Mamah dan Papah Rendra mengajak Wati dan Rendra ke sebuah perumahan. Mereka menunjukkan salah satu rumah berwarna serba putih hingga pagarnya pun berwarna putih."Rendra, ini hadiah pernikahan dari papah dan mamah." Ucap papahnya."Serius Pah?" Tanya Rendra terkejut. Wati pun ikut terkejut."Tapi, ada tapinya nih. Bulanannya kamu yang cicil ya! Cicilannya selama sepuluh tahun.""Apa pah? Jadi rumah ini masih nyicil?""Cuma tujuh ratus ribu kok Rendra. Gajimu kan sepuluh juta sebulan. Kalian juga belum punya anak. Masa iya kamu ngga sanggup bayar." Ledek mamahnya. Wati menatap tajam ke arah Rendra, dia tidak tahu kalau gaji suaminya sebesar itu."I.. Iya mah." Jawab Rendra."Ayo masuk!" Papah membuka pintu rumah. "Perabotnya belum ada ya, jadi kalian cicil sendiri! Papah harap
Wati pergi ke dokter kandungan langganannya tanpa sepengetahuan ibu dan suaminya. Dia izin ke ibunya mau ke rumah Rini sahabatnya, karena tidak ingin ibunya mengira dia sedang hamil atau ada masalah dengan rahimnya."Ibu saya resepkan obat untuk membersihkan rahim ibu. Semoga nanti bisa secepatnya hamil lagi ya bu." Ucap dokter kandungan."Aamiin... Terima kasih banyak dok." Wati beranjak dari ruangan dokter kandunga. Di luar ruangan dia bertemu Rini sahabatnya bersama suami dan anaknya."Wati?" Sapa Rini terkejut."Rin, kamu periksa kandungan?" Tanya Wati menutupi keterkejutannya. Memang Rinilah yang mereferensikan dokter kandungan ini buat Wati."Iya Wati. Ternyata aku hamil anak kedua." Jawab Rini penuh bahagia. "Kamu ke sini apa sedang hamil juga?""Bukan... Nanti aku ceritakan." Jawab Wati dengan nada sed
Rendra melihat ke sekeliling rumah. Dia geleng-geleng kepala melihat semua berwarna putih. Wati terlihat cuek saja melihat tingkah suaminya."Suka-sukamulah Wati. Toh aku jarang di rumah." Ucap Rendra. Wati pun tersenyum. Akhirnya bisa juga suaminya mengalah. "Siapin diri kamu, aku pengen bercinta!!!" Ucap Rendra, kemudian masuk ke kamar mandi."Tetap saja aku jadi pemuas seksnya. Berapa ronde lagi malam ini?" Gumam Wati. Mood Wati sedang bagus. Jadi dia dengan senang hati menyiapkan dirinya. Dia mengenakan lingerie berwarna hitam yang baru saja dibelinya di pasar. Disemprotkannya parfum di lehernya di pergelangan tangannya dan di pahanya.Rendra masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Wati sedang berdiri di depan cermin menyisir rambut panjangnya. Rendra langsug memeluknya dari belakang. "Cantik sekali kamu malam ini sayang. Seksi sekali. Wangimu semerbak sayang." Rendra terpesona.
Rendra pulang ke rumahnya. Dilihatnya mobil inova orang tuanya parkir di halaman rumahnya."Ada apa?" Batin Rendra."Datang juga yang ditunggu" Ucap bu Linda sumringah menyambut kedatangan Rendra."Ada apa kok pada kumpul di rumah Rendra?" Rendra bingung."Duduk dulu Rendra!" Suruh papahnya."Iya, ada apa?" Rendra penasaran."Wati hamil Rendra. Selamat ya, anak papah jadi ayah.""Apa?" Rendra terkejut. Dia langsung menatap tajam Wati. Wati tersenyum penuh kemenangan."Awas ya Rendra, kamu harus jaga baik-baik istrimu! Mamah ngga mau cucu mamah kenapa-kenapa." Ancam bu Linda."Iya Mah." Jawab Rendra singkat menutupi ketidak senangannya."Satu lagi, Wati ngga boleh kamu bikin capek ya!" Perintah bu
Kehamilan Wati sudah memasuki hari-hari melahirkan. Rendra disuruh mamahnya mengambil cuti agar bisa menemani Wati melahirkan."Mas, perutku mules." Wati membangunkan Rendra yang sedang tertidur."Mules kenapa?" Tanya Rendra masih mengantuk."Ngga tau.""Kita bercinta saja ya biar mulesnya hilang!""Mas Rendra apa-apaan sih. Yang ada semakin mules Mas.""Kata temen-teman mas, kalau sudah mau lahiran harus sering diperkosa, hahahahaha..." Goda Rendra."Mas ini menyebalkan. Lihat nih perutku sudah besar banget mas!""Mas serius Wati. Teman-teman mas yang ngomong gitu. Istri-istrinya diperkosa pas mau dekat lahiran biar cepet katanya prosesnya.""Ngga mau ah mas, yang ada tambah mules.""Yang namany
Rendra belum juga selesai cuti. Sudah sebulan dia ada di rumah. Wati jadi bingung."Mas, cutimu berapa lama?" Tanya Wati."Selamanya." Jawab Rendra cuek."Maksud mas bagaimana?" Wati terkejut."Iya, selamanya. Aku sudah tidak bekerja lagi Wati.""A... Apa mas?" Wati terhenyak. "Kenapa kamu tidak cerita Mas? Kamu berhenti atau diberhentikan Mas? Lalu bagaimana dengan hutangmu di Bank? Lalu bagaimana dengan bayar rumah ini Mas? Apa orang tuamu tau? Apa..." Wati membrondong Rendra dengan pertanyaan, belum selesai dia bicara Rendra memotongnya."Cukup Wati!!!" Potong Rendra."Jawab Mas!""Aku diberhentikan dari perusahaan.""Kenapa? Kinerjamu tidak baik?""Akhir-akhir ini aku terlalu lelah karena ser
Rendra menggigil di balik selimut. Wati memeriksa suhu badan Rendra dengan termometer."Kamu demam mas." Ucap Wati saat melihat hasil termometer digital tertera angka empat puluh derajat. "Kita ke Rumah Sakit ya mas! Aku telpon taxi dulu.""Tidak perlu. Ambilkan hapeku!!!""Tapi mas, panasmu tinggi. Ini hapemu. Sebentar aku buat kompres." Wati meninggalkan Rendra. Kemudian Wati kembali dengan baskom berisi handuk kecil dan air hangat. Diperasnya handuk yang penuh air, di letakkannya di kening Rendra."Kamu kerja saja Wati! Nanti Anton temanku ke sini.""Aku ngga mungkin ninggalin kamu dalam keadaan demam begini mas." Wati khawatir dengan keadaan Rendra."Sudah, kamu ngga usah khawatir! Anton nanti bawakan obat.""Anton kan bukan dokter mas, kenapa mas menghubungi dia?" Wati bingung
Usia Aditya sekarang sudah satu tahun. Tapi Rendra belum juga mendapat pekerjaan. Dia masih ikut pak Sigit di pemancingan kolam. Namun, Wati tidak pernah menikmati uang hasil pekerjaan suaminya di pemancingan. Dia bahkan tidak tahu, berapa pak Sigit memberikan uang tiap bulannya kepada suaminya. Uang pesangon Rendra pun sudah menipis untuk keperluan sehari-hari dan cicilan rumah."Mas, kenapa kamu tidak pernah menyerahkan uang hasil kamu kerja di pemancingan?""Uang pesangonku kan masih ada Wati." Jawab Rendra cuek."Sudah mulai menipis mas. Kamu kan tau tiap bulan harus nyicil rumah, trus belanja untuk kita makan, belum lagi keperluan Adit.""Ya sudah, bulan depan aku cicil rumah.""Untuk keperluan lainnya?""Habiskan saja dulu uang pesangonku! Nanti kalau sudah habis baru aku kasih kamu uang."&nb