Di tempat yang tak jauh dari meja makan. Farraz berekspresi datar dengan tangan terkepal kuat melihat keharmonisan mereka bertiga. Dari dulu memang Farraz tidak suka dengan Arsinta dan Prayoga. Itulah mengapa, mereka tidak terlalu akrab karena Farraz yang selalu acuh pada keduanya.
Mata merah itu memejam, dengan rahang yang mengeras. Ia tidak suka dengan kebahagian mereka. Ada alasan yang membuat Farraz muak satu atap dengan Ayah Aryan.Saat Ibunya meninggal, dengan gampangnya sang Ayah mengakui jika dirinya telah berselingkuh bahkan akan mempersunting wanita selingkuhannya, tepat 2 hari setelah kepergian Ibunya. Sangat singkat, bukan?"Lihatlah Bu, jalang itu masih bisa tertawa diatas penderitaanmu," gumam Farraz.Rasa sakit di hatinya belum bisa ia sembuhkan. Dimana pada saat dirinya masih berduka dengan kematian Ibunya, sang Ayah malah memilih untuk menikah lagi.Yang Farraz tahu, bahwa kematian sang Ibu memang karena penyakit yang dideritanya. Ibunya mempunyai riwayat jantung, dulu sakit jantungnya kumat kala dirinya memergoki sang suami tengah bercinta di sebuah hotel megah.Farraz melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Meski terlihat harmonis, tidak ada niatan sekali untuk bergabung dengan orang sudah merenggut kebahagiannya.Suara langkah kaki membuat atensi ketiga orang dewasa itu beralih, menatap kedatangan seorang pria bertubuh jangkung dan tampan dengan balutan tuxedo di badannya.Namun, dibalik wajah tampan itu. Ekspresi Farraz selalu datar, tidak pernah memperlihatkan senyuman ketika sudah berada di hadapan mereka. Yang selalu mereka lihat, hanya tatapan sinis dan sikap dinginnya Farraz."Nak Farraz ..." sapa Arsinta, yang tidak dihiraukan oleh Farraz.Lelaki bertubuh kekar itu mendudukan bokongnya di dekat kursi sang Ayah. Diabaikan seperti itu, Arsinta jadi malu dan kesal, meskipun sudah biasa."Ada apa Farraz? Ada yang ingin kau katakan? Atau kau ingin sarapan dulu?" tanya Ayah Aryan. Di dalam hatinya, ia sangat senang karena kehadiran Farraz pagi ini. Sudah lama sekali sang putra tidak ke kediamannya.Farraz menatap makanan yang tersaji di meja makan, makanan mewah yang dimasak oleh Arsinta tidak membuatnya berselera. Yang ada malah selera makannya hilang.Dibandingkan harus memakan masakan Ibu tirinya, Farraz lebih suka makan di luar atau makan masakan para maid di kediaman ini. Dari dulu sampai sekarang, Farraz belum pernah merasakan bagaimana rasa masakan sang Ibu tiri itu."Tidak perlu. Aku alergi dengan masakan wanita selingkuhanmu itu," tolak Farraz dengan gamblang."Jaga ucapanmu, Farraz. Kau harus menghargai masakan Ibumu."Ayah Aryan melirik ke arah istrinya yang wajahnya sudah merah padam. Tetapi tidak ia hiraukan. Mumpung sang putra datang, dirinya ingin Farraz bercengkrama lebih lama."Apa yang Nak Farraz katakan? Memangnya ada yang salah dengan masakan Ibu? Ibu rasa, masakan Ibu enak kok. Ayah dan kakakmu saja suka," Arsinta kembali membuka suara."Mereka suka, tetapi aku tidak. Sejak kapan aku punya kakak? Ibuku juga sudah meninggal, dia sudah bahagia di atas sana. Satu-satunya keluarga yang aku punya hanyalah Ayahku, kalian hanya orang asing bagiku," sindir Farraz, Prayoga dan Arsinta semakin geram saja dengan perkataan Farraz yang kurang