"Kau sudah tahu, kan? Maksud kedatangan ku kesini," tutur Hugo tiba-tiba setelah keduanya sampai di kantin.
Keadaan kantin ini sedang sepi sekarang. Hanya ada mereka berdua yang berada disini. Duduk saling berhadap-hadapan satu sama lain. Danila begitu gugup rasanya. Menatap wajah orang itu dari jarak yang bahkan tidak berjarak sedikit pun.Harus diakui, Hugo memang tampan. Kulit wajahnya begitu terawat dan bersih. Bahkan bibirnya terlihat berwarna pink. Aroma tubuhnya tercium wangi parfum mewah. Harum, tapi tidak menyengat."A-aku? Aku tidak tahu," balas Danila bingung seraya menggeleng pelan.Dia memang tidak tahu. Maka jangan salahkan dia jika mengatakan tak mengetahui apa-apa. Tapi, apa itu ada hubungannya dengan perjodohan?Hugo menghela napasnya panjang. Dia kemudian meneguk air mineral yang baru saja di pesan olehnya. Danila memperhatikan cara dia meminum air itu.Iya tahu, dia memang tampan."Hari rabu mendatang, adalah hari pernikahan kita. Apa Ayahmu tidak mengatakan apa pun soal itu?" ujarnya lagi pada Danila."Papa memang mengatakannya, tapi aku tidak tahu kalau kau akan datang ke sekolah ku seperti sekarang ini," balas Danila serius."Aku sebenarnya tidak ingin menikah lagi. Tapi Kakek yang memaksa ku agar menerima perjodohan tak jelas begitu. Lagi pula perjanjian itu sudah lama sekali, bukan? Aku bahkan sudah menikah dan mempunyai seorang Putra. Kau tahu, kan? Putraku seperti apa. Dia tidak suka jika aku menikahi wanita lain selain Ibunya sendiri." Hugo berceloteh banyak tentang perjodohan itu, juga mengenai putranya serta latar belakang kisah kehidupannya yang pernah menikah sebelumnya.Danila meneguk salivanya. Mendengar kata-kata terakhir Hugo yang terdengar tajam. Seperti menegaskan kalau dirinya tidak akan pernah mencintai nya, selain istrinya yang sudah tiada.Sebenarnya tak ada yang salah dalam kata-katanya. Karena tidak semua orang bisa dengan mudah mencintai orang baru. Terlebih lagi pada hati yang sudah terlanjur dalam mencintai seseorang. Meskipun orang itu sudah tiada.Karena kesetiaan, tak semua orang memilikinya. Dan Hugo, sangat menjaga dirinya untuk setia pada istrinya yang sudah tiada. Lalu Danila datang, seolah menjadikan dirinya penghalang untuk ayah dan anaknya. Dan itu semua bukan keinginan Danila.Tapi atas dasar perjodohan yang sudah tertulis pada janji kedua keluarga mereka sejak lama. Hingga membuat ikatan tali antar keduanya. Namun, akankah mereka berdua bisa menjadi pasangan yang sempurna?Jika gejolak di dalam hati Hugo sudah tertulis nama Sania, lantas bagaimana dengan Danila? Meskipun saat ini Danila masih mencintai Bagas. Tapi tak ada yang tahu, jika Danila tiba-tiba berubah cinta pada Hugo.Sebab hati seorang wanita itu rapuh, dan mudah sekali untuk luluh. Bahkan dengan hal-hal kecil sekali pun. Mereka akan mudah merasakan perasaan cinta. Meskipun di awali dari rasa nyaman."Ya, aku sudah mendengar tentang Anakmu yang bernama Haga. Bilang saja padanya, kalau pernikahan ini tidak serius. Ibunya tidak akan berubah. Tetap dengan Ibu lamanya," tutur Danila membalas ucapannya. Hugo tiba-tiba mengernyitkan dahinya sekejap."Ibu lamanya? Apa kau pikir dia mau menerima kehadiranmu sebagai Ibu barunya, begitu? Ck! Jangan terlalu berharap lebih! Haga tidak mudah di dekati. Dia lebih pandai dari anak lain yang berumur tiga tahun sepertinya." Hugo mengatakan tanpa ekspresi.Wajah tampannya begitu dingin dan datar. Danila meneguk salivanya, setelah mendapati kata-kata tajam dari Hugo barusan. Ia tidak menyangka jika seorang tuan muda sepertinya memiliki mulut setajam pisau."Sia-sia aku bertemu dengannya begini, kalau