Share

Part 4

Ibu Jaka memeluk erat Wati saat tiba di kontrakan Jaka dan Wati. Padahal ibu Jaka tidak begitu kenal dengan Wati. Beliau hanya mendengar tentang Wati dari Jaka anaknya. Beliau percaya kali ini anaknya tidak akan salah memilih istri. Wati tidak pernah berani menghubungi ibu Jaka, karena dia takut ibu Jaka sedang bersama istri pertama Jaka. Jaka pernah bilang ibu Jaka sering bersama istri pertamanya.

 

"Ibu senang akhirnya bisa tiba di sini." Ibu terlihat sangat bahagia. Jaka tersenyum melihat ibunya. Sudah lama dia tidak melihat ibunya seperti itu.

 

"Ibu pasti capek. Ibu istirahat saja dulu!" Ajak Wati, setelah mencium tangan ibu mertuanya itu.

 

"Tidak... Tidak... Ibu mau ngobrol banyak denganmu dan ibumu. Ibu sudah terlalu banyak tidur di bis." Ibu kemudian duduk di sofa. Wati masuk ke dapur dan kembali dengan teh hangat dan sepiring cake marmer buatannya. Jam menunjukan pukul 10.00 pagi. "Lastri, aku ngga nyangka kita jadi besan." Ucap ibu Jaka kepada ibunya Wati. "Kalau aku tau Wati anak gadismu, aku pasti langsung datang ke rumahmu melamar anak gadismu."

 

"Semua sudah terjadi. Aku tidak keberatan anakku jadi istri kedua anakmu. Bagiku yang penting dia bahagia." Jawab ibu bijak.

 

Ibu Lastri ibu dari Wati adalah teman satu pengajian dengan ibu Ratna ibu dari Jaka. Hanya saja mereka tidak pernah ngobrol akrab selama mengikuti pengajian. Hanya saling tau nama saja dan ngobrol masalah pengajian.

 

Bu Lastri cukup terkenal di Pengajian karena beliau Qoriah. Beliau sering mengisi acara Maulid dan Isra Mi'raj untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Namun, bakat ibunya itu tidak menurun pada Wati, hanya menurun pada Rahman. Walau begitu, Wati semasa sekolah sering disuruh mengisi acara Maulid dan Isra Mi'raj juga sama seperti ibunya. Hal itu lah yang membuat Jaka semakin terkagum-kagum pada Wati.

 

*****

 

Jaka merebahkan diri di pangkuan Wati, hampir setiap sebelum tidur Jaka melakukannya.

 

"Apa kamu merindukan Abang?" Tanya Jaka.

 

"Abang sudah tau jawabannya." Jawab Wati lembut sambil mengusap rambut suaminya.

 

"Ma'afkan abang ya Sayang."

 

"Abang tidak perlu minta ma'af." Jawab Wati sembari menahan tangis.

 

"Abang sangat rindu padamu, pada Aditya, dan pada anak abang ini." Jaka bangkit dan mengelus-ngelus perut Wati. Akhirnya tangis Wati pecah. "Kenapa menangis?" Jaka terlihat khawatir. Disekanya air mata yang melewati pipi Wati. Dipeluknya tubuh istrinya. "Abang sangat sayang sama kamu Wati. Abang tidak tahan melihat kamu menangis seperti ini."

 

"Wati minta ma'af Bang. Wati minta ma'af." Ucapnya sambil terus menangis.

 

"Ma'af kenapa?"

 

"Wati belum bisa terima kenyataan kalau Abang punya wanita selain Wati." Tangis Wati semakin kencang.

 

Jaka menghela nafas panjang. Dia tidak bisa berkata apa-apa, matanya basah. "Akulah yang seharusnya meminta ma'af padamu Wati." Batinnya. Kemudian Jaka permisi ke kamar mandi. Dia melepaskan semua kesedihannya di kamar mandi. "Ya Allah, kenapa hamba begitu jahat kepada Wati? Dia perempuan yang baik. Apa dia pantas mendapat perlakuan seperti ini? Apa langkah hamba untuk menikahinya adalah sebuah kesalahan?" Jaka penuh tanya, air matanya tumpah.

 

Jaka sangat menyayangi Wati, apa lagi sekarang Wati sedang mengandung buah cinta mereka yang dari hasil USG berjenis kelamin laki-laki.

 

Jaka tidak menyangka, ibunya sangat menyukai Wati. Jaka tau dari dulu, kalau Wati akan jadi menantu idaman, karena Wati perempuan yang baik, dia berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah Jaka kenal. Namun, Jaka tidak menyangka, jalan hidup perempuan hebat itu harus hancur di tangannya. Hancur karena keegoisannya.

 

"Abang!!!" Panggil Wati dari luar kamar mandi. Buru-buru Jaka menyeka air matanya dan mencuci mukanya. "Abang!!!" Ulang Wati karena tidak ada jawaban dari Jaka. Jaka membuka pintu. "Abang kenapa?" Selidik Wati.

 

"Tidak apa sayang. Ayo ke kamar lagi. Abang pengen nengok anak Abang." Goda Jaka sambil memeluk Wati dari belakang. Wati tersipu malu.

 

*****

 

Wati menyiapkan masakan untuk dijual di warungnya. Jam masih menunjukkan pukul 04.00. Semua tungku kompor gasnya menyala. Ada enam tungku kompor di dapur itu. Rambut Wati nampak basah, dia tidak menggunakan hijabnya.

 

"Masak apa Wati?" Tanya Bu Ratna mertuanya membuat Wati terkejut.

 

"Ini lagi masak ayam cabe ijo Bu buat nanti di warung." Jawab Wati sembari mengaduk ayam yang ada di penggorengan.

 

"Apa kamu terbiasa bangun jam segini?"

 

"Iya Bu."

 

"Beda sekali sama Lintang." Bu Ratna menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. "Ibu tidak mengerti kenapa Lintang itu begitu pemalas. Padahal awal-awal menikah sebelum ibunya ikut tinggal dengan dia, dia terlihat begitu baik. Eh, lama-lama sifat aslinya muncul." Keluh bu Ratna.

 

"Kata bang Jaka Lintang istri yang baik Bu. Katanya dekat sama Ibu." Wati merasa kaget dengan keluhan ibu mertuanya.

 

"Begitulah Jaka. Dia mana mau istrinya terlihat jelek di mata orang lain. Dia selalu memuji istrinya. Ibu juga sebenarnya ngga mau ikut campur sama rumah tangganya, hanya saja bagaimana mungkin ibu tidak kesal punya menantu yang semaunya saja."

 

"Ibu yang sabar ya... Walau bagaimana dia pilihan bang Jaka." Wati tidak ingin memperpanjang obrolan tentang Lintang istri sah suaminya.

 

"Karyawanmu jam berapa biasanya datang?"

 

"Jam 7 Bu."

 

"Jadi ngga bantu masak ya?"

 

"Mereka sudah nyiapin semua yang mau di masak sebelum pulang Bu. Jadi Wati tinggal masak saja. Mereka yang nyiapin warung."

 

"Kata Jaka warungmu ngga pernah sepi."

 

"Alhamdulillah Bu. Ini berkat Ibu juga yang mau pinjamin modal. Alhamdulillah tiga bulan kami sudah bisa balikin."

 

"Itu uang Jaka juga Wati. Kalau untuk sehari-hari dan adik-adik Jaka, kan kami ada usaha ponsel beberapa cabang di sana. Ya lumayan hasilnya bisa kuliahin adeknya Jaka sampai selesai. Tinggal si bungsu yang masih SMA."

 

Jaka tiga bersaudara, dan Jaka anak pertama. Adiknya anak kedua perempuan baru saja lulus S1 Kedokteran. Si bungsu laki-laki kelas XII SMA.

 

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status