ajar. Jika tidak ada Ayah Aryan, mungkin mereka sudah meluapkan emosinya secara langsung.Prayoga memberikan isyarat pada Ibunya agar tenang, sekarang bukan waktu yang pas untuk meledakkan amarah. Mendapat kalimat pedas seperti itu sudah biasa mereka dapatkan, apalagi di kantor, Prayoga malah diremehkan seolah kinerja kerjanya tidak ada apa-apanya."Sebaiknya langsung bicara keinti saja, Farraz. Apa maksud kedatanganmu ke mari. Jangan malah meremehkan masakan Ibuku," sahut Prayoga.Farraz mengangguk pelan, lalu menatap Ayahnya kembali. Diawal, kedatangannya ke sini bukan untuk basa-basi. Kedatangannya ke sini karena ingin menyampaikan sesuatu hal."Baik. Kedatanganku ke sini untuk memberitahukan, jika aku siap menuruti permintaan Ayah," ungkap Farraz. Membuat semua orang yang berada di meja makan tercengang.Mendapat persetujuan dari Farraz, Ayah Aryan merasa senang jika putranya setuju untuk menikah lagi agar bisa memberikannya cucu.Berbeda dengan Ayah Aryan yang merasa senang. Arsinta dan Prayoga justru sebaliknya, keduanya kesal dan mengumpat dalam hati, lantaran Farraz malah menyetujui permintaan Ayahnya.Itu artinya, tidak ada kesempatan bagi Prayoga untuk bisa menguasai seluruh kekayaan Ayahnya. Terlebih Farraz setuju, itu berarti semua warisan masih berlaku tercantum nama Farraz Arsawijaya."Aku setuju dengan permintaan Ayahku dan aku setuju jika harus menikah lagi dengan wanita yang akan Ayah pilihkan untukku," ujar Farraz kembali menegaskan."Kau serius dengan ucapanmu, Farraz?" tanya Ayah Aryan yang tidak bisa menahan rasa senangnya dengan keputusan sang putra."Iya, walaupun terpaksa, tidak ada pilihan lain selain menerimanya, bukan? Dari pada aku hidup jadi gelandangan," ucap Farraz.Ayah Aryan tersenyum lebar sembari memeluk tubuh putra semata wayangnya. Di dalam pelukan Ayahnya, mimik wajahnya berubah datar, tangannya terkepal dan dia juga tidak membalas pelukan Ayahnya.Baginya, sang Ayah malah senang di atas penderitaannya. Netra hitam legam milik Farraz menatap nanar ke arah Arsinta dan Prayoga, kedua Ibu dan anak itu jadi terdiam.Terpaksa, ia harus menyetujui hal ini. Agar warisan Aryan Arsawijaya jatuh ke tangannya. Dari pada nanti warisan itu jatuh kepada saudara tirinya, Farraz tidak akan bisa menerima.Selama ini dia tahu betul, kebusukan dua orang di hadapannya ini. Ibu tirinya bertahan bukan hanya karena cinta, tetapi ingin menguras habis harta kekayaan Ayahnya."Ada apa? Kalian tidak suka aku menyetujui permintaan Ayah?" Setelah pelukan mereka terlepas, Farraz bertanya pada dua orang yang sedari tadi hanya terdiam dan menyimak.Arsinta dan Prayoga saling menatap, wajah keduanya terlihat seperti menahan amarah."T-tentu saja Ibu suka mendengarnya, syukurlah jika kamu mau menuruti permintaan Ayahmu, sebagai wujud baktimu padanya," ucap Arsinta berbata."Bagaimana dengan kau, Prayoga Dewantara? Apa kau senang mendengar kabar ini?" Farraz beralih menatap Prayoga yang tidak jauh berbeda dengan Ibunya.Dalam hati, Farraz merasa puas menatap wajah pias mereka ketika lagi-lagi rencana mereka untuk menguasai harta Ayahnya gagal?Prayoga menatap datar ke arah adik tirinya. Bagaikan diterbangkan ke atas langit, lalu dijatuhkan ke bawah tanah, rasa senang yang ia rasakan