Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.
“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.
Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”
Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.
“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sedangkan Berliana menatap punggung Camelina dengan senyum licik yang terbingkai busuk dibibirnya, raut mukanya seolah mengatakan `Inilah alasan aku memilih dirimu. Kamu lemah dan mudah diperdaya.`
“Santai saja kamu jalannya, biar Mama antar kamu ke sana!” kata Berliana.
Camelina tidak terlalu mendengarkan, ia berjalan terus sampai dirinya berada di depan kamar tujuannya, tetapi ia harus berhadapan dengan Sarah yang hendak keluar dari kamar itu. Sarah menoleh dengan pandangan mata tajam ke arah Camelina sembari berbisik, “Percepatlah.”
Tidak mau jika Sarah mengganggu rencananya malam ini, Berliana pun sontak menarik tangan menantu pertamanya, sedangkan tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk menutup pintu kamar. “Kamu ngapain masih di sini? Ini `kan malam pertamanya suami kamu dengan istri barunya!” gerundel Berliana. “Kalau kamu terus di sampingnya, nanti dia gak hamil-hamil!” tambahnya.
Apapun yang mereka bicarakan, Camelina tidak pedulikan hal itu sama sekali. Ia hanya terus melangkah mendekati ranjang dengan pandangan mengedar ke seluruh sudut ruangan kamar itu. “Kenapa orangnya tidak ada?” gumamnya. Saat itu, ia memang tidak melihat keberadaan Aderson sama sekali.
Akan tetapi, ada sudut ruangan lain yang tak ia lihat, itu adalah walk in closet dan kamar mandi. Entah di mana keberadaan Aderson saat itu, Camelina tidak bisa menebaknya.
Ketika Camelina tengah mencoba menebak keberadaan Aderson, ia dikagetkan dengan keberadaan suaminya yang mendadak ada di belakang dan melempar satu set lingerie. “Pakai itu malam ini!” pintanya dengan nada dingin.
Camelina pun membalikkan badan ke arah Aderson hingga seluruh tubuh menegang. Raut mukanya tampak gugup, ia menelan ludah dengan mata terbuka lebar. “Tuan?” lirihnya.
“Bagaimana kalau jangan malam ini, tunggu sampai saya siap dulu?” Camelina mencoba memberikan penawaran kepada Aderson.
Selama ini ia hanya melihat tubuh Aderson dibalik kemeja atau bahkan kaos tipis, kini ia dapat melihatnya dengan jelas setiap bulu halus di dada dan tangan dengan tubuh berotot yang tampak sekali kuat. Bahkan, ia sampai kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan ketidakmampuan dirinya jika harus ditindih oleh pria kuat sepertinya.
“Ambil! Ganti bajumu yang lusuh itu!” desaknya.
Sebab tak diberikan kesempatan untuk bernafas lega, pakaian yang tergeletak di atas ranjang itu segera ia ambil. Camelina membeberkan satu set lingerie yang berwarna merah menyala dan kemudian Camelina langsung pergi menuju kamar mandi untuk berganti baju. Sekaligus, ia pergi untuk menghindar dari pria itu selama beberapa saat. Setidaknya ... sampai dapat bernafas dengan tenang. “Orang kaya yang semena-mena begitu harus merasakan kemiskinan,” keluh Camelina, mengutuk pelan.
Sampai di kamar mandi pun Camelina masih tampak tidak yakin dengan tubuhnya yang harus berbalut lingerie, tetapi lamunannya tidak bertahan lama, kemudian pandangannya kembali pada sehelai lingerie yang masih di genggaman tangan. “Apa aku harus memakai baju seperti ini?” gumamnya. Ia membuang muka dari lingerie itu. “Semesum itukah otaknya, sampai aku harus pakai baju seperti ini?”
Ditambah lagi, kini di hadapan Aderson pun tidak tahu bagaimana dirinya harus bersikap. Tak pernah sekalipun ia membayangkan menjadi istri Aderson seperti sekarang ini. Baginya keadaan ini menjadi semakin canggung.
Setelah memandangi dirinya di depan cermin, Camelina kembali ke hadapan suaminya dengan 1 set lingerie. Melihat bahwa Camelina sudah kembali dengan pakaian seksi yang disediakannya khusus untuk malam ini, Aderson yang sudah berada di tempat tidur dengan tubuh miring mengarah pada Camelina itu membuat ia tidak bisa memalingkan wajahnnya ke arah lain. Aura pembantu seolah langsung berubah menjadi Nona cantik, keindahan tubuhnya kian terpancar di hadapan Aderson.
“Cukup lumayan!” ucap Aderson dengan nada dingin. Sekalipun keindahan Camelina tercetak jelas di mata, tetapi anggapannya terhadap wanita itu tidak berubah. Ia masih menganggap Camelina sebagai wanita rendahan yang harus memenuhi janjinya.
