Share

Bab 4 Saya Juga Istrinya

Aвтор: Clavita SA
last update Последнее обновление: 2024-10-07 09:08:35

Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini  bersamanya – ia menggagahinya malam ini.

Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.

`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`

Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang  terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya.

"Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak  bisa lagi diam dalam kesakitan.

"Kamu akan kulepaskan setelah puas! Ingatlah, hutangmu belum dianggap lunas jika tak kunjung melahirkan!" tegasnya. Tak sedikitpun ada simpati, bahkan tatapan matanya pada Camelina tampak dingin dan kejam. Hanya ada keegoisan yang memikirkan kepuasan dan tujuan pribadinya sendiri. Ia lupa bahwa Camelina pun punya otak  yang bisa digunakan untuk membuat rencana dan memutar balikkan keadaan.

Setelah mendapat jawaban itu, Camelina tidak membalasnya lagi. Ia hanya mendengus kesal dengan bibir mengatup rapat serta air mata yang terus membasahi pipi, meluapkan segala rasa sakit yang menghujam  batinnya.

Sementara di tempat lain, Sarah – istri pertama Aderson terus mondar-mandir dengan perasaan kesal karena malam ini ia harus tidur sendirian tanpa suami. Sarah tampak sangat membenci Camelina – pembantu di rumah itu yang kini sudah berubah posisi menjadi madunya.

Camelina pun sebetulnya sangat membenci keadaan ini. Jangankan untuk menjadi istri kedua, selingkuh saja tak pernah sedikitpun terbesit di dalam pikirannya. Namun terkadang, cobaan datang silih berganti dari yang paling tidak diinginkan sama sekali. Ia yang selalu menjaga kesuciannya hanya untuk pria yang dicintainya, tentu dalam ikatan pernikahan, tetapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan, sebab harus menyerahkannya pada pria yang tidak ia sukai sama sekali. Kini, ia hanya bisa menjalani takdir dengan segala bumbu kehidupan yang memang sudah menjadi jalan hidupnya.

“Tidak peduli apa yang terjadi padaku malam ini, aku hanya berharap bahwa malam ini segera usai dan tidak pernah kutemui malam seperti ini lagi,” batin Camelina dengan air mata menetes  ke pipi.

Sakit luar biasa harus ia tahan teramat dalam. Sampai pagi tiba. Seperti inginnya, malam itu pun berlalu. Walau malam tak pernah menjanjikan dirinya aman dari hasrat pria itu. Mata dibuka perlahan, ia menggerakkan  tubuhnya untuk  beranjak dari ranjang. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi yang terlihat jelas hanyalah cahaya mentari pagi memasuki ruangan  melalui celah jendela menembus gorden putih nan tipis. Benar saja, Aderson langsung pergi begitu selesai menggagahinya malam tadi.

Lalu, ke mana perginya dia sekarang? Bukankah ini kamarnya?

Krieet! Brak!

Sontak Camelina menoleh  ke arah pintu. Jelas saja, itu adalah Sarah – istri pertama Aderson yang memasuki kamarnya.

“Pembantu tidak tahu malu, enak-enak saja tidur di kamarku! Cepat pergi sana! Tempatmu itu di kamar pembantu!” usir Sarah.

`Benar,  sebelumnya aku memang pembantu. Tapi, aku sudah dinikahi. Itu artinya aku adalah istri  muda  dan menjadi bagian dari keluarga ini!`

Camelina beranjak dari baringnya. “Saya juga istrinya, memangnya ini kamarmu?”

“Dasar wanita lancang tidak tahu malu!”

PLAK!  Wanita itu menampar Camelina.

“Hey, dengar ya! Sejak awal kami menikah dan sebelum ada pembantu rendahan sepertimu, aku sudah menempati kamar ini! Jadi jangan sekali-kali berani mengaku!”

“Biar saya ingatkan sekali lagi. Saya istri muda suamimu yang diminta untuk melahirkan,  jadi saya  juga punya hak tidur di sini! Mungkin kamu juga lupa kalau malam tadi Mama sendiri yang mengantar saya ke sini dan mengusir kamu keluar!" balas Camelina. Ucapannya saat itu terdengar jelas, tetapi dengan wajah tenang.

Namun rupanya, keberanian Camelina dalam mengatakan kebenaran itu sungguh mengusik ketenangan Sarah sampai membuatnya naik pitam. Sarah yang merasa derajatnya lebih tinggi dari Camelina itu merasa direndahkan dan tidak terima, ia pun membalas 

“Cihh!" senyumnya tergelincir. "Baru dinikahi semalam saja sudah besar kepala!" sindirnya.

Camelina sudah tidak ingin memperdebatkan hal itu lagi. Ia memilih pergi walau tubuhnya masih sakit. Yang terpenting, ia sudah mengatakan kebenaran meski Sarah tidak bisa menerima itu. Ia menuruni ranjang dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai kain – hanya selimut yang menutup tubuhnya.  berjalan mengambil pakaian yang tergeletak di bawah tempat tidur itu dan pergi ke kamar mandi untuk mengenakannya kembali.

“Dasar jalang!” umpat Sarah ketika melihat Camelina yang  beberapa saat kemudian keluar dari kamar mandi dengan pakaian semula ketika ia datang ke kamar itu.

Camelina tidak mau pedulikan jenis umpatan apapun yang masuk ke telinga, ia hanya fokus  pada peran barunya kini. Namun, kemudian ia terdiam sejenak di depan pintu kamar itu.

“Aku sudah menjadi istrinya, tapi ... apa itu artinya aku juga masih dianggap sebagai pembantu di rumah ini?” gumamnya seraya memikirkan hal itu. Ia ingat pada perkataan Aderson yang terngiang-ngiang di telinga mengenai hutang bayi yang harus ia berikan pada keluarga ini.

Di tengah ia memikirkan nasibnya, Berliana – Ibu Aderson sudah berteriak memanggilnya dari lantai bawah. Teriakan itu semakin keras hingga tercipta kebisingan di rumah itu.

“Lina! Di mana kamu? Cepat kemari!”

Camelina bergegas turun dari lantai dua, ia terus menuruni tangga. Walaupun saat itu masih merasakan sakit pada bagian bawah miliknya, namun lambat sedikit saja Berliana langsung berteriak.

“Lambat sekali! Ke mana saja kamu?!”

Tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi,  wanita itu seolah menganggap Camelina bak robot, yang mana begitu dipanggil harus langsung datang menemui untuk melakukan  segala perintahnya.

“Maaf kalau saya lamban, tapi badan saya masih merasa sakit,” lirih Camelina di hadapan  Berliana dengan wajah memelas.

Berliana melangkah pergi. “Kamu ikut saya sekarang!” perintahnya.

Baru saja Camelina mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, ia harus melakukan pekerjaannya lagi.  Memang tak seorangpun mengerti dengan kondisinya kini. Ingin kabur, tetapi rasanya  sulit.

”Walaupun kamu sudah menjadi menantu saya, tetapi posisi kamu tetap menjadi seorang pembantu yang harus mengerjakan pekerjaan di rumah ini!”

Camelina tidak menggerutu ataupun kesal, ia sadar akan posisinya tersebut. Tentu, ia tidak akan bisa menghindar dari banyaknya tuntutan yang datang ke dalam hidupnya.

“Bukan pelit atau apa, tapi kalau ada kamu yang bisa melakukannya, kenapa juga harus membayar seorang pembantu, kan?” ucapnya.

Berliana memang tidak  pernah mau merugi dengan materi yang dimilikinya.  Hanya seputar keuntungan  dan keuntungan saja. Sifat pelitnya seolah sudah mendarah daging di dalam  dirinya.

Camelina terdiam. Ia mengerti dan itu artinya ....

`Apa mulai sekarang gajiku tidak akan turun karena aku harus melakukannya dengan ikhlas?`

“Sebenarnya kamu beruntung juga karena kami memilih untuk tidak melaporkan kamu. Masih untung kamu tidak dipenjara. Dan, sepertinya melakukan pekerjaan sebagai pembantu di rumah ini menjadi hukuman paling ringan untuk pencuri seperti kamu!”

Lagi-lagi perkataan itu. Camelina menjadi sedih mendengarnya.

“Apa tidak bisa sekali saja aku tidak dianggap sebagai seorang pencuri?” batin Camelina. Matanya kembali berkaca-kaca, tetapi langsung menyekanya. Ia tidak mau air mata itu membuat orang-orang di rumah itu menganggapnya sebagai wanita yang jauh lebih lemah dan gampang ditindas.

Tanpa menyahut perkataan Berliana, Camelina terus diam seraya berusaha cuek dan tak mendengar, walau nyatanya membohongi diri sendiri dengan  berpura-pura tidak mendengar itu sungguh sulit.

“Hari ini akan ada acara arisan. Pukul 10 siang nanti semua makanan dan jamuan harus sudah siap. Aku tidak mau kalau ada yang terlewat satu jenis pun, kamu harus memastikan semuanya lengkap!” perintahnya.

Di dapur itu, Berliana membuka kulkas – memastikan bahwa semua persediaan makanan yang ada di sana sudah siap dan tidak kekurangan apapun.

“Baik, saya pasti menyiapkannya seperti biasa.”

“Bagus!” Matanya memandangi meja makan yang ada di sana. “Ganti juga bunga yang  ada di meja dengan yang lebih segar. Saya mau ruangan ini tampak hidup, jadi pastikan semuanya sesuai dengan apa yang saya mau!”

Camelina mengangguk paham dengan perkataan Berliana.”Baik.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 62 Sedikit Dicurigai

    "Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 61 Berpendirian Teguh atau Keras Kepala

    "Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 60 Walau Beda Tipis, Tapi Berbeda

    "Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 59 Cahaya Yang Seakan Hilang

    [Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 58 Jangan Memberikanku Harapan

    "Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 57 Tidak Bisa Dipercaya

    Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status