kemarin malam pupus begitu saja."Untuk apa kau bertanya padaku? Urusanmu itu tidak ada kaitannya denganku. Mau kau menikah lagi atau tidaknya, aku tidak perduli. Kau ingin mengolok-olok dirikku lagi, 'kan?!" cibir Prayoga, yang tak biasa menahan rasa kesalnya. Apalagi melihat seringaian puas Farraz, membuatnya semakin murka saja."Ck, lihatlah. Pantas saja Ayah tidak menjadikanmu dijabatan tertinggi jika dirimu emosian begini. Untung aku yang menjabat, jika kau yang menjabat, aku kasihan dengan nasib para karyawan yang selalu kau marahi nantinya.""SUDAH CUKUP! JANGAN ADA YANG MEMBUAT KERIBUTAN DI SINI!" bentak Ayah Aryan.Atas keributan pagi ini, Farraz tidak merasa bersalah sama sekali. Justru dia senang melihat ada keributan di rumah yang selalu harmonis ini."Jujur saja, aku tidak suka dengan kalian berdua. Sadar dirilah. Anakmu itu hanya anak angkat, jangan bermimpi untuk bisa mendapatkan warisan Ayahku!""Kenapa kau menuduh anakku yang tidak-tidak? Kau pikir, kami akan setega itu? Ya Tuhan, kau benar-benar tidak memiliki rasa hormat kepada orangtua. Mas Aryan salah besar, sudah menjadikan dia sebagai atasan, anak ini tidak punya etika dan sopan santun!" Amarah Arsinta semakin menjadi-jadi, saking kesalnya, wanita paruh baya itu menunjuk wajah Farraz.Arsinta langsung berlalu meninggalkan anak dan Ayah itu di meja makan."Apa masalahmu dengan Ibu dan kakak tirimu, Farraz? Kenapa kau semakin tidak suka dengan mereka? Padahal, Sinta dan Yoga sangat baik padamu.""Aku tidak suka melihat kalian bahagia, sedangkan aku dan Ibuku harus menderita. Apakah itu adil? Sampai kapan pun, mereka hanya orang asing bagiku. Sadarlah, mereka tidak sebaik yang kau pikirkan."Di kursi kebesarannya, seorang pria yang menduduki jabatan CEO itu tampak sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya. Tidak hanya itu saja, di atas meja kerjanya terdapat beberapa tumpukan berkas-berkas yang harus ia tandatangani.Pagi ini, Farraz merasa sangat puas sudah membuat keributan di kediaman orang tuanya. Lebih puas lagi melihat Arsinta dan Prayoga sangat jengkel dengan sikapnya. Itu bagus, memang itu yang Farraz inginkan, mengganggu ketenangan hidup mereka.Netra hitam legam milik Farraz menatap lurus ke depan, guna memfokuskan diri pada pekerjaannya yang sangat menumpuk. Setiap hari memang beginilah pekerjaannya. Tidak jauh dari laptop dan berkas-berkas."Pak Farraz, ini laporan pendapatan dari Manajer keungan," ucap Radit.Menghentikan kegiatan Farraz sejenak. Ia melepaskan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya, lalu menyimpannya di atas meja."Baik," jawab Farraz singkat.Dia menerima berkas laporan keuangan dari Sekretarisnya, kemudian membuka berkas tersebut, gun
Di dalam sebuah unit perumahan, terlihat seorang gadis kini sedang sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Seorang gadis muda berusia 25 tahun itu tampak cantik dengan balutan dress selutut yang pas di tubuhnya, rambut yang digelung asal dan polesan make up tipis membuat kecantikan gadis itu bertambah, bahkan terlihat lebih natural. Tanpa polesan make up pun wajahnya sudah cantik dan manis.Shanaya Alunda namanya, gadis cantik blasteran Indonesia-China itu tampak sedang sibuk menyiapkan masakan, untuk menyambut kepulangam seseorang yang teramat penting baginya.Beberapa menit berkutat, akhirnya masakan pun sudah matang dan tersaji di meja makan. Ia melepaskan celemek yang menghalangi tubuhnya, kemudian membasuh tangannya agar bersih.Drrtt ... drrttt ....Suara deringan ponsel, membuat atensi gadis berwajah cantik itu beralih. Keningnya mengerut."Halo, mohon maaf, ini dengan siapa?" tanya Shanaya bertanya pada seseorang di seberang sana."Ini Daddy, Shana. Maaf sayang, Daddy tidak bisa
