Selama di perjalanan, Danila hanya memandangi ke bawah sana. Satu kota ini terlihat lebih jelas jika dilihat dari atas helikopter yang mereka naiki sekarang. Danila menghela napasnya panjang. Ia bingung, pernikahannya sudah akan di tetapkan. Dan pastinya, itu tidak akan mudah baginya untuk kabur dari sana.
Sebab Hugo sudah menjemputnya. Mungkinkah mereka akan pergi ke kediaman rumah utamanya? Danila berharap Bagas bisa datang di hari pernikahannya. Dan membawanya kabur dari sana."Aku tidak ingin menikah dengannya. Bagaimana kisah kehidupanku selanjutnya? Apakah aku akan hidup bahagia?" gumam Danila dalam hati sedu.Hugo tidak mengatakan apapun. Dia tampak fokus melihat ke arah ponselnya. Danila mengintip sedikit dari kejauhan matanya. Wajah seorang anak kecil tertampak disana. Kelihatannya mereka sedang melakukan panggilan video call."Apa itu anaknya? Seorang balita genius. Aku tidak yakin akan diterima mudah olehnya," cicit Danila dalam hati lagi."Ayah akan pulang sebentar lagi. Kau tunggulah di rumah. Jangan bermain sembarang, atau aku akan memberikan hukuman padamu nanti!" terang Hugo berbicara pada anaknya di video call itu."Ayah, apa kau sedang bersama dengan seorang wanita? Siapa dia? Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku sebelumnya?" anak itu rupanya mengetahui.Sebab Danila terlihat tidak jauh dari posisi yang di duduki oleh Hugo di dalam kursi helikopter ini."Dia calon Ibumu. Sebentar lagi kau akan bertemu dengannya," tukas Hugo membalas perkataan putranya."Apa? Kau akan menikah lagi? Aku akan lihat seberapa pantaskah dia untuk menjadi Ibuku nanti!" cetus Haga si balita genius itu terdengar sedikit emosi disana.Danila bisa mendengar percakapan antara kedua ayah dan anak itu. Tapi dia memilih untuk berdiam diri. Tanpa menggangu aktifitas mereka."Baru di bicarakan saja sudah emosi. Bagaimana jika anak itu melihat rupaku langsung setelah ini? Aku harap dia tidak mengerjai ku nanti," lanjut Danila berkata dalam hati cemas."Ayah akan tutup telepon ini. Kau jangan lupa makan dan minum susu yang di siapkan oleh Ibu Nun untukmu. Jangan membuatnya sulit! Atau kau tidak akan bisa menikmati ice cream kesukaanmu lagi," gertak Hugo pada anaknya.Tidak disangka, seorang tuan muda kejam itu juga bisa menggertak putranya sendiri. Hei, dia itu putramu atau bukan? Sukanya menindas orang saja."Baik, baik. Aku akan makan dan minum susu secara teratur. Tapi aku ingin lihat wajah wanita itu. Coba Ayah perlihatkan padaku sekarang!" pinta Haga si bayi kecil.Jangan sampai tertukar, antara Haga dan Hugo. Keduanya hampir sama.Hugo sontak melihat ke arah Danila, yang melengos tidak menatapnya dan memandangi ke jendela helikopter itu. Hugo berpaling lagi, lalu kembali menatap putranya yang masih tersambung oleh panggil videonya."Nanti juga kau akan tahu seperti apa. Sudah dulu, Ayah tutup video call ini," ujar Hugo mengakhiri itu. Tapi...."Tunggu! Aku mau lihat sedikit saja. Ayo perlihatkan padaku sekarang juga! Apa Ayah ingin aku merajuk tidak mau makan?" ancam Haga.Hugo mendengus sebal, dia lantas memutar kedua bola matanya. Seorang pria dewasa sepertinya bisa dipermainkan oleh anak kecil yang berusia 3 tahun belum lama ini."Heh, kau mengancam Ayah? Apa kau punya wewenang atas itu? Jangan membuat Ayah marah, Haga. Tutup sambungan telepon ini dan makanlah!" gertak Hugo lagi.Suara anak kecil itu tidak lagi terdengar di telinga Danila. Tampaknya, Haga menyerah setelah menerima gertakan