Tubuh mulus Camelina membuat Aderson tak mampu berpaling, meskipun sikapnya masih menunjukkan keangkuhan. Sedangkan Camelina, ia merasa malu untuk berjalan lebih dekat ke hadapan Aderson. Sebab, baru pertama kalinya ia mengenakan baju seksi sampai belahan dadanya kelihatan jelas.
“Kenapa harus dengan pakaian seperti ini? Bukankah tujuan Tuan adalah untuk menanam bibit bayi itu di rahim saya?” tantang Camelina.
Hal itu membuat Aderson melangkah ke arah Camelina. Perlahan dan pasti, Aderson terus mendekat ke arah wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu. Tali piyama di pinggangnya dilepas perlahan, hingga memperlihatkan jelas dada bidang dan perutnya yang tampak berotot. “Karena saya langsung kehilangan gairah saat melihatmu dengan pakaian lusuh tadi!” jelasnya.
Raut muka Camelina yang mendengar perkataan itu langsung tegang. Bibirnya tampak gemetar, jantungnya berdetak sangat kencang, terlebih lagi kini Aderson memandanginya dari jarak yang sangat dekat. Bahkan menjadi sangat ... sangat ... dekat.
Sedih, sakit, perih tapi tak berdarah. Semuanya terasa menyakitkan bagai diremukkan dengan mesin penggiling. Perasaan buruk menyatu padu menjadi satu. Harapan untuk bisa terbangun dalam mimpi buruk menjadi sebuah ketidakmungkinan bagi Camelina. Sebab, terpaan kesedihan, keterikatan yang membelenggunya semakin sulit untuk lepas. Dalam rapuhnya, ia hanya berharap bahwa ia mendapatkan kebebasan yang membahagiakan.
“Jujur, saya tidak menginginkan pernikahan ini.”
“Saya juga tidak mengharapkan. Tapi tindakan burukmu itu yang menjebak dirimu sendiri!” timpal Aderson. . “Lagipula, kita bisa segera bercerai setelah kamu melahirkan anak.”
DEG!
Camelina langsung terdiam kala mendengarnya karena mulai menyadari bahwa telah cukup lama pernikahan Aderson dan Sarah tak kunjung dikaruniai seorang anak. Tentu saja Aderson menikahinya hanya untuk memanfaatkan rahim yang ia miliki. Apa itu artinya aku seperti meminjamkan rahimku sendiri?
Lalu, ia termenung memikirkan tanda tangan dalam sebuah berkas yang belum sempat dibaca sama sekali. Bersamaan dengan kesedihan yang dialaminya, ia tidak terpikirkan sedikitpun untuk membaca isi setiap kalimat yang ada di dalamnya.
“Apa aku ini dianggap seperti boneka yang diambil ketika sedang dibutuhkan saja?” batinnya.
Ia memegang perutnya – membayangkan perutnya akan membesar, tetapi setelah lahir, bayi yang dikandungnya malah akan diakui anak orang lain.
“Kalau tujuan Tuan menikahi saya hanya demi mendapatkan seorang anak, lantas bagaimana jika ternyata saya tidak bisa memberikannya?” tanya Camelina dalam posisi keduanya masih saling berhadapan lekat dan kedua pergelangan tangannya dipegang erat Aderson.
“Maka kita akan terus melakukannya sampai bayi yang saya dambakan selama ini lahir dengan baik ke dunia ini!” jawab Aderson dengan tatapan mata dingin.
Camelina menatap pria yang ada di hadapannya dengan mata berkaca-kaca, tampak jelas aura kesedihan di sudut matanya. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak menangis, ada rasa sesak dalam dada ketika tidak bisa melampiaskan apa yang ia rasa. Saat baginya hidup seolah tidak ada artinya lagi.
“Lepaskan tangan saya sekarang!” geram Camelina. Ia berontak karena tubuh Aderson yang bidang dan kuat membuatnya agak kesulitan bernafas, ditambah lagi pergelangan tangannya pun terasa sakit.
“Tidak akan saya lepaskan sebelum benih itu masuk ke rahimmu!”
Dalam situasi seperti itu, ia hanya bisa pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa. “Baiklah, lakukan dengan cepat, Tuan.” Ingin segera ia akhiri malam bersama Aderson, walau di malam berikutnya ia harus siap melayani pria itu kembali.
Tanpa menyahut, secara perlahan Aderson melepas sedikit demi sedikit pakaian Camelina. Aroma lavender pada tubuh wanita itu semakin memikat. Ia mulai menggagahi tubuh istri barunya dengan bangga.
Ia memejamkan kuat-kuat – menahan rasa sakit pada bagian miliknya yang terus menerus dihantam berkali-kali, setiap hentakannya sangat terasa perih. Mimik wajah Camelina yang tampak kesakitan malah membuat Aderson bersemangat memberi hentakan yang lebih kuat.
"Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia
"Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C
"Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap
[Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s
"Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.
Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.