Dengan wajah berderai air mata, Shanaya terus mencoba dan memohon kepada Aryan Arsawijaya supaya dia bisa membebaskan Ayahnya. Baru ia ketahui, jika Ayahnya harus korupsi hanya karena ingin membahagiakan dirinya.Andai saja dia bisa mengulang waktu, mungkin dirinya tidak akan menerima begitu saja barang pemberian Ayahnya. Dia tahu, bahwa Ayahnya pernah mengeluh karena biaya kuliahnya. Tetapi sang Ayah menyuruhnya untuk tetap melanjutkan kuliah hingga ke S2.Ia hanya mampu berandai-andai saja, Shanaya merasa sedih dan bersalah. Karena dirinya menjadi sebab akibat Ayahnya berbuat seperti itu. Hanya demi dirinya, sang Ayah harus dihukum di tempat ini."Di sini yang bersalah adalah aku. Daddy melakukan semua itu demi aku, tolong lepaskan Daddy. Kalian boleh menghukumku, asal kalian bebaskan Daddyku," pinta Shanaya tak putus asa memohon dan meminta agar Ayahnya dibebaskan.Pak Amir menangis tersedu, akibat kesalahannya Shanaya harus memohon-mohon seperti itu. Pak Amir merasa gagal menjadi s
Pria dan wanita berbeda jenis itu membuang pandangan kesal, keduanya sepakat untuk tidak menyetujui perkataan Tuan Aryan. Terlebih ini soal pernikahan, hal yang sakral, yang tidak bisa dimainkan begitu saja.Shanaya dan Farraz baru saja bertemu hari ini, dengan gamblang Tuan Aryan malah menjodohkan keduanya. Baik Farraz maupun Shanaya, tidak dengan mudah menyetujui persyaratan ini.Impian semua orang itu menikah dengan seseorang yang dicintai. Shanaya tidak kenal dengan Farraz, begitu juga dengan Farraz. Ia juga terpaksa menuruti permintaan sang Ayah demi mendapatkan warisan, walau sebenarnya dia sudah beristri."Shanaya! Dengarkan Daddy Nak, kau tidak boleh menyetujui persyaratan ini. Lebih baik Daddy di penjara, dari pada harus mengorbakan masa depanmu demi Daddy!" bujuk Pak Amir pada putri semata wayangnya. Pak Amir memegang kedua bahu anaknya, seolah meyakinkan Shanaya agar putrinya menolak.Keputusan Tuan Aryan membuat kaget semua orang. "Tapi Dad ... jika aku menolak, Daddy past
Sesuai kesepakatan kedua belah pihak, rencana pernikahan kini akan dibahas di kediaman Arsawijaya. Tuan Aryan memberitahukan pada Farraz dan Shanaya agar datang, untuk turut ikut andil dalam membahas hal ini.Tuan Aryan ingin pernikahan ini segera dilangsungkan. Dia ingin segera mempunyai cucu dari pernikahan kedua anaknya ini.Soal proses penghukuman Pak Amir, sudah ada yang mengurus. Saat ini Pak Amir harus kehilangan rumah mewah dan aset lainnya yang ia beli dari hasil penggelapan dana."Sebenarnya gadis seperti apa calon istri keduamu itu? Apakah di atas Grisella atau justru lebih rendah dari istrimu?" tanya Prayoga ketika berpas-pasan dengan Farraz di bar rumahnya.Di kediaman Arsawijaya, ada banyak fasilitas di dalamnya. Ada bar kecil yang disediakan untuk bersantai dan menikmati minuman.Farraz tidak menggubris, hanya menganggapnya angin lalu. Sebelum bertemu dengan Shanaya, ia membutuhkan waktu untuk menerima keadaan."Mulut lancangmu itu tidak berhak menyebut nama istriku. Ji
Mengetahui jika yang akan dinikahi oleh adik tirinya adalah mantan kekasihnya, saat itu juga Prayoga merasa sangat geram, lantaran Farraz selalu saja mengambil apa yang menjadi miliknya.Baru ia ketahui jika Shanaya adalah anak dari Manajer keuangan di perusahaan yang sama. Jika tahu begini, dia sudah menanyakan Shanaya saja kepada Ayahnya.Bertahun-tahun ia mencari keberadaan Shanaya, sekalinya bertemu, Shanaya akan menjadi calon istri adiknya."ARGH! KENAPA KAU MERENGGUT SEMUA MILIKKU FARRAZ!""KENAPA KAU SELALU MENJADI PENGHALANGKU!"Dengan emosi yang memuncak, Farraz menyapu semua barang yang ada di kamarnya hingga barang itu berserakan di lantai.Mendengar kagaduhan di kamar putranya, Arsinta langsung masuk dengan panik.Matanya membelalak ketika melihat banyaknya barang berserakan di kamar Prayoga, juga terlihat wajah putranya yang diselimuti oleh amarah."Astaga Yoga! Apa yang sedang kau lakukan?!" Arsinta menarik kasar tangan anaknya agar tidak menghancurkan barang disekitarny
Guna menghilangkan ketakutan dan kegugupan yang Shanaya rasakan, Shanya hanya bisa menahan segala sesak yang menghantam dadanya. Harusnya dihari yang berbahagia ini, kedua mempelai merasa senang seperti pengantin pada umumnya.ini justru sebaliknya, Hanya ada keheningan ketika mereka sudah berdua dan duduk di kursi pelaminan, bahkan duduk saja Farraz sampai mengikis jarak, seakan tidak mau berdekatan dengan Shanaya.Dihari pernikahan ini, Shanaya bagai menelan pil pahit. Dia harus mengukir senyum paksa ketika berhadapan dengan para tamu undangan. Tidak mungkin juga 'kan dia terlihat menyedihkan hanya karena diabaikan sang suami dihari pernikahannya."Lihat saja, jika kau berani bicara macam-macam tentangku kepada keluargaku. Aku akan memberimu pelajaran, Shanaya!" ancam Farraz, yang menyadari perubahan raut wajah Shanaya yang kian menyendu.Bukannya merasa iba dan kasihan, Farraz justru merasa puas dan senang dengan wajah menyedihkan Shanaya. Polesan make up tipis membuat paras istrin
Sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara antara keduanya. Sepasang pengantin baru itu sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Shanaya juga tidak berani angkat bicara. Sebab, ia masih shock ketika Farraz membentaknya di parkiran rumahnya.Seumur hidupnya, Shanaya baru merasakan yang namanya dibentak oleh seorang pria. Bahkan, Ayahnya saja tidak pernah berbuat kasar seperti itu. Ini pertama kalinya. Dan itu pun oleh suaminya sendiri.Mobil sport hitam mewah itu melaju di atas kecepatan rata-rata, mobil milik Farraz Arsawijaya membelah jalanan ibukota dengan sangat cepat. Diamnya Farraz, Shanaya jadi menciut. Farraz sangat menyeramkan jika sedang marah, padahal mereka baru kenal, Farraz memiliki aura yang sangat kuat."Mas Farraz, pelan Mas. Bahaya kalau kamu nyetir mobil terlalu cepat!" Sontak Shanaya berpegangan pada kursi mobil. Dirinya memekik kaget, seakan hatinya akan loncat dari tempatnya. Kendaraan yang mereka tumpangi, malah semakin menambah laju kecepatan