dari ayahnya yang kejam. Hugo pun terlihat sudah tak menggenggam ponselnya. Danila terkekeh dalam hati, sebab ia bisa mendengar percakapan yang tidak biasa. Antara anak dan ayah seperti mereka.Hugo dan Haga. Tuan muda kecil dan dewasa yang sifatnya hampir sama....Setelah menit-menit berlalu, helikopter yang di naiki oleh Hugo dan Danila tiba di depan sebuah rumah besar. Danila hampir tertidur dengan pulas. Namun Danila langsung terbangun, ketika mendengar Hugo memanggilnya."Kau ingin tidur disini selamanya atau ikut turun denganku?" tutur Hugo dingin. Danila membuka kedua matanya secara perlahan. Dia tampak celingukan melihat-lihat sekitarnya."Kita sudah sampai? Ini dimana?" tanya Danila sambil menatap ke jendela.Sebuah rumah besar yang terlihat seperti villa. Di sekitarnya ada halaman yang begitu luas. Bahkan ada banyaknya pepohonan serta tanaman. Danila tidak sabar ingin melihat ke luar."Kita sudah tiba di rumahku. Kau turunlah! Aku begitu pengap berada di dekatmu," cetus Hugo dengan mulut pisaunya.Danila mengernyitkan dahi, dia lantas keluar dari dalam helikopter itu. Kakinya menapak pada tanah yang belum pernah ia pijak sebelumnya. Suasana yang begitu sejuk dan tenang. Danila menghirup udara disekitarnya sangat nyaman."Ah, segarnya! Sudah lama sekali aku tidak merasakan udara yang begitu sejuk seperti disini. Eh, ini di Kota mana? Ini bukan Kota tempat tinggalku," gumam Danila menerka-nerka."Kau bodoh, ya? Ini memang bukan Kota tempat tinggalmu. Ini adalah kediaman rumah ku! Kau bisa membacanya di bagian pintu masuk rumah itu," decak Hugo pada Danila."Bisa-bisanya dia mengatakan aku bodoh? Hei, kau tidak tahu betapa geniusnya aku di sekolah! Lihat saja, aku akan membuat dia dan putranya itu kesulitan!" racau Danila dalam hati memaki Hugo."Ayo masuk!" ajak Hugo mengajak Danila masuk ke dalam rumahnya. Spontan Danila mengangguk pelan, tak ingin merespon banyak ucapan Hugo yang terkesan tajam.Mereka semua masuk ke dalam kediaman rumah Hugo. Bukan hanya Hugo dan Danila saja. Tapi ada juga satu orang lainnya. Yang memakai baju jas seperti Hugo. Entah siapa dia, Danila tidak mau memikirkan orang itu."Ayah!!!" suara anak terdengar lantang memanggil Hugo. Danila terperanjat tak percaya.Seorang anak lelaki bertubuh kecil berlari mendekati Hugo. Dia menyambut kedatangan sang ayah begitu ceria. Danila tidak percaya, sebab wajahnya sangat imut dan lucu. Tapi kenapa mulutnya tajam seperti ayahnya saat mendengar percakapan mereka tadi via sambungan video call itu?"Kyaaaa, jadi itu yang namanya Haga? Putra kecilnya Hugo si pria bermulut pisau! Lucu sekali, aku ingin menggigit wajah chubby nya itu. Eh, nanti kalau Ayahnya marah bagaimana? Aku juga yang akan terkena imbasnya," imbuh Danila dalam hati berteriak gemas.Haga memang lucu dan imut. Sangat heran jika seorang anak kecil sepertinya mempunyai otak yang cerdas. Sebab tubuh Haga ternyata sekecil itu. Bahkan tidak sampai dari pinggang Danila. Kemungkinan hanya sampai setengah antara bagian lutut dan pahanya."Hei, kamu yang bernama Haga, ya? Perkenalkan, aku Danila. Salam kenal, Haga manis!" ucap Danila memperkenalkan dirinya pada anak itu.Tapi respons Haga tidak seperti yang Danila harapkan. Haga mengacuhkan salam Danila. Anak kecil itu berjalan melewatinya tanpa dosa. Bahkan ayahnya pun biasa saja. Tak memberikan reaksi apa-apa.Apakah Danila akan sanggup menerima semua ujiannya?Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini