Salsa pun memilih untuk memeluk adiknya, itulah cara untuk membuat dirinya kuat menahan beban yang tersimpan dalam hatinya. "Kakak kerja."
"Tapi, Kakak nggak kerja jual diri kan?" tanya Dara sungguh-sungguh.. Deg! Namun, pertanyaan Dara berikutnya seakan mengguncangkan dunia Salsa. Untuk sejenak, dunia Salsa seakan berhenti berputar. "Kak?" Dara pun mengguncang tubuh Salsa, karena mendadak mematung setelah pertanyaannya. "Kamu ini bicara apa?!" Salsa pun menetralkan dirinya, bahkan raut wajahnya tampak marah akan pertanyaan adiknya. "Maaf," Dara pun merasa menyesal atas pertanyaannya, "soalnya temen Dara ada yang kerja jual diri, malam-malam nggak pulang, pulangnya pagi, seperti, Kakak. Jadi, Dara curiga." Ucapan Dara membuat Salsa merasa seperti tengah berada di tengah himpitan dinding. Salsa menahan sesak di dada, 'Kakak bukan hanya sekedar menjual diri, tapi juga menjual rahim,' batin Salsa perih. "Tapi nggak mungkin ya kan, Kak?" kini Dara pun tersenyum dan menepis pikirannya. "Pertanyaan kamu nggak sopan!" geram Salsa yang kini duduk di kursi meja makan. "Maaf, Kak," Dara mengucapkan maaf penuh penyesalan. Salsa pun merasa lega karena adiknya tidak lagi membahas tentang pekerjaannya. "Tapi, di leher, Kakak kok ada merah gitu?" tanya Dara lagi yang melihat benda asing pada tengkuk leher Salsa. Salsa pun melihatnya melalui kamera ponselnya dan ternyata memang benar, seketika Salsa sadar bahwa itu adalah bekas dari yang terjadi semalam. Kenapa Salsa tidak menyadarinya? "Kak?" panggil Dara menyadarkan Salsa dari pikirannya. "Nggak papa, ini-ini gigitan serangga, semalam Kakak lembur membersihkan gudang di rumah majikan, Kakak," bohong Salsa. "Gigitan serangga?" Salsa semakin melebarkan matanya agar melihat semakin jelas. "Hu'um," Salsa pun berharap adiknya percaya dengan ucapannya. Namun, Salsa menatapnya penuh kecurigaan. "Serangga apa?" Membuat Salsa menegang, Salsa bingung harus melakukan apa agar perhatian adiknya teralihkan. "Apa majikan, Kakak jahat?" tebak Salsa dengan isi pikirannya jika Salsa siksa. "Nggak, mereka baik. Tapi, udahlah Kakak capek abis kerja kamu malah mikir macam-macam!" omel Salsa seakan begitu kesal karena tuduhan sang adik yang tak jelas. Padahal kini dirinya sedang menahan perasaan was-was kalau saja adiknya tau bahwa dia memang bekerja menjual diri. Entah seperti apa reaksi Dara jika saja tau apa yang terjadi padanya. "Maaf, Kak. Dara cuman takut aja, Kakak disakiti, Dara cuman punya Kakak," ucap Dara dengan mata yang berkaca-kaca. Membuat Salsa pun terharu dan kembali memeluk adiknya. Sungguh Salsa pun sangat menyayangi adiknya dan rela melakukan apapun demi adiknya bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak. "Kakak juga sayang sama kamu." Tidak ada lagi tempat keduanya pulang, mereka harus berjuang sendiri untuk tetap melanjutkan hidup. "Kalau gitu, Dara mau bikinin teh dulu. Kakak, duduk dulu." Seakan ingin menghibur sang Kakak karena menyesal sempat berpikir tentang hal bodoh pada Kakaknya. Dara pun gegas menuju dapur dan kembali dengan secangkir teh hangat. Salsa pun tersenyum dan perlahan mulai menyeruput teh hangat buatan sang adik. Mereka yang terbiasa dengan kerasnya hidup pastinya tidak akan kesulitan untuk membuat teh, meskipun adiknya baru berusia 12 tahun. "Kamu pilih sekolah favorit kamu ya, nanti kita daftar," ujar Salsa mengingat sebentar lagi adiknya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. "Iya, Kak," Vivian pun tersenyum penuh semangat karena masih tetap bersekolah. "Kakak, istirahat dulu ya," Salsa pun segera beristirahat. Sebenarnya Salsa bingung harus kembali ke rumah Raka lagi atau tidak. Jujur, setelah apa yang terjadi semalam begitu meninggalkan rasa trauma di diri Salsa. Tapi apa jadinya jika dirinya tidak kembali ke rumah suaminya? Suami? Ah, Salsa pun tersenyum getir sambil membayangkan wajah Raka yang menatapnya begitu dingin. Bahkan, saat menyentuhnya malam itu. Salsa sampai berdoa semoga saja dia bisa lekas hamil meskipun baru melakukan satu kali saja. Sungguh tak terbayangkan jika saja apa yang terjadi dimalam tadi harus diulang lagi. Bahkan malam-malam bercinta yang kata teman-temannya yang sudah menikah begitu indah, tapi terasa mengerikan untuk Salsa. Salsa ... trauma. Sayangnya, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Salsa selain pasrah pada keadaan ini. 'Kapan penderitaan ini akan segera berakhir?' batinnya, pedih. Salsa menghela napas panjang. Meski terpaksa, gadis itu menguatkan diri kembali ke rumah Raka dan Indri. Hanya saja, entah mengapa, langkah kakinya sedikit gemetaran saat melangkah masuk ke dalam rumah. Seolah alam bawah sadarnya, takut bertemu dengan Raka. Sayangnya, itu sangat mustahil. Mereka tinggal satu atap. Belum lagi, status sebagai suami istri meski disembunyikan. Deg! Langkah kaki Salsa terhenti saat melihat wajah yang paling dia takuti. Raka tampak menuruni anak tangga. Padahal, Salsa hendak melintas menuju dapur yang letaknya berdekatan dengan kamarnya!Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan