pedas seperti itu sudah biasa mereka dapatkan, apalagi di kantor, Prayoga malah diremehkan seolah kinerja kerjanya tidak ada apa-apanya.

"Sebaiknya langsung bicara keinti saja, Farraz. Apa maksud kedatanganmu ke mari. Jangan malah meremehkan masakan Ibuku," sahut Prayoga.

Farraz mengangguk pelan, lalu menatap Ayahnya kembali. Diawal, kedatangannya ke sini bukan untuk basa-basi. Kedatangannya ke sini karena ingin menyampaikan sesuatu hal.

"Baik. Kedatanganku ke sini untuk memberitahukan, jika aku siap menuruti permintaan Ayah," ungkap Farraz. Membuat semua orang yang berada di meja makan tercengang.

Mendapat persetujuan dari Farraz, Ayah Aryan merasa senang jika putranya setuju untuk menikah lagi agar bisa memberikannya cucu.

Berbeda dengan Ayah Aryan yang merasa senang. Arsinta dan Prayoga justru sebaliknya, keduanya kesal dan mengumpat dalam hati, lantaran Farraz malah menyetujui permintaan Ayahnya.

Itu artinya, tidak ada kesempatan bagi Prayoga untuk bisa menguasai seluruh kekayaan Ayahnya. Terlebih Farraz setuju, itu berarti semua warisan masih berlaku tercantum nama Farraz Arsawijaya.

"Aku setuju dengan permintaan Ayahku dan aku setuju jika harus menikah lagi dengan wanita yang akan Ayah pilihkan untukku," ujar Farraz kembali menegaskan.

"Kau serius dengan ucapanmu, Farraz?" tanya Ayah Aryan yang tidak bisa menahan rasa senangnya dengan keputusan sang putra.

"Iya, walaupun terpaksa, tidak ada pilihan lain selain menerimanya, bukan? Dari pada aku hidup jadi gelandangan," ucap Farraz.

Ayah Aryan tersenyum lebar sembari memeluk tubuh putra semata wayangnya. Di dalam pelukan Ayahnya, mimik wajahnya berubah datar, tangannya terkepal dan dia juga tidak membalas pelukan Ayahnya.

Baginya, sang Ayah malah senang di atas penderitaannya. Netra hitam legam milik Farraz menatap nanar ke arah Arsinta dan Prayoga, kedua Ibu dan anak itu jadi terdiam.

Terpaksa, ia harus menyetujui hal ini. Agar warisan Aryan Arsawijaya jatuh ke tangannya. Dari pada nanti warisan itu jatuh kepada saudara tirinya, Farraz tidak akan bisa menerima.

Selama ini dia tahu betul, kebusukan dua orang di hadapannya ini. Ibu tirinya bertahan bukan hanya karena cinta, tetapi ingin menguras habis harta kekayaan Ayahnya.

"Ada apa? Kalian tidak suka aku menyetujui permintaan Ayah?" Setelah pelukan mereka terlepas, Farraz bertanya pada dua orang yang sedari tadi hanya terdiam dan menyimak.

Arsinta dan Prayoga saling menatap, wajah keduanya terlihat seperti menahan amarah.

"T-tentu saja Ibu suka mendengarnya, syukurlah jika kamu mau menuruti permintaan Ayahmu, sebagai wujud baktimu padanya," ucap Arsinta berbata.

"Bagaimana dengan kau, Prayoga Dewantara? Apa kau senang mendengar kabar ini?" Farraz beralih menatap Prayoga yang tidak jauh berbeda dengan Ibunya.

Dalam hati, Farraz merasa puas menatap wajah pias mereka ketika lagi-lagi rencana mereka untuk menguasai harta Ayahnya gagal?

Prayoga menatap datar ke arah adik tirinya. Bagaikan diterbangkan ke atas langit, lalu dijatuhkan ke bawah tanah, rasa senang yang ia rasakan kemarin malam pupus begitu saja.

"Untuk apa kau bertanya padaku? Urusanmu itu tidak ada kaitannya denganku. Mau kau menikah lagi atau tidaknya, aku tidak perduli. Kau ingin mengolok-olok dirikku lagi, 'kan?!" cibir Prayoga, yang tak biasa menahan rasa kesalnya. Apalagi melihat seringaian puas Farraz, membuatnya semakin murka saja.

"Ck, lihatlah. Pantas saja Ayah tidak menjadikanmu dijabatan tertinggi jika dirimu emosian begini. Untung aku yang menjabat, jika kau yang menjabat, aku kasihan dengan nasib para karyawan yang selalu kau marahi nantinya."

"SUDAH CUKUP! JANGAN ADA YANG MEMBUAT KERIBUTAN DI SINI!" bentak Ayah Aryan.

Atas keributan pagi ini, Farraz tidak merasa bersalah sama sekali. Justru dia senang melihat ada keributan di rumah yang selalu harmonis ini.

"Jujur saja, aku tidak suka dengan kalian berdua. Sadar dirilah. Anakmu itu hanya anak angkat, jangan bermimpi untuk bisa mendapatkan warisan Ayahku!"

"Kenapa kau menuduh anakku yang tidak-tidak? Kau pikir, kami akan setega itu? Ya Tuhan, kau benar-benar tidak memiliki rasa hormat kepada orangtua. Mas Aryan salah besar, sudah menjadikan dia sebagai atasan, anak ini tidak punya etika dan sopan santun!" Amarah Arsinta semakin menjadi-jadi, saking kesalnya, wanita paruh baya itu menunjuk wajah Farraz.

Arsinta langsung berlalu meninggalkan anak dan Ayah itu di meja makan.

"Apa masalahmu dengan Ibu dan kakak tirimu, Farraz? Kenapa kau semakin tidak suka dengan mereka? Padahal, Sinta dan Yoga sangat baik padamu."

"Aku tidak suka melihat kalian bahagia, sedangkan aku dan Ibuku harus menderita. Apakah itu adil? Sampai kapan pun, mereka hanya orang asing bagiku. Sadarlah, mereka tidak sebaik yang kau pikirkan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status