hanya di ceramahi dan di remehkan olehnya. Lagi pula, Papa masih saja menanggapi perjodohan itu. Lebih baik aku menikah dengan Bagas kalau begitu," dalam hati Danila menggerutu sebal."Apa yang kau katakan dalam hati mu? Menggerutu kesal dan memakiku dalam hati?" gumam Hugo membuat Danila terperanjat tak menyangka.Tangan Danila langsung bergetar gugup sekarang. Ia memekik kaget dengan wajah pias nya. Sebab pria menyebalkan itu bisa mengetahui apa yang di ucapkan Danila di dalam hatinya.Dia itu cocoknya jadi peramal, bukan jadi CEO nya Waseda Group."T-tidak, mana ada? Aku tidak berpikir dan mengatakan apapun dalam hati," pungkas Danila sedikit terbata seraya menggelengkan kepalanya cepat."Aku tunggu kau di helikopter! Ambil tasmu dan datangi aku kesana! Hari ini kau sudah diberikan izin oleh kepala sekolah mu," sambung Hugo tiba-tiba sambil beranjak bangun dari kursi itu. Danila lagi-lagi dibuat bingung oleh orang itu."Aku tahu kau sangat berkuasa di Negara ini. Tapi jangan seolah hanya kau saja yang kaya raya. Keluargaku juga kaya. Jangan pernah memberikan perintah sesukamu pada orang lain! Termasuk padaku!" Danila mengucapkan kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan berani.Entah sudah kerasukan apa, tiba-tiba nyali Danila meninggi. Dirinya tak suka diberikan perintah oleh siapapun. Seorang gadis remaja yang sedang memasuki masa-masa pubertas, mengalami tekanan emosional yang lebih tinggi. Danila mengepal kuat kedua tangan nya. Hugo lantas menoleh dan berbalik menghadap Danila."Kau pikir aku mau? Menikahi seorang wanita sepertimu?! Jangan membuatku marah karena perilakumu yang tidak sopan padaku! Aku bahkan bisa menghancurkan perusahaan keluargamu, meski dalam sekejap mata. Harta keluargamu, juga ada campur tangan dari Waseda Group. Jangan jadi orang yang tidak tahu balas budi."Hugo mengatakan kalimat yang terdengar ancaman bagi Danila. Kata-katanya tajam, hingga menusuk ke bagian ulu hati. Dia lalu kembali berbalik badan dan berjalan pergi dari sana. Setelah mengucapkan semua itu pada Danila. Tinggallah Danila sendiri, yang masih berdiri mematung menatapnya pergi."Kenapa Papa memberikanku pria kejam sepertinya?! Apa dia tidak tahu, wajah asli dari seorang Hugo itu?! Kurasa semua orang tidak mengetahuinya. Tapi aku tahu. Dan sekarang, aku semakin membenci dirinya!" dalam hati Danila mengucapkan kata-kata itu.Ia tidak ingin perusahaan ayahnya hancur, hanya karena dirinya melawan serta menentang perjodohan itu. Danila sudah terjebak dalam situasi sulit sekarang. Sebagai seorang anak yang selalu di ratukan oleh keluarganya sendiri, kini harus berubah menjadi sesosok burung yang berada didalam sangkar. Dan harus selalu patuh dengan tuannya.Danila berjalan cepat kembali ke dalam kelasnya. Setibanya dia disana, rupanya sudah ada Hugo. Padahal orang itu bilang ingin menunggu di kendaraan miliknya. Tapi sepertinya dia sedang mencari muka dengan semua teman sekelas Danila.Tatapan Danila menatap ke bawah. Dia tidak ingin melihat wajah Hugo. Semua teman sekelasnya memanggilnya. Danila terdiam tanpa berkata apa-apa. Dia langsung mengambil tasnya."Danila, kau beruntung sekali, ya. Dapat seorang tuan Hugo. Wah, kalau aku jadi kamu, aku pasti akan memberitahukan berita bahagia ini pada semua orang. Tapi kau malah diam-diam saja.""Iya, kalau bukan tuan Hugo yang datang kesini, kami semua pasti tidak akan pernah tahu hubungan mereka berdua. Iya kan, teman-teman?"Kedua orang teman Danila memuji hubungannya dengan Hugo. Menganggap bahwa mereka adalah pasangan bahagia. Dan menilai Danila adalah wanita yang beruntung, karena bisa mendapatkan Hugo sebagai lelakinya."Kalian memujiku begitu karena kalian semua tidak tahu seperti apa wajah aslinya. Aku tidak seberuntung itu. Tak seperti yang kalian katakan barusan," tutur Danila dalam hati sedu.Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Danila terlonjak kaget, ia pun menoleh. Mendapati Hugo yang sudah ada di belakangnya. Lelaki itu sekarang ini sedang menggandeng bahu Danila. Memperlihatkan ke semua orang bahwa mereka berdua adalah pasangan yang mesra."Jangan pernah mengatakan apa pun tentang diriku pada semua orang. Atau kau ingin keluarga mu hancur berantakan?!" bisik Hugo di telinga Danila mengancam. Sontak membuat Danila yang lagi-lagi meneguk salivanya. Dan harus menahan diri agar tidak emosional karena perkataan tajamnya.Danila mengangguk pelan, dia berjalan mengikuti langkah Hugo yang keluar dari dalam kelasnya. Namun, sesampainya di tempat yang jauh dari keramaian orang-orang, Hugo langsung menjauhkan dirinya dari Danila. Pria itu lantas melepaskan tangannya dari bahu Danila."Kau jangan berharap lebih padaku! Aku menggandengmu hanya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa hubungan ini baik-baik saja. Karena tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya," ujar Hugo sembari berjalan mendahului Danila menuju kendaraan helikopter miliknya.Danila tertunduk sedu, kedua tangannya meremas rok yang dia kenakan. Hatinya tidak merasa bahagia sekarang. Pikirannya mengenai sekolah sudah sirna. Sebab saat ini, hanya ada keraguan serta ketakutan. Mengenai pernikahannya yang sebentar lagi akan di gelar pada hari rabu mendatang.Hugo, kau pria tak berhati!Selama di perjalanan, Danila hanya memandangi ke bawah sana. Satu kota ini terlihat lebih jelas jika dilihat dari atas helikopter yang mereka naiki sekarang. Danila menghela napasnya panjang. Ia bingung, pernikahannya sudah akan di tetapkan. Dan pastinya, itu tidak akan mudah baginya untuk kabur dari sana.Sebab Hugo sudah menjemputnya. Mungkinkah mereka akan pergi ke kediaman rumah utamanya? Danila berharap Bagas bisa datang di hari pernikahannya. Dan membawanya kabur dari sana."Aku tidak ingin menikah dengannya. Bagaimana kisah kehidupanku selanjutnya? Apakah aku akan hidup bahagia?" gumam Danila dalam hati sedu.Hugo tidak mengatakan apapun. Dia tampak fokus melihat ke arah ponselnya. Danila mengintip sedikit dari kejauhan matanya. Wajah seorang anak kecil tertampak disana. Kelihatannya mereka sedang melakukan panggilan video call."Apa itu anaknya? Seorang balita genius. Aku tidak yakin akan diterima mudah olehnya," cicit Danila dalam hati lagi."Ayah akan pulang sebentar lagi. K
Danila meneguk salivanya, sebab Haga hampir tidak menganggap keberadaannya disini. Namun.... "Haga, kau belum menyelesaikan tugasmu? Ayo selesaikan dulu sekarang," panggil Hugo sang ayahanda pada anak genius itu. Danila mengerutkan keningnya sesaat.Tugas? Anak sekecil itu punya tugas apa memangnya? Bukankah anak-anak pada umumnya hanya bermain saja? Makan, tidur dan main. Lalu menonton film kartun kegemaran mereka. Tapi Haga, ternyata berbeda dengan anak-anak lainnya.Danila mengikuti ke mana langkah kaki Haga si anak genius itu pergi. Rupanya dia memasuki ke sebuah ruang kamar. Mungkinkah itu adalah kamarnya? Baru saja, Danila ingin mendekat ke dalam sana. Untuk membangun kedekatannya dengan Haga. Tapi Hugo, si manusia bermulut pisau itu langsung memanggilnya."Kau mau kemana?" tanya Hugo menepis langkah kaki Danila."Eh, a-aku ...," ucap Danila terbata dan menggantung."Kau harus masuk ke ruang ganti. Kamarnya ada di atas sana," titah Hugo pada Danila."Ruang ganti?" tanya Danila.
Tok tok tok!Danila mengetuk pintu itu. Ruang kerjanya Hugo, sebab sebelumnya dia sempat meminta Danila untuk menemuinya ke sana. Dengan langkah gontai, Danila membuka pintunya.Kriek!“T-tuan? Anda memanggil saya?” ujar Danila hati-hati bertanya. Kepalanya menyembul ke dalam pintu itu. Terlihat dari kejauhan sana, Hugo tengah duduk diatas kursi kerjanya seraya menatap pada layar monitor komputer miliknya.“Ya, masuklah!” sahut Hugo.Danila berjalan mendekatinya dengan wajah tertunduk. Seperti enggan untuk menatap ke arahnya. Namun....“Ada apa dengan wajahmu?” sambung Hugo bertanya, suaranya terdengar dingin. Bahkan tatapan matanya pun juga sama halnya. Spontan Danila menggelengkan kepalanya pelan.“T-tidak apa-apa, tuan.” Danila menyahuti ucapannya. Walau sebenarnya ia gugup dan takut ketika berhadapan dengan orang itu.“Aku tidak akan berlama-lama mengatakannya. Lihat dan bacalah dengan seksama!” tutur Hugo seraya melemparkan sebuah map berwarna cokelat keemasan. Danila terperanja
Singkatnya, Danila dan Hugo telah tiba di kediaman rumah keluarga Danila. Helikopter milik Hugo mendarat tepat disamping halamannya. “Ingat, jangan pernah katakan apapun pada kedua orang tuamu. Kalau kau ingin keluargamu tetap hidup baik-baik saja,” ujar Hugo menggertak Danila. Helaan napas terdengar keluar dari dalam mulutnya, ia tak menyangka bahwa Hugo akan sekejam itu. Dengan anggukan kepala, Danila menuruti perintahnya.Danila dan Hugo keluar secara bersamaan. Keduanya rupanya langsung disambut hangat oleh orang tua Danila. Yang tidak akan pernah tahu hubungan diantara putri dan calon menantunya sebenarnya seperti apa dan bagaimana. “Ayah, Ibu?” gumam Danila ketika pandangannya melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di ambang pintu rumahnya. Menyambut kedatangan mereka berdua.“Danila, kau tidak berkata apapun pada Ayah sebelumnya? Kalau Tuan Hugo akan datang ke rumah kita,” ucap ayah Danila menanyakan itu pada putrinya. “Aku ... Tuan Hugo yang tiba-tiba datang menjemputku k
“Maaf, aku tidak bisa melakukan itu. Aku takut, keluargaku tidak baik-baik saja kalau aku pergi bersamamu. Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini sekarang. Sebelum semuanya terlambat. Aku harus pergi, maaf.” Danila melepaskan pelukannya dari Bagas setelah mengatakan hal itu padanya. Bagas tercengang mendengarnya, tak bisa berkata-kata lagi selain helaan napas yang keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Bagas menerima keputusan Danila. Tubuhnya berdiri mematung menatap kepergian kekasihnya. Sejenak, Bagas mengerjapkan kedua matanya. Dia lalu berjalan pergi seusai berbicara pada Danila tadi. “Kau sudah memutuskan orang itu, apa kau tidak takut akan menyesal nantinya?” tiba-tiba Hugo bertanya setelah Danila kembali memasuki dirinya ke dalam rumah. “Aku lebih menyesal jika tidak mendengarkan kata-kata Ayahku,” balas Danila dengan ekspresi datar. Walau sebenarnya dalam hati ia benar-benar bimbang. Langkah kakinya gontai menaiki tangga, menuju kamarnya. Namun....“Danila! Apa yang kau
Tanpa terasa, hari pernikahan Danila dan Hugo telah tiba. Sejak pagi, Danila sudah sibuk dengan persiapannya. Seperti boneka yang hanya akan menuruti, perintah dari tuannya. Helaan napas panjang keluar dari mulut Danila. Ia kelihatan lebih cantik dari biasanya. Memakai gaun pengantin berwarna putih, membuatnya tampak bagaikan peri. “Percayalah pada Ibu, Danila. Kau akan hidup bahagia setelah menikah dengan Tuan Hugo nanti. Ayo, kita harus bergegas menuju hotel. Helikopter Tuan Hugo sudah menunggu didepan,” ujar ibu Danila. Gadis itu hanya terdiam mematung, lalu berjalan mengikuti arahan dari sang ibu. Ketika sudah tiba didepan pintu rumahnya, seorang pria memakai jas hitam tengah berdiri seraya menatap ke arahnya. Sesaat, orang itu memberikan salam hormatnya pada Danila. Baru kali ini, seorang pengantin datang ke acara pernikahannya menaiki helikopter. Bak seperti di negeri dongeng, yang pergi menunggangi kuda poninya. Danila dan ibunya masuk ke dalam helikopter itu. Sementara ayahn
Malam semakin larut, suhu ruang didalam kamar juga semakin dingin menelusuk ke dalam pori-pori kulit. Danila sudah tertidur lelap dalam mimpinya. Tubuhnya masih berbalut gaun pengantinnya. Namun ia tidak tahu bahwa sepasang mata tengah menatap ke arahnya sekarang. Ya, seseorang memasuki ke dalam kamar. Wajah dingin serta senyum kecut terukir pada bibirnya. Orang itu adalah, Hugo. “Ck, dia memakai pakaian begitu untuk dibawa tidur. Apa dia sengaja melakukannya?” cerca Hugo mendengus sebal. Ia tampak merogoh ponselnya dan menelepon seseorang dibalik telepon itu. “Cepat datang ke kamarku, wanita ini tertidur dalam keadaan masih memakai gaun,” ujarnya lagi berbicara pada orang yang tersambung ditelepon itu. Ia lalu berjalan dan menaruh ponselnya diatas meja kecil yang letaknya berada disebelah ranjang sana. Tok Tok Tok Suara ketukan pintu diketuk dari luar. Hugo menoleh, helaan napasnya terdengar berat. Langkah kakinya berjalan gontai mendekati pintu itu dan membukanya. Terlihat seoran
Suara teriakan Haga rupanya terdengar sampai ke lantai atas. Membuat sepasang telinga mendengarnya dengan tajam. Hugo yang baru saja keluar dari dalam kamarnya langsung berlari kecil menuruni anak tangga itu. “Apa yang terjadi dengan Haga?” suara Hugo sang ayah yang panik berjalan mendekati putranya. “Ayah! Wuwu ... aku tidak suka dia, Ayah!” sahut Haga si kecil seraya memeluk ayahnya. GREP! “Dia? Kenapa? Apa yang terjadi memangnya?” tanya Hugo sembari menatap ke arah Danila yang tampak fokus memakan makanannya. “I-itu Tuan, Nona Danila tadi teringin menyuapi Tuan muda kecil, tapi Tuan muda kecil tidak mau dan berteriak pada Nona Danila,” tutur ibu pelayan menjawab pertanyaan dari tuannya. Hugo tampak menghela napasnya panjang. Dia lantas menatap pada putranya yang berada didekatnya sekarang. Tatapan yang begitu dingin membuatnya lebih menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya.“Kenapa kau melakukan itu? Dia juga Ibumu,” ujar Hugo mengatakan pada Haga. Anak itu mendongak dan men